Masa remaja dilalui Suprihati (70
tahun) tanpa kejelasan
agama yang dianutnya. Di masa-masa ini, saat orang-orang
sudah meyakini agamanya, ia masih sibuk mencari Tuhan.
“Ayah saya
tidak pernah ke gereja dan juga ke masjid, hanya ibu saya yang rajin ke gereja untuk
beribadah. Saya juga sangat jarang ke gereja. Jadi
saya bingung, siapa Tuhan saya?” tutur warga Perumahan Kerangan Permai, Pondok Gede, Bekasi,
ini kepada Republika.co.id.
Saking butanya
ia akan agama, saat ditanya oleh rektor di kampusnya mengenai agama yang dianutnya, Suprihati menjawab ia tidak memiliki
agama. Sontak saja rektor itu bingung mendengarnya. “Ibu saya seorang Katolik, ayah saya menganut kejawen. Orang tua saya tidak pernah
mengajarkan Agama. Saya rasa, saya harus mencari Tuhan.”
Pencarian Tuhan dalam dirinya terus
berlangsung. Sampai pada usia
23 tahun ia menjalin hubungan dengan seorang laki-laki Batak beragama Kristen.
Mereka akhirnya memutuskan untuk menikah.
“Sebelum
menikah saya dan calon suami mengunjungi beberapa keluarga. Banyak di antara mereka yang menawarkan untuk menikah di gerejanya. Maklum saja, keluarga kami rata-rata pendeta. Saat
itu kami hanya mengiyakan semua tawaran,”
tutur ibu enam anak ini dan nenek dari sejumlah cucu ini.
Beberapa hari
sebelum hari pernikahan, datang seorang nenek angkat Suprihati yang kebetulan beragama Islam. Saat itu sang nenek membaca zikir di
ruang tamu. Ketika mendengarnya, Suprihati
merasa nyaman. Dari
sini lah tiba-tiba muncul keinginan untuk masuk agama Islam.
“Saat
mendengarnya saya merasa nyaman dan tenang.
Saya berfikir
bahwa Islam adalah agama yang damai. Seperti
mendapat sebuah hidayah, tiba-tiba muncul keinginan besar untuk
masuk dan mempelajari lebih dalam mengenai Islam. Saat itu juga saya bicara dengan calon suami, dan ternyata
dia sependapat.”
Tepat di usia
23 tahun, di hari pernikahannya, Suprihati dan suaminya membaca dua kalimat syahadat dibarengi dengan ijab qobul.
Keluarga besar mereka yang mayoritas non-Muslim sangat menghargai keputusan mereka.
Tidak mudah
bagi Suprihati dan suaminya dalam menjalani agama yang baru dianutnya. Setelah mereka menjadi mualaf, tidak ada
seorang pun yang mengajari segala hal mengenai Islam. Banyak teman-temannya yang menganggap rendah agama Islam. Itu salah satu alasan
suaminya tidak mau terang-terangan mengakatakan
bahwa ia seorang Muslim.
“Walaupun sudah
masuk Islam, suami saya masih memakan makanan yang diharamkan. Kami juga tidak melakukan ibadah shalat sama sekali,” ujar Suprihati.
Pada tahun 1964,
Suprihati dan
suaminya pindah ke Medan. Mereka menumpang di salah satu keluarga yang kebetulan sudah
mendapat hidayah dari Allah. Di sana
lah mereka belajar shalat.
“Ketika akan melahirkan anak pertama, saya baru mulai shalat. Saya juga banyak
membeli buku-buku Islam,”
katanya. Selama 12 tahun
mereka menetap di Medan, sampai pada tahun 1980 mereka pindah ke Jakarta.
Suprihati, yang mengajar bahasa inggris di sebuah sekolah, juga
banyak diajari hal-hal
mengenai Islam oleh rekan kerjanya sesama guru. “Saya diajari shalat tahajud oleh guru di sekolah tempat saya mengajar. Saya
bersyukur sekali akhirnya ada seseorang yang dapat mengajari saya. Dulu, banyaknya aliran-aliran dalam Islam dan kurangnya pengetahuan
membuat saya semakin bingung.”
Keinginan kuat
dalam dirinya untuk mempelajari Islam membawanya untuk terus mencari tahu
segala hal tentang Islam. “Suatu hari saya bertemu dua orang ibu di warung
dekat rumah. Mereka sibuk membicarakan pelajaran mengaji. Saya merasa penasaran dan langsung meminta untuk
diikutsertakan dalam pengajian tersebut,”
tuturnya.
Bagi Suprihati, tak ada yang tak mungkin. Walaupun ia
baru bergabung ketika pelajaran membaca Alquran sudah berjalan tiga bulan, ia
sanggup mengejar ketinggalan. Bahkan, teman-temannya
yang lebih dulu bergabung kalah cepat mempelajarinya.
Ratusan buku
mengenai Islam sudah dipelajari, keyakinannya pun
makin mantap.
Suprihati meresa telah menemukan Tuhannya, menemukan agama yang paling benar.
Kini, di usianya yang tak muda lagi, Suprihati masih sangat aktif belajar
agama. Dalam satu
minggu, enam kali ia belajar Alquran dan artinya. Selain itu, ia pun rajin berolahraga
sehingga tubuhnya masih tetap segar.
“Selagi bisa, saya akan terus memperdalam pengetahuan tentang Islam. Belajar itu seumur hidup. Kadang, apa yang saya
dapat dari belajar itu saya sampaikan lagi pada ibu-ibu pengajian di daerah
rumah saya.”
Ilmu agama yang
telah diperoleh selalu dibagikan kepada orang-orang di sekitarnya. “Ilmu yang bermanfaat…Insya Allah, Allah akan memberikan pahala kepada orang yang menyampaikannya,” ujarnya. Hal ini yang menjadi prinsip
Suprihati.
No comments:
Post a Comment