Thursday, December 31, 2009

Prof Jeffrey Lang: Hidayah dari Hadiah Alquran


"Adam diturunkan ke bumi bukan karena dosa yang diperbuatnya, melainkan karena Allah SWT menginginkan seorang khalifah di bumi untuk mengatur dan menyejahterakan alam.’’ (Jeffrey Lang).

Prof Dr Jeffrey Lang,nama lengkapnya.Sehari-hari dia be -kerja sebagai dosendan peneliti bidangmatematika di Uni -versitas Kansas, salahsatu universitasterkemuka di Amerika Serikat. Gelar master dan doktor matematika diraihnya dari Purdue University pada tahun 1981. Ia dilahirkan dalam sebuah ke luarga penganut paham Katolik Roma di Bridgeport, Connecticut, pada 30 Januari 1954.

Pendidikan dasar hingga menengah ia jalani di sekolah berlatar Katolik Roma selama hampir 18 tahun. Selama itu pula, menurut Lang—sebagaimana ditulis dalam catatan hariannya tentang perjalanannya mencari Islam— menyisakan banyak pertanyaan tak berjawab dalam dirinya tentang Tuhan dan filosofiajaran Kristen yang dianutnya selama ini.

‘’Seperti kebanyakan anak-anak lain di kisaran tahun 1960-an hingga awal 1970-an, saya melewati masa kecil yang penuh keceriaan. Bedanya, pada masa itu, saya sudah mulai banyak bertanya tentang nilai-nilai kehidupan, baik itu secara politik, sosial, maupun keagamaan. Saya bahkan sering bertengkar dengan banyak kalangan, termasuk para pemuka gereja Katolik,’’ paparnya.

Menginjak usia 18 tahun, Lang remaja memutuskan menjadi seorang atheis. ‘’Jika Tuhan itu ada dan Dia punya belas kasih dan sayang, lalu mengapa ada begitu banyak penderitaan di atas bumi ini? Mengapa Dia tidak masukkan saja kita semua ke dalam surga? Mengapa juga dia menciptakan orang-orang di atas bumi ini dengan berbagai penderitaan?’’ kisah Lang tentang kegelisahan hatinya kala itu. Selama bertahun-tahun, pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus menggelayuti pikirannya.

Dihadiahi Alquran akhirnya Lang baru mendapat jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut ketika ia bekerja sebagai salah seorang asisten dosen di Jurusan Matematika, Universitas San Francisco. Di sanalah, ia menemukan petunjuk bahwa Tuhan itu ada dan nyata dalam kehidupan ini. Petunjuk itu ia dapatkan dari beberapa mahasiswanya yang beragama Islam.

Saat pertama kali memberi kuliah di Universitas San Francisco, Lang bertemu dengan seorang mahasiswa Muslim yang mengambil mata kuliah matematika. Ia pun langsung akrab dengan mahasiswa itu. Mahmoud Qandeel, nama mahasiswa tersebut. Dia berasal dari Arab Saudi.

Mahmoud, kata Lang, telah memberi banyak masukan kepadanya mengenai Islam. Menariknya, semua diskusi mereka menyangkut dengan sains dan teknologi. Salah satu yang pernah didiskusikan Lang dan Qandeel adalah riset kedokteran. Lang dibuat terpana oleh jawaban Qandeel, yang di negaranya adalah seorang mayor polisi.

Qandeel menjawab semua pertanyaan dengan sempurna sekali dan dengan menggunakan bahasa Inggris yang bagus.

Ketika pihak kampus mengadakan acara perpisahan di luar kampus yang dihadiri oleh semua dosen dan mahasiswa, Qandeel menghadiahi asisten dosen itu sebuah Alquran dan beberapa buku mengenai Islam.

Atas inisiatifnya sendiri, Lang pun mempelajari isi Alquran itu. Bahkan, buku-buku Islam tersebut dibacanya hingga tuntas. Dia mengaku kagum dengan Alquran. Dua juz pertama dari Alquran yang dipelajarinya telah mem buat dia takjub dan bagai terhipnotis.

‘’Tiap malam muncul beraneka ma cam pertanyaan dalam diri saya. Tapi, entah mengapa, jawabannya segera saya temukan esok harinya. Seakan ada yang membaca pikiran saya dan menuliskannya di setiap baris Alquran. Saya seakan menemukan diri saya di tiap halaman Alquran,’’ ungkap Lang.

Telaah Alquran Sebagai seorang pakar dalam bidang matematika dan dikenal sebagai seorang peneliti, penjelasan yang didapatkannya tidak langsung ia percayai begitu saja. Ia meneliti dan menelaah secara lebih mendalam ayatayat Alquran. Beberapa ayat yang membuatnya kagum dan telah membandingkannya dengan ajarannya yang lama adalah ayat 30-39 surah Albaqarah tentang penciptaan Adam.

Dalam bukunya Losing My Religion: A Call for Help, Jeffrey Lang secara lengkap menjelaskan pergulatannya dalam memahami ayat 30-39 surah Albaqarah tersebut.

‘’Saya membaca ayat tersebut beberapa kali, namun tak kunjung sanggup menangkap apa maksud Alquran,’’ ujarnya. ‘’Bagi saya, Alquran sepertinya sedang menyampaikan sesuatu yang sangat mendasar atau mungkin keliru. Lalu, saya membacanya lagi secara perlahan dan saksama, baris demi baris, untuk memastikan pesan yang di -sampaikan,’’ lanjutnya.

Ketika membaca ayat ke-30 surah Albaqarah, ‘’Dan, ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Malaikat berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi, mereka adalah orang-orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah. Padahal, kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan menyucikan Engkau?’ Allah berfirman, ‘Sesungguhnya, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.’’ Menurut Lang, ayat ini sangat mengganggunya. ‘’Saya merasa sangat kesepian. Seakan-akan penulis kitab suci ini telah menarik diri saya ke dalam ruang hampa dan sunyi untuk berbicara langsung dengan saya,’’ ujarnya.

‘’Saya berpikir, keterangan ayat tersebut ada sesuatu yang keliru. Saya protes. Lalu, saya baca lagi. Saya amati dengan saksama. Sebab, menurut ajaran yang pernah saya dapatkan, diturunkannya Adam ke bumi bukan menjadi khalifah, tetapi sebagai hukuman lantaran dosa Adam. Namun, dalam Alquran, tidak ada satu kata pun yang menjelaskan sebab-sebab diturunkan Adam karena perbuatan dosa,’’ jelasnya.

