Sunday, July 31, 2011

Perjalanan Rohani Pembantu Pendeta Menjadi seorang Muslim

Saya tidak bisa menemukan jawaban-jawabannya di Alkitab. Begitu saya sadar bahwa Trinitas cuma sebuah mitos dan bahwa Tuhan cukup kuat untuk menyelamatkan seseorang tanpa membutuhkan bantuan dari seorang anak atau siapapun, atau apapun.

Semuanya kemudian berubah. Keyakinan saya selama ini terhadap ajaran Kristen runtuh. Saya tidak lagi mempercayai ajaran Kristen atau menjadi seorang Kristiani."

Jalan untuk meraih cita-citanya sebagai pendeta atau pemimpin misionaris terbuka lebar, namun jalan yang terbentang itu justru membawanya untuk mengenal Islam. Sehingga ia akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang Muslim dan melepaskan semua ambisinya, meski pada saat itu ia sudah menjadi pembantu pendeta.

Dia adalah Abdullah DeLancey, seorang warga Kanada yang menceritakan perjalanannya menjadi seorang Muslim. "Dulu, saya adalah penganut Kristen Protestan. Keluarga saya membesarkan saya dalam ajaran Gereja Pantekosta, hingga saya dewasa dan saya memilih menjadi seorang jamaah Gereja Baptist yang fundamental," kata DeLancey mengawali ceritanya.

Menurutnya, sebagai seorang Kristen yang taat, kala itu dia kerap terlibat dengan berbagai aktivitas gereja seperti memberikan khotbah pada sekolah minggu dan kegiatan-kegiatan lainnya. "Saya akhirnya terpilih sebagai pembantu pendeta. Saya benar-benar ingin mengabdi lebih banyak lagi pada Tuhan dan memutuskan untuk mengejar karir sampai menjadi seorang Pendeta," tutur DeLancey yang kini bekerja memberikan pelayanan pada para pasien di sebuah rumah sakit lokal.

Keinginannya, sebenarnya menjadi seorang pendeta atau menjadi seorang misionaris. Namun ia berpikir, jika menjadi seorang Pendeta maka akan memperkuat komitmen hidupnya dan keluarganya pada gereja secara penuh. DeLancey pun mendapatkan beasiswa untuk mengambil gelar sarjana di bidang agama.

"Sebelum mengikuti kuliah di Bible College, saya berpikir untuk lebih menelaah ajaran-ajaran Kristen dan saya mulai menanyakan sejumlah pertanyaan-pertanyaan serius tentang ajaran agama saya. Saya mempertanyakan masalah Trinitas, mengapa Tuhan membutuhkan seorang anak dan mengapa Yesus harus dikorbankan untuk menebus dosa-dosa manusia seperti yang disebutkan dalam Alkitab," ujar DeLancey.

Hal lainnya yang menjadi tanda tanya bagi DeLancey, bagaimana bisa orang-orang yang disebutkan dalam "Kitab Perjanjian Lama" bisa "selamat" dan masuk surga padahal Yesus belum lahir. "Saya dengan serius merenungkan semua ajaran Kristen, yang selama ini saya abaikan," sambung DeLancey.

Ia mengakui tidak mendapatkan jawaban yang masuk akal dan cukup beralasan atas semua pertanyaan-pertanyaan yang menjadi dasar ajaran Kristen itu. "Lantas, untuk apa Tuhan memberikan kita akal yang luar biasa jika kemudian kita tidak boleh menggunakannya. Itulah yang perintahkan agama Kristen, agama Kristen meminta kita untuk tidak menggunakan akal ketika menyatakan bahwa Anda harus punya keyakinan. Sebuah keyakinan yang buta," kata DeLancey, mengenang pengalamannya di masa lalu.

Sejak itu, DeLancey sadar bahwa selama ini ia sudah menelan ajaran Kristen dengan secara buta dan tidak pernah mempertanyakan hal-hal yang sebenarnya membuatnya bingung. "Saya sama sekali tidak pernah menyadarinya," ujar DeLancey.

"Saya tidak bisa menemukan jawaban-jawabannya di Alkitab. Begitu saya sadar bahwa Trinitas cuma sebuah mitos dan bahwa Tuhan cukup kuat untuk "menyelamatkan" seseorang tanpa membutuhkan bantuan dari seorang anak atau siapapun, atau apapun. Semuanya kemudian berubah. Keyakinan saya selama ini terhadap ajaran Kristen runtuh. Saya tidak lagi mempercayai ajaran Kristen atau menjadi seorang Kristiani."

"Saya meninggalkan gereja untuk selamanya dan istri saya mengikuti langkah saya, karena ia juga mengalami hal yang sama dalam menerima ajaran-ajaran Kristen. Inilah yang akan menjadi awal perjalanan spritual saya, ketika itu saya tanpa agama tapi tetap percaya pada Tuhan," papar DeLancey.

Hidayah Itupun Datang

DeLancey mengakui, saat-saat itu menjadi saat-saat yang sulit bagi dirinya dan keluarganya yang selama ini hanya tahu ajaran Kristen. Namun ia terus mencari kebenaran dan mulai mempelajari berbagai agama. DeLancey tetap menemui kejanggalan-kejanggalan dalam agama-agama yang dipelajarinya, sampai ia mendengar tentang agama Islam.

"Islam !!! Apalagi itu? Sepanjang yang saya ingat, saya tidak pernah mengenal seorang Muslim dan tidak pernah mendengar Islam, bahkan pembicaraan tentang Islam sebagai salah satu agama di tempat saya tinggal di Kanada kecuali cerita-cerita buruk tentang Islam. Ketika itu, saya sama sekali tidak mempertimbangkan Islam," tutur DeLancey.

Tapi kemudian, DeLancey mulai membaca-baca informasi tentang Islam dan mulai membaca isi Alquran. Isi Alquran itulah yang mengubah kehidupannya sehingga ia tertarik untuk membaca segala sesuatu tentang Islam. Beruntung, DeLancey menemukan sebuah masjid yang letaknya sekitar 100 mil dari kota tempat tinggalnya.

"Saya lalu membawa keluarga saya ke masjid ini. Dalam perjalanan, saya merasa gugup tapi juga dipenuhi semangat dan saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya akan diizinkan masuk ke masjid karena saya bukan seorang Arab atau Muslim," kisahnya.

Setelah sampai di masjid, saya pun merasa bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia dan keluarganya disambut hangat oleh seorang Imam dan sejumlah Muslim di masjid itu. "Mereka sangat baik. Tidak seburuk berita-berita tentang Muslim," aku DeLancey.

Di masjid itu, DeLancey diberi buku yang ditulis oleh Ahmad Deedat dan ia diyakinkan bisa menjadi seorang Muslim. DeLancey membaca semua material-material tentang Islam dan sangat menghargai pemberian itu, karena di perpustakaan di tempatnya tinggal hanya ada empat buku tentang Islam.

"Setelah mempelajari buku-buku itu, saya sangat syok. Bagaimana bisa saya menjadi seorang Kristiani begitu lama dan tidak pernah mendengar ada kebenaran? Saya akhirnya meyakini Islam dan ingin masuk Islam," kisah DeLancey.

Ia kemudian mengontak komunitas Muslim di kotanya dan pada 24 Maret 2006 saya pergi ke masjid dan mengucapkan syahadah beberapa saat sebelum pelaksanaan salat Jumat, dengan disaksikan komunitas Muslim di kotanya.

"Saya mengucapkan La illaha ill Allah, Muhammadur Rasul Allah, tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Saya pun menjadi seorang Muslim. Hari itu adalah hari paling indah dalam hidup saya. Saya mencintai Islam dan merasakan kedamaian sekarang," tukas DeLancey mengingat kembali saat-saat ia menjadi seorang Mualaf.

DeLancey mengakui, ia dan keluarganya menghadapi masa-masa sulit setelah memutuskan memeluk Islam terutama dari teman-temannya yang Kristen dan dari kedua orangtuanya. Ia tidak diakui lagi sebagai anak dan teman-temannya yang Kristen tidak mau lagi bicara dengannya. DeLancey dijauhi bahkan ditertawai.

"Saya senang menjadi seorang Muslim, tak masalah jika teman-teman saya sesama orang Kanada memandang saya aneh karena memilih menjadi seorang Muslim. Karena saya sendiri yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan saya pada Allah setelah saya mati."

"Allah memberi saya kekuatan dan Allah yang Maha Besar menolong saya untuk melewati masa-masa sulit setelah saya masuk agama Islam. Saya punya banyak sekali saudara seiman sekarang," tandas DeLancey.

Setelah masuk Islam, DeLancey mengubah nama depannya dan jadilah namanya sekarang Abdullah DeLancey. menjadi orang pertama dan satu-satunya pembimbing rohani Islam yang dibolehkan bekerja di rumah sakit di kotanya. Ia juga mengelola sebuah situs Islam Muslimforlife.com yang dididirikannya.

"Saya seorang Muslim dan saya sangat bahagia menjadi seorang Muslim. Rasa syukur saya panjatkan pada Allah swt," tukas DeLancey mengakhiri kisah perjalanannya dari seorang pembantu pastor menjadi seorang Muslim.

Friday, July 29, 2011

Kejadian "Black September" mengantarkannya pada Islam

Ia tumbuh dan dididik dalam keluarga kelas menengah di AS yang menganut ajaran Kristen, meski tidak menjadi anggota sebuah gereja tertentu atau secara rutin mengikuti kebaktian setiap hari Minggu dan terlibat dalam berbagai kegiatan keagamaan. Satu-satunya momen yang mereka rayakan untuk menunjukkan jati diri keagamaan mereka adalah perayaan Natal.

Meski bukan penganut agama Kristen yang rajin ke gereja, orang tuanya mengajarkan dengan tegas dan jelas soal "akhlak" yang harus dipatuhinya, agar menjadi manusia yang berkarakter dan berperilaku baik. Di sisi lain, minat kedua orang tuanya terhadap sejarah dan budaya beragam bangsa di dunia menciptakan sebuah lingkungan yang mengajarkannya untuk bersikap toleran, menghormati dan mengagumi adat istiadat dan keyakinan orang lain yang berbeda dengan keyakinan yang dianutnya. Dan lingkungan seperti inilah yang suatu saat memberikan kontribusi besar baginya untuk menerima dan akhirnya memeluk agama Islam.

Begitulah latar belakang kehidupan Justin L.Peyton, seorang warga AS keturunan Afrika asal Philadelphia, Pennsylvania. Perjalanannya menuju Islam berawal dari peristiwa serangan 11 September 2001. Ia jadi lebih banyak membaca tentang Islam dan Muslim dari media massa pasca peristiwa itu, meski pemberitaannya cenderung negatif. Namun ia mengaku potret negatif tentang Islam dan Muslim yang diumbar media massa Barat tidak mempengaruhi interaksinya dengan teman atau tetangganya yang Muslim.

"Pemberitaan yang negatif itu tidak pernah mengganggu keinginan saya untuk meluangkan waktu guna mempelajari Islam," ujar Peyton.

Dengan sikap keterbukaan yang ditanamkan kedua orang tuanya, ia memutuskan untuk melakukan riset sendiri, mencari fakta-fakta tentang Islam dan menemukan benang merah antara pengalaman pribadinya bergaul dengan Muslim dengan pemberitaan media massa yang negatif tentang Islam dan Muslim. Karena saat itu Peyton masih berstatus mahasiswa, maka internet menjadi media pertama yang digunakannya untuk melakukan "pencarian dan pengkajian" itu.

Selama beberapa bulan ia mengakses informasi dari internet, pengetahuannya terus bertambah secara bertahap. Peyton membaca berbagai artikel mulai pengetahuan dasar tentang ajaran Islam dan Muslim sampai hal-hal yang lebih mendalam tentang konsep ketuhanan dalam Islam, nabi-nabi, Al-Quran, hari Kiamat serta petunjuk tentang tata cara melakukan salat, puasa, haji dan pengetahuan lainnya tentang Islam dan Muslim seperti konsep keluarga dalam Islam, pernijahan dan kisah-kisah para mualaf . Cerita tentang mereka yang masuk agama Islam adalah artikel yang paling ia sukai.

Ia lalu membeli Al-Quran dengan terjemahan di sebuah toko buku dan mulai membaca isi Al-Quran. Dalam sehari, Peyton bisa membaca berlembar-lembar halaman Al-Quran dan membuat daftar isi Al-Quran yang paling memicu rasa ingin tahunya yang lebih dalam tentang Islam. "Apa yang saya baca, memberikan sensasi dalam jiwa saya," kata Peyton.

Mengakses internet dan membaca isi Al-Quran ternyata tidak membuatnya merasa cukup untuk mengetahui dan memahami lebih jauh tentang Islam dan Muslim. Peyton memutuskan untuk berkunjung ke masjid-masjid terdekat di Philadelphia. "Saya mengontak sebuah masjid yang jaraknya 45 mil dari rumah, bicara dengan pimpinan masjid itu dan menyusun jadwal untuk datang dan berdiskusi tentang Islam dengan komunitas Muslim di masjid itu," ujarnya.

Di hari yang sudah ditentukan, Peyton datang dan menghabiskan banyak waktu dengan seorang muslim di masjid itu. Pertemuan dan perbincangan itu menggugah hatinya, hingga kunjungan keduanya pada musim panas tahun 2002, Peyton meyakini bahwa Islam adalah kebenaran. Saat itu juga Peyton mengucapkan dua kalimat syahadat dan selama sepekan menetap di masjid untuk belajar salat dan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan sendiri sebagai muslim.

Dua bulan setelah masuk Islam, Peyton menandatagani surat-surat untuk bergabung ke korps Marinir AS dan harus tinggal di barak militer. Sebagai orang yang baru masuk Islam, Peyton mengakui bahwa kehidupan militer tidak kondusif. Contohnya, jadwal dan lama latiihan yang kadang membuatnya sangat sulit untuk menunaikan kewajiban salat atau berpuasa saat bulan Ramadan.

Bahkan setelah selesai menjalankan pelatihan sebagai Marinir, Peyton ditempat di daerah yang sama sekali tidak ada komunitas Muslimnya, yang membuatnya makin sulit untuk memperkuat keyakinan agama yang baru dipeluknya. Baru tiga tahun kemudian, Peyton bertemu dengan sesama prajurit yang juga Muslim, yang bisa mengajarkannya tentang Islam dan menuntunnya untuk menjalani kehidupan sebagai Muslim di dalam dinas kemiliteran AS.

Musim panas tahun 2007, Peyton menyelesaikan tugas di dinas kemiliteran dan kembali ke Philadelphia, kampung halamannya. Ia kemudian aktif di sebuah masjid dan dengan kemampuan yang dimilikinya, ia mendapatkan pekerjaan di organisasi muslim terbesar di AS, Council on American-Islamic Relation (CAIR).

"Selama dua tahun menjadi bagian dari komunitas Muslim dan bekerja di CAIR merupakan pengalaman belajar yang luar biasa, membuat saya makin berkembang dan berminat untuk belajar Islam lebih mendalam," tukasnya.