Menurut Lang, pertanyaan yang di utarakannya sama dengan pertanyaan malaikat yang menyatakan bahwa manusia itu berbuat kerusakan.

‘’Tapi, saya merasa ada sesuatu yang lain dari keterangan ayat selanjutnya.

Allah hanya menjawab, ‘Sesungguhnya, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’ Jawaban ini terkesan sederhana dan enteng, namun mengandung makna yang dalam,’’ ungkapnya.

Lang menjelaskan, dalam Alkitab, jawaban Tuhan atas pertanyaan malaikat disampaikan tentang hukuman yang diberikan karena berbuat dosa. ‘’Penjelasan ini berbeda dengan Alquran. Alquran menjawab pertanyaan para malaikat dengan memperlihatkan kemampuan manusia, pilihan moral, dan bimbingan Ilahi.

Allah mengajarkan manusia (Adam) nama-nama benda.’’ ‘’Ayat tersebut menunjukkan kemu liaan dan kemampuan manusia yang tidak diberikan kepada malaikat,’’ ujarnya.

Bahkan, pada ayat ke-39 dite rangkan, ‘’Adapun orang-orang yang tidak beriman dan mendustakan ayatayat Kami, mereka adalah penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.’’ ‘’Saya merasa ayat ini makin kuat menyerang saya. Namun, saya semakin percaya akan kebenaran Alquran dan meyakini agama Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW,’’ jelasnya.

Islam rasional
Sekitar tahun 1980-an, belum banyak pelajar Muslim yangmenuntut ilmu di UniversitasSan Francisco. Sehingga, kalau bertemu dengan mahasiswa Muslim di area kampus, menurut Lang, itu merupakan hal yang sangat langka.

Ada cerita menarik tatkala Lang sedang menelusuri kampus. Secara tak terduga, ia menemukan sebuah ruangan kecil di lantai bawah sebuah gereja. Ruang tersebut rupanya dipakai oleh beberapa mahasiswa Islam untuk menunaikan shalat lima waktu.

Kepalanya dipenuhi tanda tanya dan rasa ingin tahu. Dia pun memutuskan masuk ke tempat shalat tersebut.

Waktu itu, bertepatan dengan waktu shalat Zuhur. Oleh para mahasiswanya, dia pun diajak untuk ikut shalat. Dia berdiri persis di belakang salah seorang mahasiswa dan mengikuti setiap gerakannya.

Dengan para mahasiswa Muslim ini, Lang berdiksusi tentang masalah agama, termasuk semua pertanyaan yang selama ini tersimpan dalam kepalanya. ‘’Sungguh luar biasa, saya benar-benar terkejut sekali dengan cara mereka menjelaskan. Masuk akal dan mudah dicerna. Ternyata, jawabannya ada dalam ajaran Islam,’’ tuturnya.

Sejak saat itu, Lang pun memutuskan masuk Islam dan mengucapkan dua kalimah syahadat. Dia menjadi seorang mualaf pada awal 1980. Ia mengaku bahwa dengan menjadi seorang Muslim, banyak sekali kepuasan batin yang didapatkannya.

Itulah kisah perjalanan spiritual sang profesor yang juga meraih karier bagus di bidang matematika. Dia mengaku sangat terinspirasi dengan matematika yang menurutnya logis dan berisi faktafakta berupa data riil untuk menda patkan jawaban konkret.

‘’Dengan cara seperti itulah, saya bekerja. Adakalanya, saya frustrasi ketika ingin mencari sesuatu, tapi tidak mendapat jawaban yang konkret. Namun, dengan Islam, semuanya rasional, masuk akal, dan mudah dicerna,’’ tukasnya.

Prof Lang saat ini ditunjuk oleh fakultasnya sebagai pembina organisasi Aso siasi Mahasiswa Islam guna menjembatani para pelajar Muslim dengan pihak universitas. Tak hanya itu, dia bah kan ditunjuk untuk memberikan ma ta kuliah agama Islam oleh pihak rektorat.

Ia menikah dengan seorang perempuan Arab Saudi bernama Raika pada tahun 1994. Mereka dikaruniai tiga anak, yakni Jameelah, Sarah, dan Fattin. Selain menulis ratusan artikel ilmiah bidang matematika, dia juga telah menulis beberapa buku Islam yang menjadi rujukan komunitas Muslim Amerika. Even Angels ask: A Journey to Islam in America adalah salah satu buku best seller-nya. Dalam buku itu, dia menulis kisah perjalanan spiritualnya hingga memeluk Islam.

Beberapa tahun belakangan ini, Lang aktif pada banyak kegiatan Islami dan dia merupakan pembicara inspirasional yang paling terkenal di sebuah organi sasi pendidikan bernama Mecca Centric. Di sana, dia melayani konsultasi segala sesuatu tentang Islam ataupun kegiatan kepemudaan.sya/dia/berbagai sumber/kem/RioL; forum-swaramuslim.net

Tuesday, December 29, 2009

Aria Desti Kristiana : Kenapa Tuhan Harus Disalib?

'Tuhan itu siapa dan seperti apa sih , Ma? Tuhan kita siapa? Apa bedanya Tuhan dengan Allah?'' Pertanyaan kritis itu meluncur begitu saja dari mulut seorang bocah berusia enam tahun, Aria Desti Kristiana. Semua pertanyaan bocah perempuan ini hanya dijawab dengan satu kalimat, ''Tuhan itu yang kita sembah,'' ujar sang bunda seraya menunjuk kepada sesosok patung laki-laki di kayu salib yang berada di altar gereja.

Tentu saja, jawaban mamanya itu membuat gadis cilik ini tak puas. Bukannya berhenti dengan jawaban itu, malah sebaliknya ia semakin berusaha mencari jawaban yang bisa mengantarkannya pada kebenaran hakikat Tuhan sebagai pencipta.

Bahkan, semakin banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya. ''Katanya Tuhan itu yang menciptakan kita. Lalu, bagaimana sebuah patung yang tidak bisa bergerak dan disalib bisa menciptakan semua yang ada di dunia ini,'' ujar Desti sapaan akrabnya yang kini berusia 18 tahun saat ditemui akhir pekan lalu di Jakarta.

Pertanyaan lainnya yang kerap muncul dalam benaknya adalah ''Mengapa Tuhan yang mesti disembah harus disalib? Kenapa Tuhan harus dirupakan dalam sebuah patung? Bukankah patung itu tidak memberi manfaat?'' Pertanyaan ini tak kunjung mendapat jawaban yang memuaskan dirinya.

Meski dilahirkan dan dibesarkan di tengah lingkungan keluarga pemeluk Kristiani yang taat, untuk urusan pendidikan, kedua orang tua Desti tak pernah mengarahkan gadis kelahiran Jakarta, 9 Desember 1991 ini ke sekolah khusus pemeluk Kristen. Oleh kedua orang tuanya, Desti justru disekolahkan di taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD) umum.

Ketika bersekolah inilah untuk pertama kalinya Desti bersentuhan dengan agama Islam. ''Karena aku bersekolah di sekolah umum, jadi pendidikan agama yang diperoleh justru pelajaran agama Islam. Itu aku dapatkan pada saat di TK dan SD,'' paparnya.

Saat duduk di bangku TK, kata dia, oleh gurunya ia sudah dibiasakan untuk mengucapkan kata Bismillah sebelum makan. Begitu juga, dalam menyebut nama Tuhan dengan sebutan Allah SWT. Dari sini, mulai muncul kebingungan dalam dirinya mengenai konsep ajaran agama dan ketuhanan yang ia anut selama ini. ''Saat itu, aku bingung kenapa beda sekali antara ajaran agama saya (dulu) dengan yang diajarkan oleh guru di TK,'' ungkapnya.

Menurut Desti, kedua orang tuanya menganut agama Kristen, namun berasal dari beberapa aliran. Ada yang Pantekosta, Kharismatik (ibu), Katholik (nenek), dan Protestan (bapak). Perbedaan ini semakin membuatnya bingung. Apalagi, ketika ia mendapatkan pendidikan agama Islam di TK dan SD, yang hanya fokus menyebut Tuhan dengan sebutan Allah SWT.

Karena itu, ia makin tertarik dengan ajaran agama yang diajarkan oleh guru di sekolahnya. Ketika duduk di bangku SD, ia mulai mempelajari lebih jauh mengenai ajaran Islam. Tidak hanya di sekolah, keinginan untuk mempelajari ajaran Islam juga ia lakukan dengan cara mengikuti pengajian di daerah tempat tinggalnya.

Berikrar syahadat

Suatu ketika, salah seorang guru mengajinya bertanya kepada Desti, apa benar ia ingin ikut mengaji. Pertanyaan tersebut dijawabnya dengan satu kata, ''Ya.'' Kemudian, oleh sang guru, Desti dan teman-temannya diminta untuk melafalkan dua kalimat syahadat. Peristiwa tersebut terjadi saat ia baru menginjak bangku kelas satu SD. Dan, sejak saat itulah anak pertama dari dua bersaudara ini berkomitmen untuk meninggalkan semua ajaran agama lamanya, Kristen Pantekosta, untuk kemudian menjalankan ajaran Islam.

''Memang prosesnya tidak seperti orang Kristen lainnya yang masuk Islam. Karena, bisa dibilang baca kalimat syahadatnya tidak secara resmi,'' ungkapnya. Dari situ, kemudian ia mulai belajar mengenai cara shalat dengan mengikuti gerakan teman-temannya. Tidak hanya shalat, ia juga mulai belajar untuk berpuasa ketika sudah duduk di bangku kelas 3 SD.

Kendati sudah memeluk Islam, setiap akhir pekan, Desti tetap datang ke gereja dan mengikuti kegiatan sekolah minggu. Hal tersebut, kata dia, karena adanya paksaan dari kedua orang tuanya. Tidak hanya memaksa dia untuk ikut kebaktian di gereja, tetapi kedua orang tuanya juga kerap memarahi serta melarang dirinya untuk melaksanakan shalat dan pergi mengaji ke masjid. Sikap kedua orang tuanya ini hanya bisa ia tanggapi dengan cara menangis.

''Tetapi, untuk urusan puasa, alhamdulillah mereka mau ngebangunin aku untuk sahur. Dan, kebetulan nenekku yang beragama Kristen Katolik kadang menjalankan puasa setiap Senin dan Kamis,'' tambah Desti.Baru ketika ia naik ke jenjang kelas 5 SD, kedua orang tuanya mulai bisa menerima keislamannya. Kedua orang tuanya tidak pernah lagi memaksanya untuk pergi ke gereja setiap akhir pekan serta tidak lagi melarang dirinya untuk melaksanakan shalat dan mengaji.

Meski demikian, pertentangan masih kerap mewarnai hubungan Desti dengan kedua orang tuanya. Pertentangan tersebut, menurutnya, muncul manakala dirinya melakukan suatu kesalahan.''Misalnya, kalau saya berbuat kesalahan, mereka selalu menyinggung-nyinggung soal agama Islam. Karena saya tipe orang yang tidak mau menerima begitu saja dan watak yang keras, saya katakan ke mereka apa bedanya pada saat saya ketika masih memeluk agama yang lama,'' sindirnya.

Tak hanya dari orang tuanya, menurut Desti, pertentangan serupa juga kerap ia dapatkan dari pihak keluarganya yang lain, seperti nenek, paman, bibi, dan saudara sepupunya. Kendati demikian, ia tetap menjaga hubungan kekeluargaan dengan sanak saudaranya ini. ''Pada saat Natal, aku tetap ikut ngumpul . Tapi, tidak ikut mengucapkan.''

Namun, ia bersyukur karena masih memiliki seorang adik perempuan, Friday Veronica Florencia, yang bersama-sama dengannya memutuskan untuk memeluk agama Islam di usia kanak-kanak. Di samping juga, teman-teman sepermainannya yang kebanyakan beragama Islam.


Beasiswa gereja

Keinginan orang tuanya untuk mengembalikannya ke agama yang lama, masih terus dilakukan hingga Desti memasuki jenjang SMA. Pada saat ia memutuskan untuk mengenakan jilbab ketika duduk di bangku kelas satu SMA, sang bunda meresponsnya dengan mengatakan bahwa jilbab itu tidak penting dan diwajibkan.

Begitu juga, ketika selepas lulus SMA, ia memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Saat mau melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, ia ditawari beasiswa dari gereja oleh kedua orang tuanya. Tawaran beasiswa tersebut kemudian ia tolak. ''Beasiswanya ini bukan hanya untuk jenjang S1, tetapi sampai ke jenjang apa pun yang saya mau. Namun, dengan syarat saya harus mau mengabdi di gereja itu,'' ungkapnya.