Tahun 2009, Peyton mendaftarkan diri ke Hartford Seminary di Connecticut dan mendapatkan gelar master di bidang studi Seni Islam, hubungan Muslim-Kristen dan mendapatkan sertifikat di bidang dakwah Islam. (eramuslim)

Wednesday, July 27, 2011

Syahadat Terry Holdbrooks di Guantanamo

Siapa tak kenal Guantanamo. Penjara yang sangat mengerikan dengan penjagaan ekstraketat di Kuba itu biasa didedikasikan pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk mengurung para tokoh yang dianggap sebagai teroris. Sebagian besar mereka berasal dari Irak dan Afghanistan. Kisah penyiksaan dan pelecehan terhadap Alquran pernah 'menghiasi' penjara ini.

Dunia pun mereaksi negatif keberadaan penjara Guantanamo. Tuntutan untuk menutup penjara tersebut mengalir deras ke pemerintah AS. Presiden AS, Barrack Obama pun menyambut baik tuntutan tersebut dengan berencana menutup penjara tersebut.

Tapi, bagi Terry Holdbrooks, Guantanamo menjadi bagian hidup yang sangat berarti. Kehidupan para tahanan yang penjara tersebut memberi pengaruh besar dalam hidup Terry. Mulanya, dia hidup urakan. Kedua orang tuanya berpisah ketika Terry berusia 7 tahun.

Hingga tubuh dewasa di Arizona, dia sama sekali dia tidak pernah mendengar soal Islam. Dia juga tidak pernah paham akan keberadaan Tuhan. Kehidupan junkies, membawanya pada dunia penuh maksiat. "Saat itu, tidak pernah saya berpikir tentang Islam," ujar dia seperti dikutip Guardian.

Di usia dewasa, dia mencoba melamar untuk menjadi tentara. Dia kemudian diterima sebagai staf di polisi militer hingga akhirnya dikirim ke Guantanamo di tahun 2003. Saat itu, dia baru berusia 19 tahun. Penempatan itu pun dia terima begitu saja. Satu hal yang saat itu dia pahami, Guantanamo adalah penjara untuk manusia 'paling buruk di antara yang terburuk'.

"Saya menyaksikan rekaman video peristiwa 11 September," tutur dia. Begitu menerima perintah ke Guantanamo, dia berpikir bakal bertemu dengan orang-orang yang oleh AS dianggap sebagai musuh. "Di situ ada sopirnya Usamah Bin Ladin, juru masaknya, dan orang-orang yang akan membunuhku saat mendapatkan kesempatan," ungkap dia mengungkapkan bayangannya saat itu.

Sesampai di Guantanamo, segudang pertanyaan pun muncul. Saat itu, dia pertama kali bertemu dengan seorang tahanan yang usianya baru 16 tahun. Kata dia, sang tahanan mengaku sama sekali belum pernah melihat laut. Dia juga menyatakan tidak mengetahui bahwa bumi itu bulat. Dalam hati, Terry pun bertanya-tanya soal kemungkinan anak itu mengetahui rencana dunia gagasan pemerintah AS bernama war on terror (gerakan global memerangi terorisme).

Saat itu, Terry bertugas untuk membersihkan lingkungan, mengumpulkan sampah, membangunkan para tahanan, juga memverifikasi para tahanan. Pekerjaan itu memungkinkannya untuk berinteraksi langsung dengan para tahanan di penjara Guantanamo. Dari situlah, cahaya Islam mulai memancar ke dalam jiwa Terry.

Saat para penjaga yang lain menyibukkan diri dengan alkohol dan gambar porno, Terry justru banyak memanfaatkan waktu untuk berinteraksi dengan orang-orang yang selama ini dianggap oleh pemerintah AS sebagai teroris. Modal senyum membuatnya cepat ramah dengan 'warga' Guantanamo. Dia pun dikenal sebagai penjaga yang baik.

"Saya mulai bicara soal latar belakang politik, etnik, moral, juga budaya mereka," ujar dia mengungkapkan. Hasil diskusi itu memberinya banyak pencerahan. Dari para tahanan inilah, dia kemudian mulai mendapatkan informasi tentang Islam. Hal ini membuat dia mengalami gegar budaya mengingat sebelumnya dia sama sekali tidak pernah mendengarnya. Hingga dewasa, Terry juga tidak bertuhan.

Sampailah pada suatu sore tanggal 29 Desember 2003, dia mengakhiri gegar budayanya itu dengan keputusan yang sangat mengesankan. Dia memutuskan untuk mengucap syahadat dan masuk Islam. Seorang tahanan yang menjadi mentornya memimpin upacara sederhana pengucapan syahadat. Dia lalu meninggalkan segala jenis maksiat, termasuk kebiasannya mengonsumsi minuman keras.

"Tidak mudah buat kami saat itu untuk bisa menjalankan shalat lima waktu," kata dia mengenang pengalamannya di Guantanamo. Tapi, hal itu tidak membuatnya menyerah. Dia justu bertambah mantap untuk tetap berada dalam Islam. Terry merasa terlahir kembali, begitu mengucap syahadat. Sesaat setelah mengucap syahadat, dia pun berganti nama menjadi Mustafa Abdullah.

Di musim panas tahun 2004, dia merasa tidak cocok lagi berada di Guantanamo. Dia meninggalkan tempat kerjanya dan keluar dari militer. Selama menjadi penjaga tahanan, dia pun mengaku merasa malu. Meski tubuhnya berada di balik terali besi, kata dia, sebenarnya para tahanan itu jiwanya jauh lebih merdeka. "Sementara saya yang fisiknya bebas, jiwanya terkekang oleh aturan militer," kata Terry. Dia pun memilih keluar untuk bisa lebih mantap dan istiqamah menjalankan ajaran-ajaran Islam. [republika]

Monday, July 25, 2011

Malcolm X: Islam tidak Mengenal Perbedaan Ras

Ia merupakan seorang tokoh pejuang anti diskriminasi dan persamaan hak.

Malcolm X adalah seorang tokoh Muslim kulit hitam Amerika (Afro-Amerika). Ketokohannya dapat disandingkan dengan Dr Martin Luther King yang berjuang menghapus segala macam diskriminasi, lebih-lebih yang menimpa kaum Afro-Amerika.

''Saya tahu, masyarakat seringkali membunuh orang-orang yang berusaha mengubah mereka menjadi lebih baik. Jika saya mati dengan membawa cahaya kebenaran hakiki bagi mereka, hal itu akan menghancurkan kanker rasisme yang menggerogoti tubuh Amerika Serikat (AS). Semua itu terserah kepada Allah SWT. Sementara itu, kesalahan atau kekhilafan dalam upaya saya itu semata-mata adalah dari saya sendiri.''

Demikianlah pesan terakhirnya dalam buku "Malcolm X", sebuah autobiografi yang ditulis oleh Alex Harley.

Malcolm X lahir pada tanggal 19 Mei 1925 di Omaha, Nebraska, AS, dengan nama asli Malcolm Little. Ibunya bernama Louise Little dan ayahnya Earl Little adalah seorang pendeta Baptis dan anggota UNIA (Universal Negro Improvement Association), yakni sebuah organisasi yang dirintis oleh Marcos Aurelius Garvey untuk mewadahi perbaikan hidup bagi orang Afro-Amerika.

Semasa kecilnya, Malcolm dan keluarganya sering menjadi sasaran penembakan, pembakaran rumah, pelecehan, dan ancaman lantaran ayahnya adalah anggota UNIA yang militan. Tindakan kekerasan yang diterima keluarga Malcolm mencapai puncaknya, saat ayahnya dibunuh kelompok rasis kulit putih ketika Malcolm berusia enam tahun.

Kehilangan seorang ayah yang menjadi pelindung, pengayom, sekaligus guru, telah mengubah kehidupan Malcolm menjadi anak yang liar. Sekolahnya putus ketika ia berusia sekitar 15 tahun. Ia pun sering tinggal di jalanan. Kehidupan jalanan dan kegemarannya pada kehidupan dunia hitam, telah membuatnya terjerumus dalam berbagai kehidupan antargeng, narkotika, minuman keras, perjudian, dan pelacuran. Kehidupan seperti ini ia jalani hingga keluarganya pindah ke Harlem (wilayah terkenal bagi orang kulit hitam Amerika) di New York.

Pada usia 20 tahun, Malcolm diajukan ke pengadilan atas kasus pencurian dan ditahan hingga berusia 27 tahun. Seperti layaknya seorang narapidana, banyak keonaran yang dilakukannya semasa di penjara. Berulang-ulang ia harus keluar masuk penjara akibat perbuatan yang dilakukannya.

Namun, dari balik tembok penjara ini, dia justru menemukan apa yang dinamakan pencerahan diri, mulai dari membaca dan menulis di dalam penjara Chalestown State.

Kemudian, terjadilah kontak dengan saudaranya, Philbert, melalui surat-menyurat. Ia juga sering berdiskusi dengan saudara kandungnya, Hilda, yang sering mengunjunginya selama di penjara. Diskusi yang dilakukan berkaitan dengan ajaran agama Islam di tempat kedua saudaranya terlibat, yakni Nation of Islam (NoI) .

Memilih Islam
Berawal dari sinilah Malcolm mengenal NoI. Kemudian, ia memutuskan masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Malcolm X. Inisial X menunjukkan bahwa ia adalah eks perokok, eks pemabuk, eks Kristen, dan eks budak. Selama dalam penjara, Malcolm mengadakan kontak melalui surat-menyurat dengan Elijah Muhammad, pimpinan sekaligus tokoh bagi pengikut NoI. Berkat Elijah pula, Malcolm memahami arti ketertindasan dan ketidakadilan yang menimpa ras kulit hitam sepanjang sejarah. Sejak itulah, Malcolm X menjadi seorang napi yang kutu buku mulai dari menekuni sastra, agama, bahasa, dan filsafat.

Pada hari pembebasannya di tahun 1952, Malcolm langsung pergi ke Chicago untuk bergabung dengan kegiatan NoI. Malcolm belajar Islam dan ajaran NoI langsung dari sang pendiri. Setahun kemudian, Malcolm kembali ke Boston untuk mengorganisasi pendirian sebuah masjid. Atas keberhasilannya itu, ia diangkat menjadi imam Masjid Tujuh (Temple Seven) di Harlem.

Dengan bergabungnya Malcolm, NoI berkembang menjadi organisasi yang berskala nasional. Malcolm sendiri menjadi figur yang terkenal di dunia, mulai dari wawancara di televisi, majalah, dan pembicara di berbagai universitas terkemuka dan forum lainnya. Kepopulerannya muncul atas kata-katanya yang tegas dan kritis, seputar kesulitan yang dialami kaum negro, yaitu tentang diskriminasi dan sikap kekerasan yang ditunjukkan kaum kulit putih terhadap kaumnya (kulit hitam).

Namun sayangnya, NoI juga memberikan pandangan-pandangan yang bersikap rasis. Sehingga, ia menolak bantuan apa pun dari kalangan kulit putih yang benar-benar mendukung perjuangan antidiskriminasi. Bahkan, selama 12 tahun, Malcolm mendakwahkan bahwa orang kulit putih adalah iblis dan Elijah Muhammad adalah yang terhormat dan utusan Allah.

Pandangan tersebut tentu saja bertentangan dengan ajaran Islam sendiri, yang tidak membedakan kehormatan dan kehinaan seseorang berdasarkan ras, serta tidak ada nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Pandangan rasis dari NoI, membuat Malcolm kemudian menyadari bahwa hal tersebut sebagai sebuah ajaran yang tidak rahmatan lil alamin. Karena hal itu, ia pun memutuskan keluar dari NoI.

Bahkan, Malcolm mengatakan, dirinya sering menerima teguran bahwa tuduhan yang dilontarkan kepada kaum kulit putih, tidak memiliki dasar dalam perspektif Islam. Di antaranya, yang memberikan teguran adalah justru dari kalangan Muslim Timur Tengah atau Muslim Afrika Utara. Meski demikian, mereka menganggap Malcolm benar-benar memeluk Islam dan mengatakan jika dia berkesempatan mengenal Islam sejati, pasti akan memahami ajarannya dan memegang teguh ajarannya.

Kembali ke Ajaran Islam yang Murni
Pada tahun 1964, setelah menunaikan ibadah haji, Malcolm X mendapatkan gambaran yang berbeda atas pandangannya selama ini. Apalagi, setelah berjumpa dengan kaum Muslimin dari seluruh dunia, dari berbagai ras, bangsa, dan warna kulit yang semua memuji Tuhan yang satu dan tidak saling membedakan. Malcolm berkata, ''Pengalaman haji yang saya alami dan lihat sendiri, benar-benar memaksa saya mengubah banyak pola pikir saya sebelumnya dan membuang sebagian pemikiran saya. Hal itu tidaklah sulit bagi saya.''

Kata-kata ini sebagai bukti bahwa dirinya mengubah pandangan hidup, dari memperjuangkan hak sipil orang negro ke gagasan internasionalisme dan humanisme Islam. Malcolm X pun mulai meninggalkan ideologi separatisme kulit hitamnya dan beralih ke ajaran Islam yang sesungguhnya. Ia juga mengganti namanya menjadi el-Hajj Malik el-Shabazz. Kendati berganti nama, Malcolm X jauh lebih populer ketimbang nama barunya. Malcolm menegaskan bahwa kaum Muslim kulit hitam berasal dari leluhur kaum Muslim yang sama. Perjalanan haji, ungkap dia, telah membuka cakrawala berpikirnya dengan menganugerahkan cara pandang baru selama dua pekan di Tanah Suci.

Kebenaran Islam telah menunjukkan kepada dirinya bahwa kebencian membabi buta kepada semua orang kulit putih adalah sikap yang salah, seperti halnya jika sikap yang sama dilakukan orang kulit putih terhadap orang negro. Pada perjalanan keduanya ke Timur Tengah di tahun 1964, Malcolm X menyempatkan diri berkunjung ke Afrika, negeri leluhurnya. Selama delapan pekan, dia beraudiensi dengan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Nigeria Nnamoi Azikiwe, Presiden Tanzania Julius K Nyarere, Presiden Guinea Sekou Toure, Presiden Kenya Jomo Kenyatta, dan Perdana Menteri Uganda Milton Obote. Ia juga bertemu dengan para pemimpin agama berkebangsaan Afrika, Arab, dan Asia, baik Muslim dan non-Muslim.

''Saya melihat hal yang tidak pernah saya lihat selama 39 tahun hidup di Amerika Serikat. Saya melihat semua ras dan warna kulit bersaudara dan beribadah kepada satu Tuhan tanpa menyekutukannya. Benar pada masa lalu saya bersikap benci pada semua orang kulit putih. Namun, saya tidak merasa bersalah dengan sikap itu lagi, karena sekarang saya tahu bahwa ada orang kulit putih yang ikhlas dan mau bersaudara dengan orang negro,'' ujarnya.

Malcolm X akhirnya mendirikan Organization of Afro-American Unity pada 28 Juni 1964 di New York. Melalui organisasi ini, ia menerbitkan Muhammad Speaks (Muhammad Bericara) yang kini diganti menjadi Bilalian News (Kabar Kaum Bilali [Muslim Kulit Hitam]).

Namun, ia tak sempat lama menikmati usahanya dalam memperjuangkan Islam yang lebih baik lagi. Pada 21 Februari 1965, saat akan memberi ceramah di sebuah hotel di New York, Malcolm X tewas ditembak oleh tiga orang Afro-Amerika. Sebuah kelompok yang dia perjuangkan tentang nilai-nilai dan hak-hak warga kulit hitam. Tak ada yang tahu, apa motif di balik penembakan itu.