Untuk memperkokoh keimanan dan memperdalam pengetahuannya tentang Islam, Desti aktif dalam kegiatan Rohis (Rohani Islam--Red) yang ada di lingkungan tempat ia bersekolah. ''Alhamdulillah semua rintangan tersebut bisa dilalui dengan baik,'' ujar mahasiswi semester dua Jurusan Bahasa dan Sastra Arab ini.

Kini, di usianya yang ke-18, Desti merasa menjadi orang yang paling beruntung. Walaupun dijuluki sebagai anak 'hilang' oleh keluarga, Desti merasakan kebahagiaan yang tiada tara karena Allah SWT sudah memberikan hidayah kepadanya hingga hari ini untuk menjalankan semua itu.

Meski mengakui kadang kala masih suka lalai dalam melaksanakan kewajiban shalat lima waktu, ia berharap ke depannya bisa menjalankan semua perintah Allah SWT dengan sebaik-baiknya. Ia juga berharap kelak hidayah yang ia dan sang adik peroleh juga akan didapatkan oleh kedua orang tuanya.''Saya ingin sekali mereka bisa melihat mana jalan yang benar dan mana yang salah. Karena menurut saya, saat ini mereka bukan berada di jalan yang benar,'' ujarnya. dia (RioL); forum-swaramuslim.net

Abdullah Abdul Malik : Melihat Secercah Cahaya Memancar dari Al-Quran

Sejak menjadi seorang Muslim lima tahun yang lalu, pria asal Philadelphia, AS ini mengubah namanya menjadi Abdullah Abdul Malik. Malik yang kini berusia 28 tahun, melewati perjalanan hidup yang pahit sebagai remaja AS sebelum mengenal Islam. Ia terlibat perdagangan narkotika dan pernah mendekam di penjara.

Malik tidak pernah menyangka akan melewati kehidupan yang suram itu. Ketika masih kanak-kanak, ia mengalami masa-masa yang menyenangkan seperti layaknya anak-anak Amerika pada umumnya, bermain bola, mendengarkan musik rap dan menikmati film-film action.

"Saya berpikir, apa yang saya lakukan sungguh keren, dan begitulah hidup harus dijalani, menghadapi bahaya dan tantangan. Oleh sebab itu saya mencontoh para penyanyi rap itu dan film-film action yang saya lihat. Saya mulai memiliki pola pikir bahwa hidup harus melakukan pemberontakan terhadap masyarakat," ujar Malik mengenang masa kecilnya.

Musik rap dan tv ternyata sedemikian buruknya mempengaruhi perkembangan kejiwaan Malik. Dan itu terbawa hingga ia beranjak remaja. Sejak duduk di bangku sekolah menengah hingga usia 23 tahun, ia sudah berjualan mariyuana. Kehidupannya pun kacau, dikhianati teman, menjadi paranoid, tidak tahu siapa orang yang bisa ia percaya.

"Jiwa saya terasa kosong. Saya depresi dan terisolasi. Satu-satunya cara untuk melepaskan tekanan hidup itu adalah mencipatkan musik saya sendiri," ungkap Malik.

Malik betul-betul seorang diri ketika keluarganya tersandung masalah keuangan dan memutuskan pindah ke Florida. Malik tetap memilih tinggal di Philadelphia, Pennsylvania. "Tempat ini rumah saya dan saya belum siap meninggalkannya," kata Malik.

Sejak ditinggal keluarganya, Malik pindah ke sebuah apartemen dan berjuang menghidupi dirinya sendiri. Ia mengaku merasa sendiri dan sulit menjalani kehidupannya. Sampai suatu ketika, seorang polisi yang menyamar menangkap Malik yang sedang berjualan mariyuana. Malik harus menjalani pemeriksaan dan pada saat itulah ia merasakan tekanan batin yang menyiksa dan rasa takut akan masuk penjara.
Di tengah rasa takut yang menyiksanya, Malik memutuskan untuk berhenti berjualan narkotika. Ia berusaha mencari pekerjaan lain yang halal. Beruntung, Malik mendapatkan pekerjaan dan di tempat kerjanya ia bertemu seorang lelaki berusia sekitar 50 tahun yang mengenalkannya pada Islam.

Hal pertama yang ditanyakan Malik ketika itu adalah, apakah Muslim percaya pada Yesus. Dari lelaki itu Malik tahu bahwa Muslim meyakini Yesus, tapi sebagai Nabi bukan sebagai Tuhan. Lelaki itu juga menjelaskan bahwa umat Islam meyakini semua nabi mulai dari Adam sampai Muhammad dan bahwa Allah itu Esa.

Malik bisa menerima penjelasan lelaki itu dan menganggap bahwa keyakinan itu sebagai hal yang logis. Ia merasa menemukan saat yang tepat untuk mengubah hidupnya yang selama ini tak tentu arah. Malik mengaku percaya adanya Tuhan, tapi ia bingung dengan banyak hal dalam ajaran Kristen yang diketahuinya sehingga ia tidak pernah bisa menerima agama Kristen sebagai sebuah kebenaran.

Suatu malam saat mengantarkan lelaki rekan kerjanya itu pulang kerja, Malik diberi kitab suci Al-Quran. Ia berterimakasih dan membaca Al-Quran pemberian itu malam itu juga. "Kitab itu seperti bicara pada saya dan saya mendapatkan banyak kejelasan sehingga saya yakin bahwa inilah kebenaran dan hanya Tuhan yang bisa menyatukannya dalam buku semacam ini," ungkap Malik.

"Al-Quran itu masuk akal buat saya dan membuat saya merasa damai saat membacanya, kedamaian yang sebelumnya tidak pernah saya rasakan," sambungnya.

Ketika itu, Malik masih dalam pengawasan polisi. Namun Malik berpikir, polisi sedang menunggunya untuk melakukan kesalahan yang lebih besar untuk menangkapnya dan jika ia tidak melakukan kesalahan, ia akan bebas. Tapi pikiran itu meleset, setelah melewati investigasi, aparat kepolisian menangkap Malik dengan tuduhan menjual mariyuana.

Malik kehilangan pekerjaannya karena ia ditahan polisi. Keluarganya di Florida membayar jaminan dan sempat syok mendengar kasus puteranya..

Cahaya dari Al-Quran
Selama menjalani masa bebas bersyarat, Malik terus membaca terjemahan Al-Quran dan memikirkan makna yang terkandung di dalamnya. Lalu keajaiban itupun ia alami. Suatu malam ketika ia sedang membaca Al-Quran dalam cahaya reman-remang, ia melihat secercah sinar seperti memancar dari Al-Quran.

"Saya yakin itu adalah tanda dari Tuhan tentang kebenaran kitab ini dan hidup saya akan berubah selamanya. Cahaya itu muncul selama hampir 45 menit. Saya bermaksud memberitahukan teman sekamar saya yang sedang tidur, tapi saya berpikir bahwa tanda itu dikirim Tuhan untuk saya dan saya tidak mau menodainya," tutur Malik.

Di penjara, Malik bertemu dengan beberapa Muslim dan mempelajari karakter mereka. "Menurut saya, Muslim memiliki karakter yang baik, teguh memegang kebenaran, rendah hati, penuh perhatian dan tahu bagaimana membawa diri mereka sebagai orang yang bertakwa pada Tuhannya. Di penjara saya belajar puasa, salat dan ikut salat Jumat," ujar Malik.

Penjara ternyata membantu Malik untuk memperbaiki kehidupannya. Di sanalah ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Untuk pertama kalinya Malik merasa memiliki tujuan hidup . Di penjara ia jadi merenungi banyak hal, tentang keluarga, tentang teman dan tentang agamanya.

Setelah setahun menjalani masa tahanan, Malik bebas dan pindah ke Florida. Ia mengambil sekolah perawat dan bercita-cita ingin keliling dunia, berbagi pada orang-orang yang nasibnya kurang beruntung dan menyebarkan kebenaran Islam.

"Saya pernah menjalani kehidupan yang 'gila' dan sekarang saya merasa mendapatkan rahmat yang besar, rahmat Islam, jalan kebenaran. Saya pernah terdampar di jalanan, di penjara dan sekarang ke Islam. Ketika Anda menemukan agama ini, tidak ada alasan untuk kembali ke masa lalu," tukas Malik. (ln/readislam/eramuslim)

Monday, December 28, 2009

Ethel Mae Blizzard : 29 Tahun Menemukan Hidayah Islam

Ethel Mae Blizzard, sekarang tinggal di San Diego, California, AS, melakukan pencarian selama 29 tahun untuk memastikan agama apa yang pas untuknya. Sejak kecil hingga usia 16 tahun, Mae dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang menganut agama Mormon. Tapi pada usia 18 tahun, ia tidak lagi mempercayai ajaran agamanya itu dan mulai berfikir bahwa ada Tuhan di luar sana, di suatu tempat.

Dimulailah perjalanan panjang Mae untuk mencari agama yang ia yakini paling benar. Mae pun mempelajari beragam agama mulai dari yudaisme, agama Baptis, sekte Advent Hari Ketujuh, Kesaksisan Yehovah, Katolik dan berbagai sekte dalam agama Kristen. Tapi tak satu pun yang menyentuh hatinya. Mae menyerah dan berharap akan menemukan apa yang ia cari suatu hari nanti.

Suatu hari, Mae mencoba mencari pasangan hidup lewat internet dan ia bertemu dengan seorang perempuan di sebuah situs jodoh. Perempuan itu mengenalkan Mae dengan sahabatnya, seorang pria.

Tiga bulan Mae menjalin hubungan lewat dunia maya dengan lelaki yang dikenalkan perempuan tadi, keduanya lalu memutuskan untuk menikah. Masalahnya, pria tadi seorang Muslim dan Mae seorang Kristiani.

Mae sempat bingung ke si pria menanyakannya apakah ia mau menikah di masjid. Seumur hidup Mae tidak pernah datang ke masjid. Mae lalu bertanya pada temannya yang asal Turki dan diberitahu tentang Masjid Abu Bakar. Mae pun datang ke masjid itu untuk bertemu dengan imamnya, meski saat itu Mae sendiri tidak paham apa itu imam masjid.

Saat Mae datang ke masjid, bertepatan dengan waktu salat dan ia bertemu dengan Imam Taha. Mae sempat bicara dengan Imam Taha tentang Islam. Imam Taha menyuruh Mae datang lagi ke masjid jika masih ingin tahu banyak tentang Islam. Di luar itu, Mae juga mengunjungi sahabatnya yang asal Turki dan menanyakan beberapa hal tentang Islam dan Muslim. Waktu itu, Mae masih berpikir bahwa Muslim adalah agama. Tapi sahabatnya meluruskan, bahwa Muslim bukan agama, tapi Islam-lah yang agama sedangkan pemeluk Islam disebut Muslim.

Ketika Mae bertanya tentang Allah, sahabatnya menjawab bahwa "Allah adalah Tuhan" yang membuat Mae terkejut. Mae mengaku baru tahu bahwa orang Islam juga percaya tuhan.

"Sahabat saya itu juga menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang damai, begitu pula umat Islam, tidak seperti yang diberitakan media, ujar Mae.

Mae kemudian direkomendasikan untuk bertemu dengan Syaikh Saad jika ingin banyak menanyakan tentang agama Islam dan pernikahahan dalam Islam. Baru beberapa minggu kemudian, Mae bisa bertemu Syaikh Saad karena Mae sempat mengalami kecelakaan mobil dan tidak ada yang bisa mengantarnya untuk menemui Syaikh Saad.

Akhirnya, sahabat Mae bernama Juli mengantarnya ke Masjid Al-Ribat tempat Syaik Saad berada. Mae berbincang tentang berbagai hal tentang Islam dengan Syaikh Saad selama kurang lebih tiga jam, termasuk situasi Muslim pasca serangan 11 September 2001. Di akhir pertemuan, Syaikh Saad memberi Mae sebuah Al-Quran dengan terjemahan bahasa Inggris serta buku-buku tentang Islam.

Ketika pulang, Mae sempat berpikir bahwa Syaikh Saad tidak sopan karena tidak mau berjabat tangan dengannya. Namun Syaikh menjelaskan mengapa Muslim antara laki-laki dan perempuan tidak berjabatan tangan dan Mae menerima penjelasan Syaikh yang menurutnya masuk akal.