Kendati demikian, impian Malcolm X menyebarkan visi antirasisme dan nilai-nilai Islam yang humanis, menggugah kalangan Afro-Amerika dan dunia. Banyak yang menaruh simpati padanya. Bahkan, berkat perjuangannya pula, banyak orang yang memeluk agama Islam. Salah satunya adalah Classius Clay Junior, seorang petinju kelas berat yang akhirnya berganti nama menjadi Muhammad Ali. dia/berbagai sumber (RioL)

Sunday, July 24, 2011

Kisah Tamara bleszynski menjadi mualaf

Tamara Bleszynski. Suatu senja di Australia, saat saya sedang berkumpul bersama teman-teman di halaman sekolah, saya melihat bulan sabit dan bintang berdekatan. Tak lama kemudian, setelah saya renungkan, saya baru sadar bahwa pemandangan yang amat menakjubkan itu seringkali saya saksikan di Tanah Air. Tapi, dimana ya ?

Saya baru ingat bahwa itu adalah lambang yang terdapat di kubah atau menara masjid. Pemandangan inilah yang mengantarkan saya kepada Islam. saya bersyukur dapat hidayah-Nya justru ketika berada jauh di negeri orang.

Sejak kejadian itu saya tertarik untuk mengetahui Islam labih dalam. Saya sering mengamati perilaku umat Islam di Australia. Para pemeluk Islam ini sangat taat beribadah, terutama shalat lima waktu. Bahkan, disuruh tidak makan pun (puasa) mereka mau. Sungguh Islam merupakan agama yang sarat dengan nilai-nilai filosofi.

Tamara Nathalia Christina Mayawati Bleszynski, itulah nama lengkap saya. Tapi saya lebih dikenal dengan nama Tamara Bleszynski. Papa saya berasal dari Polandia, Eropa Timur. Ia beragama Kristen Katolik. Sekangkan mama bernama Farida Gasik, orang jawa Barat, beragama Islam. Karena orang tua saya bercerai, akhirnya saya ikut papa dan sekaligus mengikuti agamanya.

Ketertarikan saya pada agama Islam, juga terpaut pada sisi ketaatan pemeluknya. Hal semacam ini menurut saya jauh berbeda dibanding dengan keyakinan saya yang lama. Saya juga penasaran dengan gambaran sosok Tuhan dan nabi dalam Islam. Saya mengamati, dalam agama lain, sosok Tuhan dan nabi digambarkan secara konkret. Walau pun demikian Tuhan dan Nabi sangat dekat dengan mereka, lebih dekat dari urat leher manusia.

Berawal dari rasa penasaran dan ketertarikan itulah saya mulai mempelajari beberapa buku mengenai Islam. Saya juga membaca Al-Qur'an untuk mengetahui dan membandingkan ajaran yang saya peluk dahulu. Ternyata ajaran-ajaran Al Kitab itu ada juga dalam AlQur'an, seperti kisah Nabi Isa. Namun Al-Qur'an lebih komplit, dan sisi pandangannya berbeda dengan keyakinan yang selama ini saya anut. Setelah melalui proses pengamatan dan belajar selama beberapa bulan, akhirnya saya putuskan untuk memeluk agama Islam.

Masuk Islam

Keinginan saya untuk masuk Islam saya sampaikan kepada mama. Keputusan itu membuat mama bahagia. Mama menyambut baik keputusan saya itu. Papa pun tak menghambat niat baik saya itu. Beliau memahami keputusan saya. Keluarga kami memang sangat demokratis.

Walaupun papa seorang Katolik, toh ia sudah tinggal di Indonesia selama 40 tahun, dan memahami budaya kaum muslim. Papa sering menyumbang untuk pembangunan masjid, dan pada bulan puasa papa suka menyediakan makanan berbuka bagi orang yang berpuasa. Hal inilah yang membuat saya bangga kepada papa. Singkat cerita, pada tahun 1995 lalu saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat.

Selanjutnya, dalam proses perpindahan agama, awalnya saya akui cukup berat melakukan penyesuaian dengan agama baru itu. Berbagai cara saya lakukan untuk mempelajari Islam, terutama shalat. Antara lain membaca berbagai buku yang berisi tuntunan shalat.

Saya juga menggunakan kaset penduan shalat. Mula-mula saya shalat memakai earphone, sambil mendengarkan petunjuk dari tape recorder. Tak sampai satu bulan saya sudah hafat semua bacaan dan gerakan shalat. Alhamdulillah, saya sudah dapat menjalankan shalat lima waktu.

Setelah masuk Islam saya merasakan berbagai perubahan yang mencolok dalam hidup saya. Pikiran saya lebih tenang dan terbuka, karena saya punya pedoman dalam menilai yang benar dan salah, yang haram dan halal, juga yang baik dan yang buruk.


Mendapat Jodoh

Perubahan yang mencolok saya akui pada perubahan rezeki. Saya merasa rezeki yang diberikan Allah SWT setelah masuk Islam, lebih memadai. Inilah yang patut saya syukuri. Dan terbesar yang saya dapatkan adalah jodoh yang sesuai dengan doa saya selama ini.

Saya berdoa agar dapat jodoh yang seiman dan mampu membimbing saya dalam beragama. Ternyata Allah mengabulkan doa saya. Saya mendapatkan seorang pemuda muslim dari keluarga keturunan Arab-Aceh. Namanya Teuku Rafli Pasha, 24 tahun, anak kedua dari lima saudara. Rafli anak dari Teuku Syahrul, mantan anggota DPR RI dan Ibu Cut Ida Syahrul. Saya tak menyesal kawin muda, karena itu ibadah. Dan, suami saya ini sangat berperan dalam memberikan pemahaman tentang Islam kepada saya.

Saya dan Rafli akhirnya melangsungkan pernikahan di Tanah Suci Mekah dengan restu orang tua kami, setelah kami selesai melakukan Ibadah Umrah. Akad nika berlangsung di Masjidil Haram, disaksikan mama, serta H. Cecep, guru ngaji saya selama ini.

Saya dan Rafli sudah lama saling mengenal. Waktu itu kami bertemu di sebuah restoran di Jakarta. Sejak perkenalan itu, dalam tempo satu bulan kami mulai akrab, dan berusaha untuk lebih mengenal satu sama lain.

Akhirnya kami saling mencintai, dan juga mendapat restu dari orang tua kami, sehingga kami memutuskan untuk sekalian meresmikan pernikahan menjadi suami istri di Tanah Suci. Saya mendapatkan figur Rafli seorang yang ulet bekerja walau ia adalah lulusan Nortuidge Military College dia meraih gelar master dari Boston University, Amerika Serikat Tapi ia sangat taat beribadah. Ini yang saya dambakan . Kini suami saya bekerja di Uninet Jakarta.

Suami saya menyadari bahwa saya yang dipersunting telah memiliki karir yang cukup mapan sebagai model, model iklan, dan bintang sinetron, sehingga ia tidak melarang karier yang sedang saya jalani ini. Walaupun demikian, saya harus membatasi diri. Apa yang baik atau tidak baik untuk keluarga. Untuk itu saya memohon doa dari para pembaca, semoga saya menjadi muslimah yang baik dan dapat membina keluarga yang sakinah. (Agus Salam/Albaz) (http://www.geocities.com/kebenaran_islam/tamara.html)

Friday, July 22, 2011

Naoko Kasai : Mengenal Islam Lewat Perrgaulan

imageSaya lahir di Jepang pada tanggal 25 Maret 1970. Orang tua saya memberi saya nama Naoko Kasai. Sebagaimana orang tua, mereka mendidik saya dengan baik. Tugas saya hanya belajar dan belajar, setelah itu bekerja. Karena demikian tegasnya sikap orang tua, saya akhimya dapat mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Meiji. Setelah lulus saya bekerja sebagai wartawan pada sebuah penerbitan khusus bidang pertanian.

Dari pekerjaan sebagai wartawan itulah, saya mulai banyak bergaul dengan beragam karakter manusia dari berbagai bangsa, mulai mahasiswa yang sedang belajar sampai para pekerja asing yang bekerja di kota-kota Jepang.

Suatu ketika saya datang ke Universitas Tokyo. Di sana saya bertemu danberkenalan dengan seorang mahasiswa yang berasal dari Turki. Awal perkenalan itu hanyalah berbincang-bincang soal biasa. Karena hampir setiap minggu kami bertentu, pembicaraan pun kian melebar ke hal-hal yang serius, seperti masalah agama.

Mahasiswa Turki tersebut adalah seorang muslim. Sedangkan, saya anak seorang penganut Shinto (sebuah sekte agama Budha yang berkembang di Jepang). Karena saya seorang wartawan maka rasa keingintahuan saya pada Islam begitu kuat. Di dalam negeri saya sendiri, Islam tidak begitu dikenal. Yang ada hanya Shinto sebagai kepercayaan dan Kristen sebagai agama. Itu pun tidak begitu taat dianut masyarakat.

Saya ingin mahasiswa Turki itu bercerita banyak mengenai Islam yang sesungguhnya. Sebab, saya dan kaum muda Jepang lainnya, sangat menggandrungi kebudayaan Amerika. Dari kebudayaan Amerika yang merasuk pada berbagai sektor kehidupan, tersebar informasi yang mengatakan bahwa agama Islam adalah agama kaum teroris dan masyarakat yang terbelakang.

Mahasiswa Turki itu bercerita tentang Tuhan, yang oleh umat Islam disebut Allah, dan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya, serta pokok-pokok ajaran Islam lainnya. "Apakah benar Tuhan itu ada?" tanya saya menggebu-gebu. Mahasiswa Turki itu menjawab, "Tuhan itu ada." la sangat meyakininya. Sebagai seorang muslim, ia pun melaksanakan ibadah shalat di mana pun ia berada. la pun meluruskan pandangan saya yang negatif tentang Islam akibat propaganda orang-orang Barat.

Tertarik Kepada Islam

Dari cerita mahasiswa Turki itu, saya makin tertarik. Terus terang, masyarakat Jepang jarang bercerita tentang agama. Dan informasi mengenai agama lain pun kurang terdengar, apalagi Islam. Justru yang selalu mereka dengungkan adalah belajar, belajar, dan bekerja. Agama bukanlah hat yang pokok. Shinto hanya sebuah kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Jepang yang dijadikan kepercayaan negara. Oleh sebagian kaum tua Jepang, kepercayaan Shinto masih tetap hidup. Misalnya, ketika panen melimpah, mereka melakukan upacara untuk mengucapkan terima kasih pada Dewa Inori (dewa pertanian). Tapi kini, kepercayaan Shinto sudah dianggap keno dan tergusur oleh kemajuan zaman.

Islam yang diceritakan oleh teman Turki saya itu, telah menimbulkan rasa simpati dalam diri saya. Saya kagum dan terkejut. Katanya, Islam sudah mendunia (dianut oleh masyarakat dunia) dan Islam berbicara melintasi alam dunia (akhirat). Dari sinilah saya tak bisa tidur, Saya gelisah.

Akhimya saya putuskan belajar untuk mengetahui tentang Islam lebih lanjut. Lalu, saya mendatangi Islamic Center of Japan. Di sana Saya membaca buku terjemahan dari bahasa Arab mengenai hal-hal yang mendasar dalam Islam, seperti shalat, puasa, dan sebagainya. Oleh pengurus Islamic Center, saya diberi buku-buku secara gratis.

Tapi, itu pun kurang memuaskan rasa ingin tahu saga tentang Islam. Saya pun mulai bergaul dengan para pekerja asal Indonesia, yang rata-rata beragama Islam. Pergaulan saya dengan para pekerja Indonesia inilah yang membuat saya mulai tertarik datang ke Indonesia. Saya ingin tahu masyarakat Islam di Indonesia. Tapi, saya masih perlu belajar lebih jauh tentang Islam.

Tidak terasa, sudah tiga tahun saya mengenal Islam. Hati kecil saya menvatakan agar saya memeluk agama Islam. Namun timbul keraguan, karena pengetahuan saya tentang Islam masih kurang.

Masuk Islam

Alhamdulillah, taufik dan hidayah Allah itu akhirnya datang juga kepada saya. Pada bulan Mei 1997, di sebuah masjid di daerah Jakarta Timur, saya mengikrarkan diri menjadi seorang muslimah. Saya mengucapkan dua kalimat syahadat. Saya pun mengganti nama menjadi Naoko Nani Kartika Sari.

Perihal keislaman saya, sengaja tidak saya beritahukan kepada prang tua. Karena sava khawatir, informasi mengenai Islam yang negatif masih mempengaruhi ibu saya. Tapi akhirnva beliau saya beritahu juga. Syukurlah, sikap ibu tidak seperti yang saya duga. Ibu tidak terpengaruh pada informasi itu. la juga tidak marah. Ia menanggapinya biasa-biasa saja.

Setelah menjadi seorang muslimah, saga mulai belajar shalat dan ibadah lainnya. Pertama kali shalat, sava merasakan kedamaian dan ketenangan. Islam membuat jiwa saya tenang dan damai. Apalagi kini saya berada di negara yang mayoritas beragama Islam.

Saya menikah dengan warga negara Indonesia dan kini tinggal di Indonesia. Dari pernikahan ini, saya mengakui tidak dapatbelajar banyak mengenai Islam dari suami sava. Untuk mendalami ajaran Islam dengan segala aspeknya, sava belajar dari ibu angkat sava, Ibu Maini namanya.

Dari beliaulah saya merasakan ketenangan beragama. Beliau sangat sabar membimbing saya. Saya dibimbingnya berpuasa pada bulan Ramadhan, shalat tarawih, dan shalat Idul Fitri, dan ibadah-ibadah lainnya. Misalnya, pada Idul Adha kemarin, saya dibimbing untuk berkurban dengan satu ekor kambing.

Inilah kegiatan keagamaan yang terasa dalam hati sanubari sava. Saya bersyukur, walau jauh dari tanah kelahiran, namun pengamalan nilai-nilai ibadah mendapat bimbingan dari saudara-saudara seiman. Lewat pergaulan antarumat manusialah yang membuat mata batin sava terbuka dan menemukan Islam sebagai agama. (http://www.mualaf.com)

1-16-11, Ohara, Setagaya-Ku,Tokyo 156-0041
Tel: 03-3460-6169, Fax: 03-3460-6105
E-mail islamcjp@islamcenter.or.jp

Thursday, July 21, 2011

Mengapa Aku Tanggalkan Bikini untuk Niqab?