Menjadi Muslim Amerika

Berminggu-minggu Mae membaca buku-buku dan terjemahan Al-Quran yang diberikan Syaikh Saad. Mae sempat menangis saat membaca buku The Religion of Truth. Setelah membaca buku itu, Mae menulis di halaman 20 buku itu "Saya percaya". Ketika itu tanggal 8 Juni 2007, Mae membulatkan tekad untuk menjadi seorang Muslim.

Tanggal 23 Juni malam, ia datang ke masjid dan menanyakan dimana ia bisa mengucapkan dua kalimat syahadat. Malam itu juga, Mae bersyahadat disaksikan sejumlah muslimah yang hadir di masjid itu.

Mae beruntung karena seluruh keluarganya menerimanya menjadi seorang Muslim, kecuali sepupu-sepupunya yang begitu kuat menganut agama Mormon. Mereka sama sekali tidak senang mendengar kabar Mae masuk Islam dan menuding Mae menolak Yesus sebagai juru selamatnya.

Mae dan sepupu-sepupunya itu sempat tidak berkomunikasi beberapa waktu, sampai suatu hari salah seorang sepupu perempuannya mengucapkan selamat hari paskah padanya lewat email. Mae membalas email itu dengan mengirim tiga fotonya yang sudah mengenakan jilbab dan menyertakan informasi tentang Islam. Mae meminta sepupunya itu untuk mengerti bahwa ia sekarang sudah menjadi seorang Muslim.

Selain sepupunya, sahabat Mae bernama Christine juga menjauhi Mae setelah tahu Mae memeluk Islam. Mae pernah mengundang Christine untuk makan malam merayakan ulang tahun Mae. Tapi sahabatnya itu bertanya; "Apakah engkau masih menjalankan apa yang dilakukan Muslim? Mae menjawab "Ya". Christine lalu berjanji akan menghubungi Mae apakah ia akan makan malam bersama Mae. Tapi Christine tidak pernah menghubungi Mae kembali.

Pernah suatu kali, salah seorang tetangga Mae mengotori mobil Mae dengan lipstick berwarna merah ketika mereka melihat Mae mengenakan abaya dan jilbab. Meski demikian, Mae menegaskan bahwa ia akan teguh memeluk Islam, agama yang kini ia yakini setelah melakukan pencarian panjang selama 29 tahun. (ln/iol/eramuslim)

Sunday, December 27, 2009

Andreas Ibrahim : Gara-gara Muslim Pemikir

Aku menemukan banyak ayat Bible yang bertentangan. Namun selama lima tahun tidak satu pun ustadz yang kutemui dapat meyakinkanku untuk masuk Islam, sampai akhirnya bertemu seorang Muslim pemikir.

Aku Andreas Ibrahim terlahir di keluarga Protestan pada 1965 di Jakarta. Aku selalu pindah rumah dan sekolah mengikuti tempat ayahku dinas sebagai polisi. SMA-ku di Medan.Tahun 1991 pindah ke Jogja. Sekarang tinggal di Ciputat.

Pada 1997 aku kuliah teologi di Jogja. Setahun kemudian, aku sering berdebat dengan para ustadz. Satu-persatu mereka mundur karena kalah beradu argumen denganku. Aku selalu mudah mengalahkan mereka, karena mereka kurang mendalami agamanya apalagi agamaku. Sedangkan aku setiap hari dituntut untuk belajar Alquran dan Bible sebagai bekal mengkristenkan orang Islam. Dalam mempelajari keduanya, banyak kutemukan perubahan dalam Bible tetapi tidak dengan Alquran.

Di negara manapun Alquran dicetak selalu menggunakan bahasa Arab yang sama persis meskipun tahun cetaknya berbeda. Sedangkan Bible, beda tahun terbit beda pula redaksi ayatnya. Misalnya, pada cetakan tahun 1941 dan 1991 disebutkan haram makan babi (Imamat 11:7-8) sedangkan dalam cetakan 1996 dan 2007 di ayat yang sama yang haram itu makan babi hutan. Artinya, kalau yang diternak tidak haram dong!

Aneh, kapan Tuhan meralatnya? Dan banyak kontradiksi lainnya yang mengguncang imanku. Tapi aku belum melirik Islam. Karena aku masih menilai Islam dari apa yang diperbuat oleh umatnya.

Mandi Kembang

Tahun 2000 aku ditugaskan ke Madura. Di sana aku bertemu Kyai Imran di Batu Ampar. Ia bicara apa pun aku tak peduli. Karena yang ada dibenakku bagaimana membuat orang lain masuk Kristen. Dia mempersilakan membaca sepuasku di perpustakaan pribadinya.

Mulailah aku tertarik pada Islam, apalagi ketika membaca sejarah Nabi Muhammad SAW menyampaikan ajarannya di Mekah dan penerapan Islam di Madinah. Sampai berkembang pesat memimpin peradaban dunia.

Kucatat informasi penting dari tiap buku yang kubaca. Salah satu bukunya berjudul Islam dari A sampai Z. Buku itu sangat luar biasa bagiku. Membahas masalah ekonomi, sosial, budaya dan lainnya dari sudut pandang Islam dibandingkan dengan sistem di Inggris.

Sepulang dari sana, pada 2001, aku malah kuliah Teologi lagi di Grogol Jakarta. Tahun 2002 kuutarakan keinginanku untuk masuk Islam pada teman Muslimku. Ia mempertemukanku dengan seorang kyai di Pandeglang. Hari Kamis, kami menginap di rumahnya. Aku disuruh mandi kembang pada malam hari sebelum mengucapkan syahadat menjelang Shalat Jum'at.

Kiai itu menyalakan menyan, memotong ayam. Aku disuruh mandi kembang. Dalam hatiku berkata, selama aku belajar Islam tidak ada yang seperti ini. Yang kutahu Rasulullah SAW hanya membimbing syahadat saja. Aku merasa tidak enak untuk menanyakan mengapa ritual ini dilakukan. Maka, ketika ada kesempatan, aku langsung kabur!

Muslim Pemikir

Pada 2 Agustus 2003, aku berkenalan dengan Budiman Sitompul. Ketika kutahu dia orang Islam, kuutarakan masalahku. Ia berjanji akan mempertemukanku dengan seorang ustadz yang tanpa ritual aneh seperti itu. Tiga hari kemudian, kami dipertemukannya.