Sebagai perempuan Amerika yang lahir di ‘Jantung’-nya Amerika, aku tumbuh dewasa seperti gadis-gadis lainnya dan terbiasa dengan kehidupan glamour kota besar. Kemudian aku pindah ke Florida, di Pantai Selatan Miami, di sebuah tempat populer bagi pencari kehidupan glamour. Tentu saja, saat itu aku juga melakukan apa yang dilakukan oleh umumnya gadis-gadis Barat. Aku hanya memperhatikan penampilan fisik dan daya tarikku, mengukur nilai reputasiku dari banyaknya perhatian orang lain padaku. Aku berolahraga teratur hingga menjadi pelatih pribadi di sebuah perumahan mewah pinggir laut dan menjadi pengunjung setia pantai yang ‘suka pamer tubuh’ serta sukses mencapai taraf kehidupan yang ‘penuh gaya dan berkelas’.
Tahun-tahun berlalu, kupahami bahwa ukuran nilai kepuasan diri dan kebahagiaanku bergeser pada semakin tingginya aku menggunakan daya tarik kewanitaanku. Saat itu, aku sungguh menjadi budak mode. Aku sungguh menjadi sandera dari penampilanku sendiri.
Oleh karena celah kosong antara kepuasan diri dan gaya hidup makin melebar, maka aku mencari perlindungan diri dari tindakan pelarian ke alkohol dan pesta-pesta, dengan cara mengikuti meditasi, menjadi aktivis, dan belajar kepercayaan-kepercayaan alternatif, dengan tujuan agar celah kosong itu terkoreksi dan terlihat lebih landai. Namun, akhirnya aku sadar bahwa semua itu hanya seperti obat pemati-rasa saja, yang sakitnya bisa terasa kembali, daripada sebuah pengobatan yang benar-benar efektif.
Kemudian terjadi peristiwa 11 September 2001.

Sebagai saksi atas terjadinya serangan berkelanjutan pada Islam, pada nilai-nilai dan budaya Islam, dan adanya deklarasi yang berkonotasi negatif mengenai “Aktivis Salib Baru”, aku tergugah untuk mulai memperhatikan Islam. Hingga saat itu aku mengasosiasikan semua yang berbau Islam dengan perempuan-perempuan yang berbaju seperti ‘kemah’, tukang pukul isteri, harem, dan dunia teroris.
Sebagai aktivis pembebasan perempuan dan sebagai orang yang mengupayakan dunia yang lebih baik untuk semua, jalanku bersilangan dengan jalan aktivis lainnya yang telah memimpin tindakan reformasi dan keadilan untuk semua tanpa pandang bulu. Aku bergabung dalam kampanye pembimbing baruku yang saat itu masih berlangsung, salah satunya adalah reformasi pemilihan umum dan hak-hak sipil. Sekarang ini, kegiatan aktivisku sudah sangat berbeda. Daripada mendukung keadilan untuk sebagian orang secara ‘selektif’, aku belajar bahwa yang ideal seperti keadilan, kebebasan dan penghargaan benar-benar berarti dan intinya bersifat universal, lalu antara masing-masing kebaikannya dan dasar kebaikan ketiganya harus sejalan dan tidak konflik.
Untuk pertama kalinya, aku mengetahui sesungguhnya arti “semua orang diciptakan sederajat”. Tetapi yang sangat penting, aku belajar bahwa hanya perlu keyakinan untuk melihat dunia yang satu dan untuk melihat penyatuan dalam penciptaan.
Suatu hari aku melewati sebuah buku yang dikonotasikan negatif di Barat – Al-Quran Yang Suci. Tadinya aku tertarik pada gaya dan pendekatan Al-Quran dan kemudian minatku terbangkitkan lebih dalam pada pandangannya tentang keberadaan makhluk, kehidupan, penciptaan dan hubungan antara Pencipta dan penciptaan itu sendiri. Aku rasa Qur’an dapat menjadi sumber pembuka wawasan dan pengetahuan untuk hati dan jiwa tanpa perlu penerjemah atau pastor.
Akhirnya aku sampai pada momen penting yang mengubah kehidupanku selanjutnya: Pemahaman aktivis yang baru kurasakan untuk kepuasan diri baru-baru ini, ternyata tidak berarti apapun dibandingkan dengan memeluk sebuah keyakinan yang disebut Islam, yang memungkinkan aku hidup damai sebagai Muslim yang bisa bermanfaat.
Aku membeli sebuah gaun panjang yang cantik dan penutup kepala, mirip gaya busana Muslimah dan dengannya aku berjalan di jalan dan lingkungan tetangga yang sama, yang beberapa hari sebelumnya aku masih mengenakan celana pendek, bikini atau gaya busana Barat yang berkelas. Walaupun masyarakat, wajah dan toko semuanya tetap sama, ada satu hal yang sangat berbeda, karena untuk pertama kalinya -aku bukan lagi-, rasa damai itu juga bukan yang sama sepanjang hidupku sebagai perempuan. Aku merasa seolah-olah semua rantai telah putus dan akhirnya aku bebas sebenar-benarnya. Sangat menyenangkan melihat wajah heran dari orang-orang lain dibandingkan dengan melihat wajah pemangsa yang siap menerkam korbannya, yang sering kutemui dulu. Tiba-tiba saja beban itu terangkat dari bahuku. Aku tidak lagi menghabiskan waktuku untuk berbelanja, membeli kosmetik, ke salon dan melatih fisik untuk penampilanku. Akhirnya aku bebas.
Dari semua tempat itu, aku menemukan Islamku tepat di pusat dari tempat yang sering disebut sebagian orang sebagai ‘tempat tersering terjadinya skandal di bumi’, bagaimanapun membuat semua itu menjadikannya penuh cinta dan spesial.
Walaupun bahagia dengan Hijab, aku menjadi ingin tahu mengenai Niqab (cadar), karena melihat peningkatan angka Muslimah yang mengenakannya. Aku bertanya kepada suamiku yang juga Muslim, yang menikah denganku setelah aku menjadi Muslimah, apakah aku diperbolehkan mengenakan Niqab atau cukup dengan hijab-ku yang sekarang telah kukenakan. Dengan santainya suamiku menanggapi bahwa ia percaya bahwa Hijab adalah sebuah kewajiban namun tidak demikian dengan Niqab.
Saat itu, Hijabku terdiri dari penutup kepala yang menutupi semua rambutku kecuali wajah dan gaun hitam panjang yang longgar, biasa disebut dengan Abaya yang menutupi tubuh dari leher hingga kaki.
Satu setengah tahun berlalu, aku mengatakan kepada suamiku bahwa aku ingin mengenakan Niqab. Alasanku kali ini, bahwa aku merasa akan lebih menyenangkan Allah, Yang Maha Pencipta, dan akan meningkatkan rasa damai dalam diri bila berpakaian lebih tertutup. Ia mendukung keputusanku dan mengantarku membeli ‘Isdaal’, sebuah gaun hitam longgar yang menutup dari kepala hingga kaki dan ‘Niqab’ yang menutup seluruh kepalaku termasuk wajah kecuali mata.
Tak lama, media mulai memberitakan tentang para politikus, pemuka Vatikan, pendukung kebebasan, aktivis HAM palsu yang berkali-kali mengkritik pedas tentang Hijab, apalagi Niqab, yang bagi orang lain tampak sebagai bentuk yang sangat kejam terhadap kaum perempuan, juga dianggap gangguan dalam bersosialisasi dan baru-baru ini seorang pegawai Mesir mengatakan bahwa hal itu ‘sebagai tanda-tanda kemunduran’
Lalu aku menilai sebuah kemunafikan parah saat beberapa pemerintahan Barat dan juga kelompok pembela HAM palsu yang tergesa-gesa mencoba membela hak-hak perempuan ketika pemerintahan beberapa Negara lainnya memaksakan penggunaan kode berbusana tertentu untuk perempuan. Sekalipun begitu ‘Pejuang Kebebasan’ melihat sisi lainnya ketika kaum perempuan kehilangan hak-haknya, tidak dapat bekerja, belajar, hanya karena memilih untuk menggunakan haknya untuk mengenakan Niqab atau Hijab. Sekarang ini, terjadi peningkatan pembatasan kaum perempuan yang mengenakan Hijab atau Niqab dari kesempatan bekerja dan pendidikan, bukan hanya di bawah rejim yang totaliter seperti di Tunisia, Maroko dan Mesir, melainkan juga di Negara-negara demokrasi seperti Perancis, Belanda dan Inggris.
Saat ini, aku masih tetap menjadi aktivis perempuan, tepatnya aktivis perempuan Muslim, yang memanggil para Muslimah untuk mengambil tanggung jawab mereka memberi dukungan semampunya kepada suami agar menjadi Muslim yang baik. Untuk membesarkan anak-anak mereka agar menjadi Muslim yang jujur dan bertanggungjawab, sehingga mungkin nanti bisa menjadi cahaya untuk kemanusiaan. Untuk memerintahkan kebaikan –kebaikan apapun- dan untuk mengharamkan kejahatan –kejahatan apapun-.
Untuk berbicara tentang kebenaran dan kebajikan serta melawan semua keburukan-keburukan. Untuk memperjuangkan hak-hak kita mengenakan Niqab atau Hijab untuk menyenangkan Yang Maha Pencipta, apapun yang kita pilih. Dan juga penting, untuk membagi pengalaman mengenakan Niqab atau Hijab kepada teman perempuan yang mungkin belum pernah berkesempatan untuk mengerti apa arti sesungguhnya mengenakan Niqab atau Hijab bagi kita dan alasan-alasan kita sehingga, dengan penuh cinta, kita memeluknya.
Sebagian besar perempuan yang kuketahui mengenaikan Niqab adalah Muallaf Barat, sebagian dari mereka bahkan belum menikah. Yang lain mengenakan Niqab tanpa dukungan penuh dari keluarga maupun lingkungan dekatnya. Apa yang umumnya kita miliki adalah, bahwa semua itu adalah pilihan pribadi setiap orang atau masing-masing dari kita, yang tidak satupun dari kita menginginkan untuk menyerah.
Mau atau tidak mau, kaum perempuan dibombardir dengan gaya “berbusana minim hingga tanpa busana” secara virtual dalam setiap bentuk komunikasi dimanapun di dunia ini. Sebagai seorang bekas Non-Muslim, aku tetap menuntut hak-hak perempuan untuk sama-sama mengetahui mengenai Hijab, kebaikan-kebaikannya, dan kedamaian serta kebahagiaan yang dibawanya ke dalam kehidupan perempuan, seperti yang telah terjadi padaku.
Kemarin, bikini merupakan lambang kebebasanku, yang sesungguhnya membebaskanku dari kepercayaan-kepercayaanku dan sebagai manusia biasa.
Aku tidak dapat lebih gembira lagi karena telah menanggalkan bikiniku di Pantai Selatan dan gaya hidup Barat yang gemerlapan itu, untuk hidup damai dengan Penciptaku dan menikmati hidup di antara teman-teman sesama manusia sebagai pribadi yang layak menerimanya. Hal itu adalah alasanku untuk memilih mengenakan Niqab dan bersedia mati membela hakku yang tak mungkin bisa dicabut untuk mengenakannya.
Hari ini, Niqab adalah simbol baru pembebasan perempuan untuk menemukan siapa dirinya, apa tujuannya dan bagaimana bentuk hubungan yang dipilihnya agar bisa bersama Penciptanya.
Kepada perempuan yang menyerah terhadap anggapan buruk mengenai ketertutupan Hijab yang islami, aku bisa berkata: Engkau tidak mengetahui apa yang terlewatkan olehmu.
Kepadamu, penguasa peradaban yang korup dan tidak beruntung, juga para aktivis palsu, aku bisa berkata: Bawalah terus…
[Ditulis oleh Sara Bokker, dahulu seorang aktris/model/pelatih fitness dan seorang aktivis. Saat ini Sara Bokker adalah Direktur Komunikasi di “The March for Justice”, salah seorang pendiri ‘Global Sisters Network” dan Produser “Shock and Awe Gallery. Tulisan ini diambil dari situs www.marchforjustice.com. Cerita ini juga pernah dimuat di www.saudigazette.com.sa. ]

Wednesday, July 20, 2011

Alkitab Mengantarkan Seorang Theolog dan juga Master Pendidikan pada Islam

Rosalyn Rushbrook. Dia seorang yang cerdas dengan ijazah di bidang Teologi Kristen dari Universitas Hull, Inggris, tahun 1963 dan gelar master untuk bidang pendidikan dari perguruan tinggi yang sama. Sebagai seorang teolog dan penganut Kristen Protestan, pengetahuan agamanya sangat mumpuni.

Bahkan, pengelola selama 32 tahun program studi ilmu-ilmu keagamaan di berbagai sekolah dan perguruan tinggi di Inggris ini juga menulis beberapa buku tentang agamanya. Dia juga pernah menjabat sebaai kepala Studi Agama di William Gee High School, Hull, Inggris. Setiap hari, dia berkutat dan mendalami alkitab sebagai pegangan agamanya.

Namun, siapa yang menduga, semakin dia memperdalam alkitab yang muncul justru keraguan dalam dirinya tentang agamanya. Awalnya, dia mempertanyakan ajaran agamanya yang dinilainya telah mengalami banyak penyimpangan. Semakin dia membaca alkitab, keraguan itu kian membuncah. Dia merasa ada sesuatu yang telah menyimpang dari konsep ketuhanan Kristen yang dinilainya tak lagi murni saat pertama kali diturunkan Tuhan. Dia mempertanyakan konsep teologi trinitas dalam agamanya.

Sebagai seorang cendekiawan, dia lantas mencoba mencari jawabannya. Dia teliti kajian-kajian ilmiah dari berbagai penulis atau literatur termasuk alkitab. Dia bandingkan ajaran agama yang dipeluknya sejak lahir itu dengan agama lain termasuk Islam. Berawal dari keraguan atas Alkitab, dia kemudian mulai mengenal Islam. Tak sebatas membandingkan, dia pun perlahan mulai mendalami konsep ketuhanan dan pemikiran-pemikiran tentang agama yang diwahyukan melalui Nabi Muhammad SAW ini.

Rupanya, jalan pikirannya sependapat dengan konsep ketuhanan yang diajarkan Islam. Wanita kelahiran 1942 ini melihat teologi ketuhanan yang dibawa Alquran lebih rasional dan mengena. Hingga akhirnya di tahun 1986, di saat usianya menginjak 44 tahun, dia mantap memilih Islam sebagai agamanya yang sejati. Dia menyebut dirinya telah 'kembali' dengan menjadi Muslim. Tanpa ragu, dia pun mengganti namanya menjadi Ruqaiyyah.

Pilihannya menjadi muallaf menimbulkan konsekuensi bagi keluarganya. Rosalyn yang telah berganti menjadi Ruqaiyyah memutuskan untuk mengakhiri perkawinannya dengan penyair Inggris, George Moris Kendrick yang telah dijalani sejak 1964. Sebelumnya, dia telah memiliki dua anak, Daniel George lahir 1968 dan Frances Elisabeth Eva lahir 1969. Kemudian di tahun 1990, dia menikah lagi dengan pria keturunan Pakistan, Waris Ali Maqsood.

''Di negara-negara Barat, ada ajaran ilmu etika berintikan pada cinta dan kasih Tuhan dan tolong-menolong sesama manusia. Itu semua diajarkan juga oleh semua nabi, termasuk Nabi Muhammad SAW. Kami orang Islam juga meyakini Nabi Isa sebagai salah satu nabi yang diutus Allah,'' kata Ruqaiyyah suatu ketika.

Meski telah menjadi Muslim, tak membuatnya berhenti berkarya. Dia melanjutkan hobinya menulis. Namun, dia tak lagi menulis tentang Kristen, tapi berganti dengan menulis tema-tema tentang Islam. Tak sekadar menulis buku, dia juga rajin menulis artikel untuk majalah atau pun koran di negaranya.

''Saat ini Islam dicap sebagai agama bermasalah. Sangat tidak adil. Karena itu, saya berupaya menulis untuk memperbanyak literatur-literatur Islam. Harapan saya, agar melalui tulisan-tulisan itu, dapat membantu memperbaiki atmosfer yang kurang berpihak ke Islam,'' tuturnya.

Buku-buku mengenai Islam yang ditulisnya cukup beragam. Tidak hanya buku-buku kategori ‘berat’, seperti buku mengenai sejarah Islam dan isu seputar Muslimah, tetapi juga buku-buku tentang bimbingan konseling bagi remaja Islam. Juga ada beberapa buku saku, antara lain 'A Guide for Visitors to Mosques', 'A Marriage Guidance Booklet', dan 'Muslim Women’s Helpline'. ''Saya sangat tertarik menggeluti sejarah Islam, terutama tentang kehidupan wanita-wanita di sekitar Nabi Muhammad. Saya acapkali meng-counter kampanye anti-Islam yang mendiskreditkan wanita Muslim,'' jelasnya.

Oleh komunitas Muslim di Inggris, dia juga diminta untuk menyusun buku teks mengenai Islam. Buku-buku teks hasil karyanya ini dipakai secara luas di Inggris selama hampir 20 tahun. Buku-buku itu dipakai oleh kalangan pribadi, mualaf, dan pelajar-pelajar sekolah umum dan madrasah di Inggris dan beberapa negara lainnya. Ia juga membantu mengembangkan silabus bagi pelajar sekolah agama, bekerja sama dengan dinas pendidikan setempat.

Aktivitas mengajarnya juga padat. Banyak negara telah disambanginya, di antaranya AS, Kanada, Denmark, Swedia, Finlandia, Irlandia, dan Singapura. Ruqaiyyah juga mengajar di beberapa universitas yang ada di Inggris, seperti Oxford, Cambridge, Glasgow, dan Manchester. Juga, mengajar di School of Oriental and Arabic Studies di London.

Berkat segudang kreativitasnya, Ruqaiyyah menerima Muhammad Iqbal Award pada tahun 2001. Dialah Muslim pertama Inggris yang pernah menerima anugerah bergengsi tersebut. Pada Maret 2004, dia juga terpilih sebagai salah satu dari 100 wanita berprestasi di dunia. Dalam ajang pemilihan Daily Mails Real Women of Achievement, Ruqaiyyah Waris Maqsood termasuk satu dari tujuh orang wanita berprestasi dalam kategori keagamaan.[Republika]

Tuesday, July 19, 2011

Stephen Schwartz, Jurnalis Amerika yang Bersyahadat di Bosnia

Pria yang lahir di Columbus, Ohio ini dikenal sebagai wartawan dan kerap mengkritik Bush. Kini ia menjalani Islam dan rajin shalat

Stephen Schwartz lahir di Columbus, Ohio tahun 1948. Lebih dari separuh hidupnya dihabiskan dengan berkarir sebagaiStephen Schwartz wartawan dan penulis. Stephen kenal Islam dan bersyahadah ketika bertugas sebagai reporter di Bosnia. Setelah memeluk Islam, mantan wartawan senior San Francisco Chronicle ini kerap mengkritik pemerintahan Bush yang sering mengidentikkan teroris dengan Islam. Artikel-artikel kontroversialnya muncul di sejumlah koran ternama seperti The New York Times, The Wall Street Journal, The Los Angeles Times, dan The Toronto Globe and Mail. Stephen juga kontributor tetap untuk The Weekly Standard, The New York Post dan Reforma di Mexico City. Berikut kisah pria yang mengaku tertarik dengan kehidupan sufi dalam Islam dan ketika di Bosnia aktif mengikuti kegiatan tarekat Naqshabandiah. Inilah beritanya.



Stephen Schwartz memeluk Islam di Bosnia pada 1997 atau di usianya yang ke-49. Sebelumnya, lebih dari 30 tahun lamanya, dia melakukan studi dan menimba berbagai pengalaman hidup serta mempelajari sejarah beberapa agama samawi. Bagaimana ceritanya hingga dia terkesan dengan agama Islam?

"Aku tertarik dengan Islam sejak tahun 1990 saat berkunjung ke Bosnia untuk melakukan studi tentang sejarah Yahudi di Balkan. Aku butuh data itu untuk mengisi kolom rutin di jurnal Jewish Forward. Nah dalam penelitian itu, aku sempat menjalin kontak dengan tokoh-tokoh Islam Balkan," kisah Stephen.

Jika menilik sejarah hidupnya, dia mengaku berasal dari keluarga "agamis". "Aku dibesarkan dalam lingkungan yang benar-benar ekstrem bagi kebanyakan orang Amerika. Ayahku seorang Yahudi yang taat. Sementara ibuku adalah anak dari seorang tokoh kelompok Protestan fundamentalis. Dia sangat paham dengan Bibel, juga Kitab Perjanjian Lama dan Baru," kata pria yang menambah Suleiman Ahmad di depan namanya selepas memeluk Islam.

Stephen sendiri mengaku, pertama kali bersentuhan dengan agama adalah tatkala ikut kegiatan gereja Katolik. Walau saat itu belum memutuskan ikut ajaran itu, dia sempat tertarik dengan sejumlah literatur tentang kebatinan dalam ajaran Katolik. Keingintahuannya membuat dia melakukan sejumlah studi dan riset mendalam hingga ke negeri matador Spanyol.

Riset di Spanyol

Di awal penelitiannya, Stephen mengamati bahwa di balik kejayaan Katolik Spanyol ternyata terdapat pengaruh kuat sejarah Islam kala berkuasa di Spanyol. Dia mengaku takjub dan terinspirasi dengan agama Islam yang masih bertahan dalam sejumlah tradisi di sana.

"Sebagai seorang penulis, aku meneliti fenomena ini selama bertahun-tahun. Mula-mula kupelajari sejarah itu melalui aneka karya sastra masa lampau yang menunjukkan pengaruh Islam di kawasan Iberia itu," ungkap dia.

Awal 1979, dia mulai mempelajari Kabbalah, sebuah tradisi mistik bangsa Yahudi. "Nah, menariknya di dalam Kabbalah itu juga kudapati adanya pengaruh Islam," ujar Stephen yang meneliti tentang Kabbalah selama hampir 20 tahun lamanya.

Kenal Islam di Bosnia

Selama meneliti Kabbalah, dia sempat melakukan perjalanan ke Bosnia dalam kapasitasnya sebagai seorang reporter. "Tahun 1990 untuk pertama kalinya aku bersentuhan secara langsung dengan Islam di Bosnia dan untuk pertama kalinya pula aku mengunjungi sebuah mesjid di ibukota Sarajevo," kata dia.

"Perlahan, aku melihat Islamlah yang mampu menawarkan jalan "terdekat" untuk mendapatkan kasih sayang Allah," ujar pria yang juga aktif mengikuti tarekat Naqshabandiah kala di Bosnia. Dia bertemu dengan Syekh Hisham, seorang guru tarekat Naqshabandi di sana. Hatinya benar-benar terkesan hingga dalam hitungan minggu diapun bersyahadah di negeri Balkan itu. "Aku bangga jadi orang Islam," aku dia.

Di Sarajevo, Stephen menemukan banyak hal yang mengesankan hatinya. "Kutemukan sebuah pos terdepan Islam di Eropa, saat mana aku tidak merasa sebagai seorang asing di sana. Saat mana aku secara gampang bisa berjumpa dan bergaul langsung dengan orang-orang Islam yang begitu ramah, demikian pula kalangan terdidiknya. Aku menemukan puisi dan gubahan musik yang begitu indah, yang mengekspresikan nilai-nilai keagungan dan kedamaian dalam Islam," ungkap dia dipenuhi rasa kagum.

"Aku telah temukan sebuah "taman tua" yang indah," ujar Stephen mengutip salah satu bait lagu Bosnia yang sangat terkenal yang berkisah tentang masa jaya Kekhalifahan Usmani di Balkan dan kontribusinya terhadap budaya Islam.

Stephen juga membaca beberapa bagian dari Alquran dan mengunjungi monumen-monumen Islam selama kunjungannya di Balkan.

"Aku layaknya kembali ke taman itu dan akhirnya masuk ke dalamnya," ujar dia memberi ibarat. Ya, akhirnya dia memang memutuskan masuk Islam kala di Bosnia.

Takut timbul konflik

Sejak menerima Islam, Stephen sangat berhati-hati sekali dalam mengirim informasi keislamannya, baik itu kepada keluarga, teman-temannya hingga para tetangga dekatnya.

"Aku tidak mau sembarangan memberikan info ini, takut nanti timbul konflik dan kontroversi.. Aku juga tidak mau pengalaman ini dilihat atau dicap sebagai sesuatu yang bodoh atau picik. Ini bukan menyangkut diriku pribadi, tapi ini berkaitan dengan Allah. Aku ingin proses keislaman ini berada di jalan yang wajar. Hal ini semata-mata untuk kebaikan umat Islam dan juga bagi terbentuknya hubungan persaudaraan Islam di dalam ikatan kalimat la ilaha illallah," tukas dia.

"Aku amati, adakalanya kalangan nonmuslim melihatku sebagai seorang muallaf baru yang terpengaruh oleh kehidupan di Balkan. Tapi aku segera meluruskan pendapat ini seraya menyebutkan bahwa aku suka Islam bukan karena terlibat politik atau alasan kemanusiaan, tapi murni semata-mata karena pesan indah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah," kata dia lagi.

Damai dalam Islam

"Seperti telah kusebutkan di awal, aku menemukan bahwa hal-hal positif dalam agama samawi Yahudi dan Nasrani. Nilai-nilai positif itu terefleksikan dalam ajaran Islam. Jadi, Islam datang menyempurnakan agama terdahulu," kata Stephen.

"Aku sangat yakin, tanpa adanya toleransi orang-orang Arab Spanyol dulu, terutama di saat Kekhalifahan Usmani masih berjaya, maka bangsa Yahudi telah lama hilang dari permukaan bumi ini. Halnya agama Yahudi hari ini, sangatlah jauh berbeda dengan ajaran mereka saat masih hidup berdampingan dengan orang-orang Islam dahulu," tegas Stephen.

"Setelah memeluk Islam, hal yang sangat berkesan bagiku adalah adanya kedamaian hati disertai kehadiran Allah di dalam setiap hal. Muncul perasaan lembut, sopan santun, sederhana dan rasa ikhlas. Hidupku jadi mudah. Bahkan di saat aku ada masalah atau ujian dalam hidup ini," tutur Stephen yang sangat yakin jika nilai-nilai Islam itu akan mampu menyelesaikan aneka permasalahan di Amerika, terutama perkara krisis moral.

Kritik Bush

Begitulah. Saat ini Stephen Schwartz dipercaya sebagai Direktur Eksekutif Center for Islamic Pluralism yang didirikan pada 25 Maret 2005 dan berpusat di Washington DC. Dia juga penulis buku best seller The Two Faces of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role In Terrorism.

Buku itu telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Dalam buku tersebut dia mengungkapkan rasa tak setujunya dengan cap Islam teroris dan mengkritik secara terbuka pemerintahan Bush yang selalu mengidentikkan teroris dengan Arab. Akibat kritik tajamnya itu Stephen pun lantas dipecat dari posisinya sebagai penulis berita di media bergengsi Voice of America.

Begitupun, dalam beberapa hal, Stephen mengaku sangat sedih kala melihat konflik di Timur Tengah. "Aku sering memimpikan adanya kedamaian dan persahabatan antara Israel dan Arab. Persis sepertimana di saat orang Yahudi bisa hidup damai di masa kepemimpinan orang Islam," kata pria yang dikala mudanya pernah terlibat dalam kelompok radikal sayap kiri itu. [www.hidayatullah.com]

Monday, July 18, 2011

Idris De Vries : Kun Faya Kun, Kalau Tuhan ada sudah sepatutnya memiliki sifat seperti itu!

Aku berkata pada diriku sendiri “Demi Tuhan! kalau Tuhan itu memangada, maka sudah sepatutnya ia memiliki sifat seperti itu!”.Aku besar di wilayah utara Belanda. Di sana jarang sekali ditemukan warga keturunan asing. Satu-satunya agama yang kuketahui sejak kecil adalah Kristen. Aku pun menganut agama tersebut meski tidak begitu meyakininya. Aku sudah ragu tentang konsep Trinitas sejak kecil.
Bagaimana mungkin Tuhan bisa berperan sebagai “Anak Tuhan’ di saat yang bersamaan? Bagaimana mungkin Tuhan membiarkan Anak-Nya sendiri mati disalib oleh para pembangkang? Bagaimana mungkin Anak Tuhan bisa dibangkitkan kembali oleh Tuhan ke surga, padahal Anak Tuhan tersebut adalah Tuhan itu sendiri? Maka meski sejak kecil aku percaya bahwa Tuhan itu memang ada, tapi aku tidak meyakini kebenaran Kristen, satu-satunya agama yang kukenali saat itu.
Di saat usiaku 13 atau 14 tahun, ketika bersepeda ke sekolah, aku sempat merenung bahwa Tuhan memang ada tetapi tidak yang sebagaimana diajarkan dalam agama Kristen. Hingga berusia 19 tahun, aku percaya bahwa tidak ada agama yang turun langsung dari Tuhan, dan tiap manusia harus mencari-cari keberadaan dan hubungan dengan Tuhan secara sendiri-sendiri.
Namun itu semua berubah ketika kuputuskan untuk membaca terjemahan Alquran. Itu bukan untuk mencari-cari agama yang diturunkan Tuhan tetapi untuk mencari tahu apa-apa yang diyakini oleh jutaaan penganut agama Islam di dunia.
Aku mulai membaca Alquran dari awal surat, hingga kemudian suatu malam sampai pada surat Maryam, yang mana Allah berfirman tentang perkataan-perkataan yang diucapkan kaum Nasrani tentang-Nya dan Nabi Isa as. Allah menyatakan, “Kami Jadikan’ dan terjadilah ia (kun faya kun).” Setelah membaca ayat tersebut, aku berkata kepada diri sendiri, “Demi Tuhan! kalau Tuhan itu memang ada, maka sudah sepatutnya ia memiliki sifat seperti itu!” Ia tidak memiliki anak, dan cukup bagi-Nya untuk menyatakan ‘Terjadilah’ maka terjadilah!’
Sejak itu aku yakin bahwa inilah agama yang benar. Aku mulai mengubah kebiasaanku sebelumnya seperti minum alkohol atau makan daging babi. Aku juga berusaha berpuasa pada Ramadhan. Semua kulakukan sendirian.
Pada usia 24 tahun, setahun setelah aku lulus kuliah, aku ke Belanda bagian selatan. Di sana banyak para pendatang Muslim baik dari Turki dan negara-negara lainnya. Di sinilah aku mencari tahu tentang Islam. Alhamdulillah aku bertemu dengan seorang imam masjid. Sayangnya ia kurang mahir berbahasa Belanda. Aku kemudian diperkenalkan dengan anaknya seorang aktivis dakwah. Dari anak imam masjid inilah aku mengenal Islam melalui jalan yang benar, dari thariqul iman (jalan menuju iman) hingga bagaimana Islam kaffah itu. Saat itulah aku masuk Islam.
Jelas langkahku ini membuat orangtuaku tidak suka. Namun mereka tidak sampai mengusirku karena mereka tetap menganggap aku sebagai anak yang harus tetap dicintai. Tapi aku sendiri agak sulit mencintai mereka karena kekafirannya.
Ketidakadilan Barat