”Saya Wayuman Wongso seorang Muslim Pemikir,” ujar ustadz yang lebih senang disebut Abu Hisan itu. ”Puji Tuhan, aku dipertemukan dengan Muslim pemikir dan saya Andreas Abraham, seorang Kristen pemikir juga,” kataku. Kami pun berdiskusi. Dia menerangkan Islam mirip sekali dengan buku-buku yang kubaca di Madura itu.

Kemudian dia pun berkata, ”Tapi maaf, bila Anda melihat kondisi umat Islam saat ini, Anda jangan langsung menganggap konsep Islam salah. Sebab sejak keruntuhan kepemimpinan Islam di Turki umat Islam menjadi tercerai berai seperti ini”. Ia pun menjelaskan panjang lebar tentang akidah Islam dan kontinyuitas kepemimpinan sejak Rasul hijrah ke Madinah sampai runtuhnya Khilafah di Turki.

Aku langsung teringat perkataan dosen lintas agama Edwyin Luiskul ketika mengisi kuliah di Grogol. Ia bilang, jangan takut kepada orang Islam meskipun mereka mayoritas dalam jumlah tetapi minoritas dalam peranan. Karena mereka tidak memiliki ikatan kemimpinan. Islam akan kembali menjadi raksasa yang kuat bila satu ikatan kepemimpinan.

Aku dan Abu Hisan pun berdiskusi setiap hari. Namun pada hari Kamisnya aku diundang gereja untuk memberikan siraman rohani di salah satu hotel di Jakarta. Tentu saja dalam hatiku terjadi konflik batin. Tidak mungkin aku menolaknya karena itu salah satu tugasku sebagai pendeta.

Untuk itu aku digaji setiap bulan. Ditambah perlengkapan dan keperluan rumah tangga, pendidikan anak-anakku, semua biaya berobat aku dan anak istriku ditanggung gereja. Bila aku sampaikan tekadku untuk masuk Islam, jelas aku akan kehilangan itu semua.

Pulang dari hotel, aku sangat gelisah. Maka aku langsung menemui Muslim pemikir itu. Kuceritakan semua. Dia malah curhat padaku, tetapi justru itulah yang membuatku bertekad bulat untuk memeluk dan mendalami Islam. Dia berkata bahwa dia itu tadinya seorang pengacara, mendapatkan uang banyak, tapi hidupnya menderita. Karena dia, mau tidak mau, harus membela klainnya yang bersalah.

Ia pun meninggalkan pekerjaannya setelah bertobat berbalik pada kebenaran konsep Islam yang ia dapatkan dari aktivis Islam yang mengontaknya. “Alhamdulillah saya sekarang bisa bersyukur apa adanya, senang dakwah mengajak umat Islam menerapkan syariat Islam,” ujarnya.

Aku semakin yakin orang inilah yang kucari, aku teringat ucapan dosen lintas budaya Rambadeta di Grogol. Ia mengatakan Islam itu syariat, syariat itu Islam. Jadi jangan sampai umat Islam menerapkan syariat. Karena hal itu akan menjadikan umat Islam kembali menjadi raksasa dan kita semut!

Sejak itu aku bertekad bulat untuk memilih Islam apapun risikonya dan turut berjuang agar umat Islam kembali menjadi raksasa. Maka esoknya, sebelum shalat Jum'at, dengan disaksikan tokoh masyarakat Serua Ciputat, aku dibimbing Muslim pemikir itu untuk bersyahadat. Alhamdulillah.[] joko prasetyo/mediaumat

Wednesday, December 23, 2009

Mencari Tuhan, Menemukan Allah

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarahkatu.

Hampir setiap kali berkenalan dengan orang baru dan berbincang mengenai Islam, perbincangan itu menjadi terhenti hanya untuk menjawab sejumlah pertanyaan seputar latar belakang saya. Setiap orang ingin mengetahui hal yang sama: bagaimana saya bisa masuk Islam? Saya telah tinggal di Indonesia sejak tahun 1995 dan karenanya sebagian besar perbincangan dilakukan dalam bahasa Indonesia, dan kadang dalam Bahasa Inggris. Lalu, saya juga harus menjawab sederet pertanyaan lain tentang bagaimana saya belajar bahasa Indonesia dan bisa tinggal di Indonesia. Melalui bab ini, saya ingin menjawab sejumlah pertanyaan itu sehingga saya dapat beranjak lebih jauh menuju pembahasan mengenai agama Kristen dan Islam. Saya ingin menjelaskan mengapa saya menganggap agama Kristen tidak dapat diterima dari sudut pandang logika dan mengapa Islam merupakan sebuah agama logis yang tidak dapat disangkal kebenarannya.

Saya lahir di kota Nelson, sebuah kota kecil di Pulau Selatan Selandia Baru (New Zealand), pada tanggal 28 April, 1970. Bapak saya bernama Carl dan ibu saya Bev. Mereka bertemu di Nelson, yang jaraknya cukup dekat dengan tempat lahir ibu saya, tapi cukup jauh dari tempat lahir bapak saya di Birma (sekarang Myanmar ). Kakek saya meninggalkan Birma beberapa tahun setelah Perang Dunia II berakhir. Setelah tinggal di Australia untuk beberapa bulan, akhirnya kakek menetap di Selandia Baru. Orang tua saya mempunyai tiga orang anak: Bene, Gene, dan Jacinta. Kakak dan adik saya bermata biru, tapi mata saya campuran antara coklat dan hijau. Jadi nampaknya saya sudah “berbeda” sejak saat dilahirkan.

Pada waktu kecil, saya merasa kurang betah tinggal di Selandia Baru. Keluarga saya beragama Katolik, Ibu saya berkulit putih dan seharusnya itu membuat semuanya baik-baik saja, tetapi saya selalu teringat pada orang-orang yang seringkali bertanya tentang asal saya atau asal orang tua saya. Saudara-saudara saya dapat bergaul dengan mudah karena mereka bermata biru. Dengan mata dan rambut yang lebih gelap, saya terlihat berbeda dengan mereka. Saya selalu merasa bahwa saya bukan benar-benar orang kulit putih, tetapi juga bukan orang Asia. Jadi saya ini orang mana? Hal ini terus mengganggu pikiran saya dari waktu ke waktu. Saat itu, saya sudah mulai berpikir banyak tentang dunia, bangsa, budaya dan agama yang berbeda-beda. Ini semua mungkin lebih karena saya merasa tidak menjadi bagiannya.