Aku selalu hidup di dunia Barat. Aku juga tidak terlahir sebagai Muslim.
Aku melakukan semua hal yang biasa dilakukan oleh para remaja seusiaku yang kupikir akan membuatku senang. Tapi tetap saja tidak pernah merasa senang. Kini setelah menemukan jalan kebenaran, aku menyadari bahwa semua perilaku di masa lalu untuk mencari ketentraman itu adalah sebab kenapa aku tidak pernah merasa bahagia.
Di samping itu aku juga selalu merasakan betapa dunia ini dicengkeram oleh ketidakdilan. Aku ingat ketika berumur 8 atau 9 tahun menyaksikan berita tentang kebrutalan tentara zionis Israel terhadap dua anak Palestina. Aku sempat menangis melihatnya, kenapa ada manusia yang bisa melakukan hal tersebut kepada manusia lainnya.
Kemudian, ketika beranjak dewasa dan menjadi mahasiswa ekonomi, aku mulai membenci sistem ekonomi yang kupelajari, karena sistem tersebut tidak mengenal adanya belas kasihan. Aku selalu bepikir mengapa manusia harus selalu berjuang untuk bisa bertahan hidup? Kenapa manusia tidak bisa saling mengasihi dan menolong satu sama lainnya. Aku sempat melihat adanya sifat saling membantu dalam sistem sosialisme. Namun sejak keambrukannya, aku tidak yakin untuk bisa mendukung sistem sosialisme secara sepenuhnya. Maka aku tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti sistem kapitalisme.
Namun sejak aku mendapatkan hidayah untuk menemukan Islam, aku kini tahu bahwa alternatif dari kapitalisme itu ada. Aku melihat ada masalah yang sama selama ini di dunia seperti penindasan, kemiskinan, dan monopoli kekayaan. Dulu aku pesimis apakah permasalahan tersebut akan bisa diselesaikan sehingga tidak terlalu banyak memusingkan. Tapi kini aku bisa berpikir lebih jernih. Ternyata banyak sekali yang bisa dilakukan dan yang harus dilakukan. Jadi, aku yakin bahwa Islam mampu menyelesaikan semua masalah di dunia sekarang. Dan aku pikir juga tidak sendirian.
Krisis kredit macet memang telah menghancurkan harapan umat Islam terhadap sistem Kapitalisme. Apabila kita bertanya kepada umat Islam hari ini, kita akan dapatkan tanggapan bahwa pada akhirnya hanya Islam yang menjadi harapan sebagai solusi. Artinya, kembalinya sistem Islam dalam bentuk negara sudah mulai tampak di horison. Pertanyaannya bukan lagi apakah negara Islam akan kembali hadir, namun kapan ia akan kembali terbentuk.
Sebagai seseorang yang mempelajari sistem ekonomi Islam dan ekonomi Kapitalisme, aku sangat berharap semakin cepat Islam kembali adalah semakin baik. Ketika itu terjadi maka akan terhenti semua macam penindasan terhadap manusia yang selama ini menguntungkan segelintir kelompok manusia yang lain. Lebih jauh lagi, pemiskinan masyarakat yang memperkaya kelompok yang lain juga akan berakhir. Hari itu adalah hari berakhirnya kegelapan dan terbitnya cahaya kehidupan di bawah tuntunan yang benar. Karena itu tantangan bagi umat Islam sekarang adalah bagaimana menjelaskan Islam itu dalam perspektif yang benar. (mediaumat)

Sunday, July 17, 2011

Seorang pastor gereja Katholik Roma ,akhirnya memilih menjadi Muslim

‘Allah menyeru manusia ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).” (QS Yunus: 25)
Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa Allah SWT akan memberikan hidayah (jalan kebaikan) kepada siapa saja yang dikehendakinya untuk memilih Islam. Tak peduli siapa pun. Baik dia budak, majikan, pejabat, bahkan tokoh agama non-Islam sekalipun.
Ayat tersebut, layak disematkan pada Idris Tawfiq, seorang pastor di Inggris yang akhirnya menerima Islam. Ia menjadi mualaf setelah mempelajari Islam dan melihat sikap kelemahlembutan serta kesederhanaan pemeluknya.
Sebelumnya, Idris Tawfiq adalah seorang pastor gereja Katholik Roma di Inggris. Mulanya, ia memiliki pandangan negatif terhadap Islam. Baginya saat itu, Islam hanya identik dengan terorisme, potong tangan, diskriminatif terhadap perempuan, dan lain sebagainya.
Namun, pandangan itu mulai berubah, ketika ia melakukan kunjungan ke Mesir. Di negeri Piramida itu, Idris Tawfiq menyaksikan ketulusan dan kesederhanaan kaum Muslimin dalam melaksanakan ibadah dan serta keramahan sikap mereka.
Ia melihat, sikap umat Islam ternyata sangat jauh bertolak belakang dengan pandangan yang ia dapatkan selama ini di negerinya. Menurutnya, Islam justru sangat lembut, toleran, sederhanan, ramah, dan memiliki sifat keteladanan yang bisa dijadikan contoh bagi agama lainnya.
Di Mesir inilah, Tawfiq merasa mendapatkan kedamaian yang sesungguhnya. Awalnya hanya sebagai pengisi liburan, menyaksikan Pirmadia, unta, pasir, dan pohon palem. Namun, hal itu malah membawanya pada Islam dan membuat perubahan besar dalam hidupnya.
”Awalnya mau berlibur. Saya mengambil penerbangan carter ke Hurghada. Dari Eropa saya mengunjungi beberapa pantai. Lalu, saya naik bis pertama ke Kairo, dan saya menghabiskan waktu yang paling indah dalam hidup saya.”
”Ini adalah kali pertama saya pengenalan ke umat Islam dan Islam. Saya melihat bagaimana Mesir yang lemah lembut seperti itu, orang-orang manis, tapi juga sangat kuat,” terangnya.
”Saya menyaksikan mereka tenang, lembut, dan tertib dalam beribadah. Begitu ada suara panggilan shalat (azan–Red), mereka yang sebagian pedagang, segera berkemas dan menuju Masjid. Indah sekali saya melihatnya,” terangnya.
Dari sinilah, pandangan Tawfiq berubah tentang Islam. ”Waktu itu, seperti warga Inggris lainnya, pengetahuan saya tentang Islam tak lebih seperti yang saya lihat di TV, memberikan teror dan melakukan pengeboman. Ternyata, itu bukanlah ajaran Islam. Hanya oknumnya yang salah dalam memahami Islam,” tegasnya.
Ia pun mempelajari Alquran. Pelajaran yang didapatkannya adalah keterangan dalam Alquran yang menyatakan: ‘ Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang Yahudi dan Musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang beriman adalah orang yang berkata, ”Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.” Yang demikian itu disebabkan di antara mereka itu terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena seungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (Al-Maidah ayat 82).
Ayat ini membuatnya berpikir keras. Baginya, Islam sangat baik, toleran. Justru, pihak lain yang memusuhinya. Inilah yang menjadi awal keislaman mantan pastor Inggris dan akhirnya menerima Islam.
Sepulang dari Mesir, Tawfiq masih menjadi penganut agama Katholik. Bahkan, ketika dia aktif mengajarkan pelajaran agama kepada para siswa di sebuah sekolah umum di Inggris, ia diminta mengajarkan pendidikan Studi agama.
”Saya mengajar tentang agama Kristen, Islam, Yudaisme, Buddha dan lain-lain. Jadi, setiap hari saya harus membaca tentang agama Islam untuk bisa saya ajarkan pada para siswa. Dan, di sana banyak terdapat siswa Muslim keturunan Arab. Mereka memberikan contoh pesahabatan yang baik, bersikap santun dengan teman lainnya. Dari sini, saya makin intens berhubungan dengan siswa Muslim,” ujarnya.
Dan selama bulan Ramadhan, kata dia, dia menyaksikan umat Islam, termasuk para siswanya, berpuasa serta melaksanakan shalat tarawih bersama-sama. ”Hal itu saya saksikan hampir sebulan penuh. Dan, lama kelamaan saya belajar dengan mereka, kendati waktu itu saya belum menjadi Muslim,” papar Tawfiq.
Dari sini kemudian Tawfiq mempelajari Alquran. Ia membaca ayat-ayat Alquran dari terjemahannya. Dan ketika membaca ayat 83 surah Al-Maidah, ia pun tertegun.
”Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Alquran).” (Al-Maidah ayat 83).
Secara tiba-tiba, kata Tawfiq, ia pun merasakan apa yang disampaikan Alquran. Ia menangis. Namun, hal itu ia sembunyikan dari pandangan para siswanya. Ia merasa ada sesuatu di balik ayat tersebut.
Dari sini, Tawfiq makin intensif mempelajari Islam. Bahkan, ketika terjadi peristiwa 11 September 2001, dengan dibomnya dua menara kembar World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat, dan ketika banyak orang menyematkan pelakunya kalangan Islam. Ia menjadi heran. Kendati masih memeluk Kristen Katholik, ia yakin, Islam tidak seperti itu.
”Awalnya saya sempat takut juga. Saya khawatir peristiwa serupa terulang di Inggris. Apalagi, orang barat telah mencap pelakunya adalah orang Islam. Mereka pun mengecamnya dengan sebutan teroris,” kata Tawfiq.
Namun, Tawfiq yakin, Islam tidak seperti yang dituduhkan. Apalagi, pengalamannya sewaktu di Mesir, Islam sangat baik, dan penuh dengan toleransi. Ia pun bertanya-tanya. ”Mengapa Islam? Mengapa kita menyalahkan Islam sebagai agama teroris. Bagaimana bila kejadian itu dilakukan oleh orang Kristen? Apakah kemudian Kristen akan dicap sebagai pihak teroris pula?” Karena itu, ia menilai hal tersebut hanyalah dilakukan oknum tertentu, bukan ajaran Islam.
Masuk Islam
Dari situ, ia pun mencari jawabannya. Ia berkunjung ke Masjid terbesar di London. Di sana berbicara dengan Yusuf Islam tentang Islam. Ia pun kemudian memberanikan diri bertanya pada Yusuf Islam. ”Apa yang akan kamu lakukan bila menjadi Muslim?”
Yusuf Islam menjawab. ”Seorang Muslim harus percaya pada satu Tuhan, shalat lima kali sehari, dan berpuasa selama bulan Ramadhan,” ujar Yusuf.
Tawfiq berkata, ”Semua itu sudah pernah saya lakukan.”
Yusuf berkata, ”Lalu apa yang Anda tunggu?”
Saya katakan, ”Saya masih seorang pemeluk Kristiani.”
Pembicaraan terputus ketika akan dilaksanakan Shalat Zhuhur. Para jamaah bersiap-siap melaksanakan shalat. Dan, saat shalat mulai dilaksanakan, saya mundur ke belakang, dan menunggu hingga selesai shalat.
Namun, di situlah ia mendengar sebuah suara yang mempertanyakan sikapnya. ”Saya lalu berteriak, kendati dalam hati. ”Siapa yang mencoba bermain-main dengan saya.”
Namun, suara itu tak saya temukan. Namun, suara itu mengajak saya untuk berislam. Akhirnya, setelah shalat selesai dilaksanakan, Tawfiq segera mendatangi Yusuf Islam. Dan, ia menyatakan ingin masuk Islam di hadapan umum. Ia meminta Yusuf Islam mengajarkan cara mengucap dua kalimat syahadat.
”Ayshadu an Laa Ilaha Illallah. Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah.” Saya bersaksi, tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah.
Jamaah pun menyambut dengan gembira. Ia kembali meneteskan air mata, bukan sedih, tapi bahagia.
Ia mantap memilih agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW ini. Dan, ia tidak menyesali telah menjadi pengikutnya. Berbagai gelar dan penghargaan yang diterimanya dari gereja, ia tanggalkan.
Seperti diketahui, Idris Tawfiq memperoleh gelar kesarjanaan dari University of Manchester dalam bidang sastra, dan gelar uskup dari University of Saint Thomas Aquinas di Roma. Dengan gelar tersebut, ia mengajarkan pandangan Katholik pada jemaatnya. Namun, akhirnya ia beralih mengajarkan Islam kepada masyarakatnya. Selama bertahun-tahun, Tawfiq mengepalai pusat Studi keagamaan di berbagai sekolah di Inggris dan Wales, sebelum dia masuk agama Islam.
”Dulu saya senang menjadi imam (pastor–Red) untuk membantu masyarakat selama beberapa tahun lalu. Namun, saya merasa ada sesuatu yang tidak nyaman dan kurang tepat. Saya beruntung, Allah SWT memberikan hidayah pada saya, sehingga saya semakin mantap dalam memilih Islam. Saya tidak menyesal meninggalkan tugas saya di gereja. Saya percaya, kejadian (Islamnya–Red) ini, lebih baik dibandingkan masa lalu saya,” terangnya. sya/osa/berbagai sumber
Berdakwah Lewat Lisan dan Tulisan
Ketika ditanyakan pada Idris Tawfiq tentang perbedaan besar antara Kristen Katholik dan Islam, ia berkata: ”Dasar dari agama Islam adalah Allah. Semua perkara disaksikan Allah, tak ada yang luput dari perhatian-Nya. Ini berbeda dengan yang saya dapatkan dari agama sebelumnya. Islam merupakan agama yang komprehensif.”
Ia menambahkan, Islam mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa beribadah kepada Allah setiap saat. Tak terbatas hanya pada hari Minggu. Selain itu, kata dia, Islam mengajarkan umatnya cara menyapa orang lain dengan lembut, bersikap ramah, mengajarkan adab makan dan minum, memasuki kamar orang lain, cara bersilaturahim yang baik. ”Tak hanya itu, semua persoalan dibahas dan diajarkan oleh Islam,” terangnya.
Penceramah dan penulis
Caranya bertutur kata, sikapnya yang sopan dan santun banyak disukai masyarakat. Gaya berbicaranya yang baik sangat sederhana dan lemah lembut, menyentuh hati, serta menyebabkan orang untuk berpikir. Ia pun kini giat berceramah dan menulis buku tentang keislaman.
Ia memberikan ceramah ke berbagai tempat dengan satu tujuan, menyebarkan dakwah Islam. Idris Tawfiq mengatakan, dia bukan sarjana. Namun, ia memiliki cara menjelaskan tentang Islam dalam hal-hal yang sangat sederhana. Dia memiliki banyak pengalaman dalam berceramah dan mengenali karakter masyarakat.
Ia juga banyak memberikan bimbingan dan pelatihan menulis serta berpidato bagi siswa maupun orang dewasa. Kesempatan ini digunakannya untuk mengajarkan pada orang lain. Termasuk, menjelaskan Islam pada dunia Barat yang banyak menganut agama non-Muslim.
Idris juga dikenal sebagai penulis. Tulisannya tersebar di berbagai surat kabar, majalah, jurnal, dan website di Inggris Raya. Ia juga menjadi kontributor regional dan Konsultan untuk website www.islamonline.net dan ww.readingislam.com.
Dia menulis artikel mingguan di Mesir Mail, koran tertua Mesir berbahasa Inggris, dan Sawt Al-Azhar, surat kabar Al-Azhar University. Dia adalah pengarang sejumlah buku. Antara lain, Dari surga yang penuh kenikmatan: sederhana, pengenalan Islam; Berbicara ke Pemuda Muslim; Berbicara ke Mualaf. Selain itu, ia juga menjadi juru bicara umat Islam di Barat. Ia juga banyak berceramah melalui radio dan televisi. (republika online)

Saturday, July 16, 2011

Saya Mengenal Islam Melalui Internet

Dia lahir dan besar dalam lingkungan Kristen. Tapi kemudian berganti-ganti agama. Pelariannya berakhir pada pekukan Islam
Benar kata orang, Islam benar-benar indah dan agama yang sangat mulia.
Walaupun selama ini cap buruk telah diberikan kepada Islam dan umat Islam pada umumnya, namun buktinya ia berhasil mendapatkan pengikutnya dan berkembang selama hampir 15 abad. Islam, dalam beberapa kata singkat, adalah hidupku. Dan Allah adalah sebuah kekuatan dalam hidupku. Tanpa Allah, saya bukanlah apa-apa.
Ketika saya duduk untuk menulis pengantar ini, saya tidak bermaksud untuk mengirim seluruh kisah kembalinya saya dalam pelukan Islam. Semakin saya berpikir tentang hal ini, semakin saya menyadari bahwa ini adalah tempat yang tepat untuk cerita.
Aku dibaptis saat lahir saat masih kecil, saat pra-sekolah di Detroit, Michigan. Semenjak itu, gereja selalu menjadi bagian dari anak usia dini di Detroit, walaupun keluarga saya tidak pergi setiap minggu. Tapi ketika orangtuaku pindah ke North Carolina, mereka sudah mulai rajin ke gereja.
Saya harus selalu pergi ke sekolah Katolik. Karenanya, dari kelas saya mengenal pertama kali kehidupan Yesus, Bunda Maria, para Rasul, Alkitab, dan Sakramen. Saya pertama kali mendapat “first holy communion” pada usia 7 tahun.

Pada September 1995, lokal sekelompok orang Katolik Ortodoks dari Libanon (Melkite Byzantine Catholic) mengadakan liturgi di gereja kami. Saya pergi dengan ibu saya, dan saya jatuh cinta. Hal paling indah saya pernah melihat, saya dengar, dan saya rasakan. Liturgi tradisional, yang dinyanyikan dalam bahasa Inggris, Arab, dan Yunani. Dengan lilin, ikon, dan banyak kemenyan.
Ketika teman-teman saya baru belajar tentang gereja, mereka tidak pernah mencela saya, namun mereka tidak memahami mengapa saya menyukai Katolik Melkite Byzantine. Beberapa orang menyatakan bahwa saya melakukan untuk mencari perhatian. Tapi bagi saya, saya telah melakukan sesuatu yang sedikit lebih mengejutkan dan luar biasa!
Konflik Serius
Saya terus pergi ke gereja Melkite setiap hari minggu sampai pertengahan Maret tahun 1996. Namun suatu hari, tepatnya 40 hari sebelum Paskah, saya mempunyai pertengkaran serius pertama saya dengan agama Keristen. Sesungguhnya saya kurang yakin apa yang sedangb terjadi. Tetapi tiba-tiba, saya berhenti percaya pada agama Kristen.
Untuk beberapa alasan, sesaat saya merasa Judaisme adalah satu-satunya agama monotheistic yang paling baik yang saya tahu. Dan akhirnya Aku pergi pada hari Sabat di sinagog Yahudi dengan teman orangtua saya. Saya selalu tertarik budaya Yahudi, tapi saya tidak tahu banyak tentang agama Yahudi.
Saya mulai menghadiri layanan Sabat pada hari Minggu pagi. Walaupun saya telah cukup baik diterima oleh orang-orang Yahudi di kota, saya juga banyak mendapat kritikan dari teman saya. Sekali lagi, saya dituduh mencoba untuk mendapatkan perhatian, yang berusaha untuk menjadi berbeda.
Apapun perkataan orang, saya perlahan mulai mengadopsi Judaisme dan Yahudi mengikuti praktek-praktek budaya dan agama mereka. Saya juga mulai belajar untuk bahasa Ibrani tiap Sabat di hari Sabtu.
Pada saat saya mulai sekolah menengah pada tahun 1996, orang-orang memanggil saya “The kid who thinks he’s Yahudi.“[anak yang berpikir dia Yahudi]. Saya bahkan berencana pindah ke Israel. Tapi sedikit yang saya tahu, bahwa “kemesrahan” ku dengan Yahudi supanya akan segera berakhir.
Suatu hari, saat Thanksgiving, saya sedang duduk di rumah menghadap Internet, untuk mencari satu dua situs yang menarik. Mulailah saya mencari majalah melalui Internet. Terkejutlah saya ketika menangkap sebuah situs Ibrahim Shafi’s Islam Page. Saya berhadapan dengan sebuah situs Islam.
Apa yang saya pahami tentang Islam? Tak banyak. Namun saya mempunyai teman di sekolah seorang Muslim, ibu saya bekerja dengan orang Muslim. Namun, pengetahuan tentang Islam itu sangatlah terbatas. Sebagian besar apa yang saya tahu berasal dari buku. Yang membuat saya mengkerut ketika menyebut Islam perlakuan perempuan dengan sangat mulia.
Rupanya, saya mulai mempelajari Islam melalui web. Saya segera “ngerumpi” di room chat di sebuah channel IRC (Internet Relay Chat) guna mencari teman Muslim sebanyak-banyaknya. Dari sanalah, saya mulai syahadat dan menyatakan diri memeluik Islam.
Kehidupan saya merasa baik, tetapi saya tetap tidak merasa bahwa saya adalah bagian dari umat Islam. Persoalannya, karena saya tidak menyatakan syahadat di depan saksi.
Nah, kesempatan untuk menjadi seorang Muslim di hadapan umat Islam lainnya datang selama perjalanan ke Chicago. Saudara perempuan saya pergi ke Universitas Chicago dan saya menyadari bahwa ada MSA (Muslim Student Association) di sana. Akhirnya, melalui MSA aku resmi menyatakan besaksi kepada Allah dan Rasul Allah memeluk Islam.
Sekarang, nama baruku berganti menjadi Tariq Ali. Namun, kadang, sehari-hari tetap dipanggil Tommy.
Meski telah memekuk Islam, masih banyak orang masih meledekku akibat agama masa laluku. “Apa agama Anda minggu ini, Tommy?”. Dan biasanya, saya jelaskan, “Saya telah Muslim.” Dan jika mereka tertarik dan bekepentingan, saya jelaskan lebih jauh agama saya yang sangat hebat ini. [www.daily.pk/www.hidayatullah.com]

Friday, July 15, 2011

Kegelisahan Hati Sang Pencari Tuhan

Setelah masuk Islam, semuanya menjadi plong dan tenang.
Berbagai macam ajaran agama yang berkembang di Indonesia pernah dipelajarinya, dari Kristen Protestan hingga Hindu dan Buddha. Namun, itu semua belum membawa ketenangan dalam diri Tatiana SP Basuki.”Dari kecil, saya dididik sebagai seorang Katolik. Tapi, ketika beranjak dewasa dan memasuki dunia kerja, saya mengalami kegelisahan. Kayaknya, saya tidak menemukan sesuatu dalam keyakinan yang saya anut,” ujarnya.
Kondisi tersebut berdampak pada kehidupan spiritual perempuan yang biasa disapa Ana ini. Jika sedang beribadah, pikirannya tidak terfokus. Begitu juga ketika datang ke gereja, ia lebih banyak melamun. Sampai suatu ketika, salah seorang teman menawarkan kitab suci umat Islam, Alquran, kepada perempuan kelahiran Klaten, 20 Maret, ini. Ana menerima Tawaran temannya itu meski dalam hatinya timbul keraguan bahwa Alquran bisa mengusir kegelisahan yang selama ini ia rasakan. Terlebih lagi, ia tidak paham sama sekali bahasa Arab. Kalaupun membaca dari terjemahan Alquran, tetap saja ia kesulitan untuk bisa mencerna makna yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran.”Alquran itu bahasanya puitis sekali sehingga buat saya susah untuk mencerna,” tukasnya.
Kegelisahan yang ia rasakan makin membuatnya tidak nyaman. Hingga mencapai puncaknya di pertengahan malam, 5 Juni 1995 silam. Saat itu, menurut Ana, jam di kamarnya menunjukkan pukul 21.00 dan dirinya hendak beranjak tidur. Meski lampu penerangan di kamarnya sudah dipadamkan, hingga pukul 23.30 dirinya tidak juga bisa memejamkan mata.
Rasa gelisah terus menderanya malam itu. Lalu, antara sadar dan tidak sadar, ungkap Ana, ia merasakan ruangan dalam kamarnya yang seharusnya gelap tiba-tiba menjadi terang benderang. ”Padahal, saya tahu bahwa saya mematikan lampu. Tapi, suasana kamar saat itu justru terang sekali,” tambahnya.
Tidak hanya itu, malam itu ia juga merasakan keanehan yang lain dengan datangnya suara seorang perempuan dalam kamarnya. Mengenai suara tanpa sosok nyata ini, Ana mendengar suara yang sangat lembut. Suara tersebut, menurutnya, mengucapkan serangkaian kalimat. Namun, ada satu perkataan yang disampaikan suara tersebut yang hingga kini masih ia ingat, ”Ya sudah, kalau kamu sudah memutuskan, mengapa harus menunggu.”
”Saat itu, saya berpikir memutuskan apa, ya? Saya pikir, ini mungkin pencarian religi saya. Akhirnya, saya bilang saya harus masuk Islam. Nggak tahu mengapa, pokoknya saat itu saya yakin harus masuk Islam,” paparnya.Sejurus kemudian, Ana menghubungi salah seorang rekan kantornya. Karena teleponnya tak diangkat, ia pun meninggalkan pesan di mesin penjawab yang isinya meminta bantuan sang teman untuk mengislamkan dirinya.
Keesokan harinya, ketika Ana tiba di kantor, temannya meminta ia naik ke lantai eksekutif. Di ruangan tersebut, ungkapnya, sudah menunggu seorang ibu yang dianggap oleh temannya sebagai seorang ustazah dan siap mengislamkan dirinya. Ibu tersebut banyak memberikan masukan dan ceramah ke Ana sebelum dirinya mengucapkan syahadat di hadapan ustazah tersebut.
Meski sudah mengucapkan syahadat, ia berkata kepada ibu tersebut bahwa dirinya tetap harus bersyahadat di sebuah masjid untuk mendapatkan sertifikat bahwa dirinya sudah masuk Islam. ”Sertifikat ini diperlukan karena saya pastinya harus ganti KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan KK (Kartu Keluarga).”
Tanpa ia ketahui, ternyata salah seorang teman kantornya sudah menghubungi Masjid Sunda Kelapa yang berlokasi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Kejutan lain dari para koleganya di kantor juga terjadi manakala ia tiba di Masjid Sunda Kelapa. ”Ternyata, banyak teman saya, bahkan bos-bos saya di kantor juga ada di masjid itu,” ujarnya.
Alhasil, ia pun mengucapkan kembali dua kalimat syahadat yang disaksikan teman dan bosnya di Masjid Sunda Kelapa. Akhirnya, ia resmi masuk Islam pada 6 Juni 1995 setelah proses pencarian selama setahun. Entah bagaimana, ketika sudah resmi memeluk Islam, menurut Ana, semua perasaan gelisah yang selama ini menghantuinya hilang begitu saja. ”Tadinya, ada perasaan yang berat dan gelisah. Tetapi, begitu saya berikrar masuk Islam, semuanya jadi plong begitu saja,” paparnya.
Didatangi penginjil
Begitu tersiar kabar bahwa dirinya masuk Islam, keesokan harinya Ana mendapatkan banyak kecaman dan teror. Teman-temannya yang non-Muslim protes atas keputusannya memeluk Islam.
”Banyak yang menelepon saya. Kok , bisa-bisanya saya ganti agama dan nggak bilang-bilang dulu kalau mau pindah (agama),” tuturnya. Namun, semua itu ia tanggapi dengan tenang dan lapang dada.
Kecaman dan teror tersebut tidak hanya datang dari teman-teman non-Muslim, tetapi juga dari pihak lain. Menurutnya, setelah ia memutuskan masuk Islam, secara tiba-tiba ada seorang penginjil yang rajin mendatangi kantornya setiap hari. Setiap pagi dan sore, kata Ana, sang penginjil mendatanginya untuk memberikan ceramah tentang agama selama 10 menit. Begitu juga kalau mereka berpapasan di dalam lift. ”Tapi, tekad saya sudah bulat untuk memeluk Islam. Ya, semua itu tidak saya gubris. Akhirnya, lama-lama penginjil tersebut berhenti juga,” ujarnya.
Meski sudah resmi memeluk Islam, Ana tidak lantas memberitahukan perihal tersebut kepada kedua orang tuanya yang pada saat itu tinggal di luar negeri. Ayahnya merupakan seorang pemeluk Islam, sedangkan ibunya seorang penganut Katolik. Namun, tidak adanya bimbingan agama yang jelas dari kedua orang tuanya membuat Ana harus memutuskan sendiri agamanya. Waktu itu, ia pun mengikuti agama ibunya hingga beranjak dewasa.
Perihal kepindahannya ke Islam, lanjutnya, baru diketahui sang bunda dari salah seorang temannya. ”Saya bilang ke beliau, ini pilihan saya dan ternyata ibu oke-oke saja. Meski orang tua berbeda (keyakinan), mereka mendukung setiap pilihan anaknya. Mereka paham ini sangat pribadi,” tuturnya.
Dicurigai keluarga
Guna memperdalam pengetahuannya mengenai Islam, selain banyak membaca, ia juga mencari guru yang bisa membimbing dan mengajarinya. Untuk mendapatkan guru yang cocok, ungkapnya, butuh waktu yang cukup lama. Setelah bergonta-ganti guru, baru pada tahun 2001 ia menemukan seseorang yang dianggapnya cocok menjadi guru spiritualnya. ”Pada dasarnya, saya ini orang yang penasaran dan tidak pernah puas dengan satu jawaban.”
Sang guru banyak membimbingnya dan mengajarkannya bahwa kehidupan spiritual Islam laiknya sebuah samudra. ”Ketika menyelami samudra itu, kamu akan melihat betapa banyak yang akan dipelajari. Dan, kamu tidak akan bisa mempelajari semua itu walaupun sepanjang hidup kamu. Jadi, pelan-pelan saja, nikmati dan syukuri apa yang kamu ketahui,” begitulah petuah sang guru. Falsafah itulah yang hingga kini dijadikan pegangan oleh Ana ketika mendalami Islam.
Kedekatannya dengan sang guru spiritual ini, diakui Ana, sempat membuat hubungannya dengan keluarga menjadi renggang. Hal ini bermula ketika ia kerap mengikuti pengajian sang guru hingga dini hari dan tak jarang pula ia mengikuti pengajian tersebut hingga ke luar kota. Ditambah lagi, pada saat itu sedang merebak isu kelompok NII (Negara Islam Indonesia).
”Karena pengajiannya di daerah tertentu, saya pulang pagi. Kalau pengajiannya di luar kota, pasti diadakan di daerah Puncak, Bogor. Maka itu, kemudian keluarga saya, terutama ibu, mencurigai saya ikut NII,” ujarnya. Namun, kecurigaan keluarganya tersebut lambat laun sirna.
Kendati sang guru pernah dicurigai keluarga besarnya, ia mensyukuri karena oleh Allah SWT dipertemukan oleh beliau. Pasalnya, dari sang guru inilah ia banyak belajar mengenai arti syukur dan menghargai semua yang telah Allah berikan kepadanya. ”Saya itu dulu tipe orang yang selalu mengeluh dengan apa yang ada di sekeliling saya,” tukasnya.
Dengan memeluk agama Islam, tambah Ana, ia juga belajar untuk lebih bisa berserah diri dan tawakal. Dengan begitu, menurutnya, ia menjadi jauh lebih tenang dalam menjalani kehidupannya. ”Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya perusahaan yang baru mau saya rintis kok belum mendapat klien. Kalau kita tidak yakin dan tawakal, gelisahnya pasti luar biasa, itu yang saya dapat dari Islam.”
Hingga kini, ia masih terus berusaha untuk bisa memanifestasikan sebagian dari Asmaul Husna (Nama-nama Allh yang baik) dalam dirinya. Selain itu, ia juga masih mempelajari apa tujuan seorang manusia diciptakan di muka bumi ini. ”Kalau dibilang, manusia adalah khalifah di bumi dan mereka punya misi tertentu. Itu yang saya tanyakan apa misi saya dilahirkan di bumi ini.” nidia zurya

Biodata
Nama : Tatiana SP Basuki
TTL : Klaten, Jawa Tengah, 20 Maret
Masuk Islam : 6 Juni 1995
Pekerjaan
- Direktur dan Psikolog Utama pada Firma Konsultasi Psikologis PT Nuage Personalis Konsultan
- Aktif sebagai psikolog pada Komite Nasional Lansia (Komnas Lansia) sejak November 2008 sampai sekarang
- Aktif sebagai psikolog pada Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YDGI) sejak November 2008 sampai sekarang
- Sebagai Ko-Terapis untuk Dr Adriana Ginanjar sejak Oktober 2008 sampai sekarang

Thursday, July 14, 2011

Christina Rountree,merasa memeluk Islam merupakan sesuatu yang diinginkan Tuhan terhadapnya

Saat dua pesawat menabrak gedung WTC pada 11 September silam, Christina Rountree masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Seperti sebagian besar warga Amerika lain, ia mengaku terperangah dan marah.

"Kemudian muncul di berita bahwa itu semua dilakukan oleh Muslim. Saya pun bertanya pada teman-teman Muslim saya, 'mengapa orang-orang ini berbuat atas nama Islam. Itu agama kalian bukan?"

Christina masih ingat, teman-temannya berkata, "Mereka adalah orang-orang gila. Mereka tidak mewakili Muslim. Islam adalah agama damai."

Namun ia tidak puas dengan jawaban itu. Ia pun mulai mencari tahu sendiri tentang keyakinan tersebut. Bahkan di kampus ia bergabung dengan Asosiasi Mahasiswa Muslim.

Saat mencari tahu itulah mata Christina mulai terbuka. Selama ini rupanya Christina juga tengah mencoba menentukan seperti apa kehidupannya kelak dan ia melihat bahwa informasi tentang Islam selama ini adalah salah.

Ia pun memutuskan untuk membantu warga non Muslim di Amerika untuk memahami Islam. "Mereka mendapat informasi salah dan itu mengkhawatirkan," ungkap Christina. "Saya seorang Afro-Amerika, jadi saya tahu betul rasanya dihakimi karena tampilan anda,"

Namun awalnya Christina juga ragu bila orang-orang akan mendengarkannya. Ia pun membagi keraguan itu kepada temannya, seorang Muslim.

Sang teman berkata padanya. "Well, Christina, apakah tidak lebih keren dengan memberi contoh bagaimana seorang Muslim seharusnya, dan tidak menghabiskan waktu dengan berbicara apa yang bukan Muslim.

Saat mendengar itu, Christina merasa menemukan tombol 'klik. "Entah mengapa saya merinding mendengar itu dan saya terharu. Itu momen yang sangat emosional."

Ia pun kian dalam mempelajari Islam. Hingga akhirnya ia menyatakan meyakini kebenaran Rasul Muhammad dan semua kebaikkan yang ia lakukan. Ia menyukai gagasan terstruktur yang ditawarkan Islam dan juga fakta yang ia jumpai bahwa Al Qur'an menjawab semua yang ia butuhkan.

Pada 17 November 2006, Christina menyatakan keislamannya. Ia berikrar dengan mengucapkan syahadat, bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah.

Ia merasa memeluk Islam merupakan sesuatu yang diinginkan Tuhan terhadapnya. Meski, ia mengaku, itu bukan sesuatu yang diinginkan oleh ibunya.

"Ibu saya sungguh gusar, ia mengira saya melakukan ini demi seorang laki-laki, karena selama ini saya selalu dekat dengan para pria dengan tampila Timur Tengah atau Indian," tutur Christina.

"Padahal saat itu saya tidak memiliki satu teman dekat lelaki satu pun. Jadi ia tidak bisa menggunakan kartunya," katanya. Sementara sang ayah cenderung menghormati keputusannya. "Ayah berkata, lakukan apa yang membuatmu bahagia. Lakukan apa pun yang membuat kamu berpikir telah menemukan Tuhan,"

Christina mengatakan ibunya justru kini kian dekat denganya sejak ia memeluk Islam. Bahkan ibunya juga kerap ikut saat ia pergi ke masjid.

Menjadi Muslim ia pun mengalami masa sulit dan menyakitkan. Salah satunya ketika terjdi upaya pengeboman pada sebuah maskapai di Detroit saat Hari Natal yang berhasil digagalkan. Ia menilai itu kemunduran besar bagi Muslim di mana pun.

"Bukan lagi sekedar dua langkah, itu seperti ribuan langkah mundur," ujar Christina. "Pasalnya kami baru sampai pada titik di mana anda dapat berbicara tentang Islam dalam aura positif dan bukan dianggap pengkhianat ketika anda melakukan itu."

Sebuah pengalaman dalam penerbangan kian memperburuk perasaan Christina. Tak lama setelah upaya serangan oleh seorang Muslim Nigeria, ia berada dalam sebuah pesawat yang hendak lepas landas, ketika seseorang di sebelahnya mengajak berbicara tentang topik tersebut

"Ia dan juga pilot berulang kali mengatakan, 'Para Muslim tidak seharusnya di Amerika. Saya harap mereka semua mati'. Mereka terus mengatakan itu dan itu lagi," kenang Christina.

Saat itu ia langsung paham, bahwa itulah pandangan tentang Muslim yang mungkin dimiliki mayoritas warga AS. Christina pun berharap dapat menjadi penangkal pandangan itu dengan menjadi contoh nyata.

Namun ia mengakui saat itu ia memilih diam dan tidak mengatakan bahwa ia sebenarnya seorang Muslim. Ia merasa terlalu dibebani oleh obrolan tersebut.

Pengalaman itu tak membuat ia kehilangan harapan bahwa suatu saat Amerika akan melakukan seperti yang ia lakukan, mempelajari sendiri bagaimana Islam sesungguhnya.

"Padahal warga Amerika cenderung cepat bertanya tentang segala sesuatu," ujarnya. "Anehnya tidak untuk ini (Islam-red)."

Christina menyatakan ia pun masih harus belajar banyak tentang keyakinan barunya. Saat ini ia memang tidak berjilbab karena itu bukan yang ia peroleh pertama kali. Namun ia berharap dan berdoa suatu saat ia akan mengenakan.[Republika]

“Bukankah Muhammad Tuhanmu?”

Juan Galvan* seorang Muslim Texas menceritakan pengalamannya sebelum dan sesudah mengenal Islam. Inilah kisahnya.
Ketika terbang kembali ke Austin Texas, saya terkenang hari-hari sebelum masuk Islam. Saya teringat Armando, seorang Muslim Latin yang membantu saya mengenal Islam. Sambil menunjuk ke arah timur dan barat ia berkata, “Perhatikanlah apa yang telah Tuhan berikan kepada kita. Ia yang menciptakan segala sesuatu. Allah Maha Kuasa.” Kala itu ia baru menunaikan shalat maghrib. Indahnya matahari terbenam masih tersimpan dalam ingatan.
“Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram,” begitu Allah nyatakan dalam Al-Quran 13:28. Melihat keluar jendela, saya tersenyum lebar sambil memandang ke sekeliling. Saya telah menemukan tujuan hidup. Tujuan itu bukanlah menerima Yesus sebagai Tuhan dan Penyelamat, melainkan kita harus menerima “Tuhan” sebagai Tuhan. Kita orang Islam mengetahui sifat dari Sang Pencipta. Dengan demikian kita dapat memahami tujuan kita diciptakan, yaitu sebagai hamba dari Sang Pencipta. Saya dalam perjalanan pulang ke rumah untuk pertama kalinya setelah memeluk agama Islam. Orang-orang yang tidak paham Islam ada di sekeliling saya. Cathy, saudara perempuan saya yang berusia 14 tahun bertanya, “Bukankah Muhammad Tuhanmu?” “Oh, bukan,” jawab saya.
Kedua orangtua, saudara laki-laki dan 5 saudara perempuan saya semuanya tinggal di Pampa Texas. Ayah dan saya saling bercanda terhadap agama masing-masing. “Mengapa kamu berdoa kepada karpet itu,” tanya ayah. “Mengapa ayah memasang patung orang yang telah mati di dinding?” balas saya seraya menunjuk salib Yesus yang ada di ruang keluarga.
(watch Finding Allah in Texas
Hari pertama di rumah, saya shalat di kamar Cathy setelah melihat salib dan gambar-gambar sejenis di dinding rumah. Tidak ada salib atau gambar Yesus di kamarnya, namun ada poster besar bergambar Backstreet Boy’s. Saya pikir itu tidak seburuk kedua berhala itu. Orangtua saya memajang patung atau gambar-gambar Yesus dan Maria di hampir setiap dinding rumah.
Hubungan saya dengan keluarga sangat baik. Keluarga Amerika keturunan Meksiko dikenal kecintaannya kepada keluarga dan agamanya.
Selama kunjungan saya ke Pampa, saya banyak menghabiskan waktu untuk berdiskusi tentang Islam. Orang-orang yang bertanya “mengapa kamu memilih agama itu” berarti ingin didakwahi. Dan saya senang menjawab pertanyaan mereka. Ayah berkata, “Ibuku seorang Katolik, dan aku akan mati sebagi seorang Katolik.”
Orang Amerika keturunan Meksiko selalu beranggapan moyang mereka adalah orang Katolik Roma. Sebenarnya moyang kami di Spanyol adalah Muslim dan moyang kami di Meksiko penyembah berhala. Berpegang teguh pada sebuah agama semata karena tradisi keturunan adalah tidak masuk akal. Saya menolak untuk menjadi pengikut buta. Saya menjadi Muslim karena saya yakin Islam adalah agama yang benar.
Ketika mengunjungi keluarga, saya sering bicara tentang Islam. Jika Anda mencintai sesuatu maka Anda akan selalu membicarakannya setiap ada kesempatan. Saya berharap hal itu tidak menganggu keluarga. Saya memberi saudara laik-laki saya sebuah terjemahan al Qur’an dan buku kecil pengenalan tentang Islam. Saya mem-bookmark situs www.LatinoDakwah.org dan www.HispanicMuslims.com di komputer keluarga. Saya mengkopikan beberapa file yang berhubungan dengan Islam ke komputer mereka, berharap mereka akan membacanya.
Saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh agama Tuhan yang benar. Apakah tuhan itu ada tiga? Apakah Yesus itu Tuhan? Apakah dosa asal itu? Kita menemukan jawaban atas pertanyaan seperti itu dengan mempelajari dasar-dasar keesaan Allah, kenabian dan hari pembalasan.
Saya menghabiskan banyak wantu untuk membersihkan miskonsepsi tentang Islam. Mengapa orang Amerika tidak diberikan pemahaman yang lebih baik tentang Islam? Orang Amerika memiliki banyak perntanyaan tentang Islam. Dalam banyak kesempatan, akan sangat baik untuk mengangkat pertanyaan-pertanyaan itu ke permukaan.
Saya ingin agar saudara perempuan saya mengerti bahwa Islam tidak menindas wanita. Saya ingin menjelaskan mengapa Muslimah harus berhijab. Akhirnya saya bertanya kepadanya, “Apakah kamu tahu mengapa Muslimah berkerudung?” Dengan singkat ia menjawab, “Tidak.” Awalnya saya kira ia akan menjawab, “Apa? Menurutmu aku berpakaian seperti seorang wanita jalang atau sejenisnya?”
Saya jelaskan padanya bahwa Muslim yakin wanita tidak boleh diperlakukan sebagai obyek seksual. Saya juga menjelaskan bahwa Islam seperti manajemen resiko. Laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk menundukkan pandangan.
Dalam perjalanan ke Pampa, pengamanan di bandara sangat ketat. Seorang petugas keamanan memeriksa tas saya. Ia melihat Al-Quran, buku-buku Islam, kaset-kaset Islami dan sajadah. Saya berharap itu semua tidak membuatnya ketakutan. Saya berpikir untuk melakukan shalat di bandara Austin sebelum masuk ke pesawat. Tapi saya tidak ingin membuat penumpang terkena serangan jantung.
Setelah menceritakan hal itu, saudara saya menyarakan agar saya pulang dengan membawa petunjuk instruktur penerbangan. Tak lama setelah peristiwa 11 September, ayah bertanya kepada ibu, “Ia menjerumuskan dirinya ke dalam apa?” Ibu saya menangis ketika memberikan pelukan perpisahan. Saya berusaha untuk tidak menangis. Saya berharap ibu menangis karena akan rindu bukan karena takut saya akan bergabung dengan Taliban.
Ketika saya melihat keluar jendela. Saya melihat Penhandle Texas. Saya melihat ngarai, kemudian tanah pertanian dan jalan-jalan berpasir, kemudian ngarai lagi. Saya jadi teringat pastur Dale ketika masih dalam “kesesatan”. Saat kebaktian Minggu ia berkata, “ketika saya menjadi pendeta di Hawaii, saya melihat pantai yang indah dan pohon-pohon palem sepanjang jalan menuju tempat kerja. Sekarang saya melihat bermil-mil kapas.” Pastur Dale telah meninggalkan kerahiban dan kemudian menikah. Mungkin selanjutnya ia akan memeluk Islam, siapa tahu?.
Memandang keluar jendela, saya terus bersyukur kepada Allah atas ngarai, kapas dan lainnya yang telah diberikan Allah kepada kita.
*Juan Galvan, Kini adalah Direktur LADO (Latino American Dawah Organization) , setelah memeluk Islam dan mempromosikan Islam ke benua Eropa. [hidayatullah.com]