Seiring dengan bertambahnya usia, saya mulai banyak berfikir tentang topik-topik yang lebih serius: piramida, dinosaurus, peradaban yang berbeda, dunia, agama, bintang-bintang di angkasa, dan juga alam semesta. Saya teringat saat memandang bintang-bintang dalam kesunyian malam dan memikirkan darimana mereka berasal. Saat itu saya berumur sekitar 9 atau 10 tahun dan sudah mulai ingin mengetahui segala sesuatu. Pada saat itu film “Jurassic Park” belum dibuat, dan seingat saya, diantara teman-teman sekelas hanya saya lah yang tertarik pada dinosaurus. Saya tidak mengerti mengapa teman-teman saya yang lain tidak tertarik dengan binatang raksasa itu, padahal dinosaurus itu asyik! Saya ingin tahu darimana mereka berasal dan mengapa mereka menghilang. Pada dasarnya, saya adalah seorang anak kecil yang selalu penasaran terhadap segala sesuatu.

Seperti anak kecil lainnya, saya juga diajarkan agama. Saya ingat waktu pergi ke Sekolah Minggu yang hanya sebentar saja. Saya harus menghafal seluruh cerita standar Al Kitab, tentang Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, Nabi Nuh as, dan Nabi Isa as (atau Yesus). Saya selalu bingung bagaimana mungkin Nabi Nuh as bisa memasukkan begitu banyak binatang ke dalam sebuah kapal. Bagaimana dia bisa mendapatkan jerapah dari Afrika? Lalu di mana ular yang berbisa ditempatkan? Ada banyak hal yang membuat saya bingung. Namun begitu, kisah Nabi Nuh as merupakan masalah yang sangat kecil dibandingkan dengan hal lainnya yang ingin saya ketahui.

Setiap kali bertanya tentang agama, saya merasa tidak begitu puas dengan jawaban yang didapatkan. Tetapi saya tidak selalu memaksa untuk mendapatkan jawaban yang lebih lengkap. Saya sudah cukup dewasa untuk mengerti ketika seorang dewasa mengalami kesulitan menjawab pertanyaan yang membuat dia menjadi malu. Jadi, saya sering merasa bingung tetapi juga tidak terlalu ingin membicarakannya. Saya ingin paham, tetapi hal itu tidaklah begitu mudah.

Saya belajar tentang konsep Trinitas, dimana Tuhan itu adalah Yesus dan juga Roh Kudus. Tiga-tiganya terpisah, tetapi tiga-tiganya adalah satu. Tiga tapi satu. Ketiganya adalah Tuhan, tapi hanya ada satu Tuhan. Tuhan menjadi seorang manusia yang bernama Yesus, dan manusia ini adalah anak Tuhan. Manusia itu wafat, tetapi Tuhan tidak bisa wafat. Tetapi manusia itu adalah Tuhan. Dia wafat. Tapi Tuhan tidak bisa wafat. Tetapi manusia itu adalah Tuhan. Berarti manusia itu wafat walaupun dia tidak bisa wafat. Dia hidup kekal, dan sekaligus tidak hidup kekal pada saat yang sama. Tidakkah ini membingungkan?

Saya juga bingung dengan peran pastor yang dengan mudahnya mengampuni dosa setiap orang tanpa membicarakannya terlebih dahulu dengan Tuhan. Bagaimana kalau pastor itu salah dan dosa saya belum diampuni? Apakah saya bisa mendapatkan bukti tertulis dari Tuhan yang menyatakan bahwa saya sudah terbebas dari dosa? Bagaimana kalau saya bertemu dengan Tuhan di Hari Akhir dan Dia menyatakan bahwa dosa saya belum diampuni? Kalau saya protes dan menunjuk pada pastor yang meyakinkan bahwa saya tidak punya dosa lagi, Tuhan cukup bertanya “Siapa yang menyuruh kamu percaya pada perkataan dia?” Siapa yang sanggup menyelamatkan saya kalau pastor itu keliru dan dosa saya tetap ada dan malah dihitung secara terperinci oleh Tuhan? Tidak seperti Nabi-Nabi Tuhan, para pastor tidak diangkat langsung oleh Tuhan. Mereka hanyalah sekelompok manusia yang bisa berbuat salah, yang bercerita tentang banyak hal dan kemudian seringkali melarang kita untuk mempertanyakan peran mereka atau peran Gereja.

Saya mulai berfikir bagaimana caranya mendapatkan sebuah jawaban yang gamblang atas semua pertanyaan mengenai agama yang mengganggu pikiran saya. Akhirnya, saya menemukan cara untuk mendapatkan sebagian jawaban atas pertanyaan itu: saya harus bicara empat mata dengan Tuhan! Hanya Tuhan yang bisa menjawab semua pertanyaan saya.

Pada suatu hari, saya menunggu sampai larut malam disaat semua orang sudah terlelap. Saya duduk di atas tempat tidur dan mulai berdoa kepada Tuhan. Saya meminta Tuhan untuk datang dan menampakkan Diri agar saya bisa melihat-Nya dengan mata kepala sendiri. Saya menyatakan bahwa saya siap percaya dan beriman kepada Tuhan kalau saya bisa melihat-Nya sekali saja dan mendapatkan jawaban yang benar dari semua pertanyaan saya. Kata orang, Tuhan bisa melakukan apa saja! Kalau benar, berarti Tuhan juga bisa muncul di kamar saya pada saat diminta. Saya terus berdoa dengan sungguh-sungguh dan menatap jendela kamar, menanti untuk melihat “cahaya” atau tanda “Ketuhanan” lainnya.

Saya menunggu lama sekali. 10 menit, 20 menit, di manakah Tuhan? Kata orang, Tuhan itu Maha Mendengar, berarti Dia pasti dapat mendengarkan doa-doa saya. Saya menunggu lagi, menatap jendela tiada henti. Menunggu dan terus menunggu lagi. Kenapa Tuhan belum juga datang? Barangkali Dia sibuk? Terjebak macet? Saya terus menatap jendela tanpa henti. Saya menunggu sekian lama dan benar-benar memberi kesempatan kepada Tuhan untuk muncul. Tetapi kelihatannya Tuhan terlalu sibuk pada malam itu karena Dia tidak pernah hadir.

Hal itu membuat saya bingung. Saya sudah berjanji akan percaya kepada-Nya, dan yang perlu Dia lakukan hanya datang ke ruangan saya dan membuktikan kepada saya bahwa Dia benar-benar ada. Bukankah itu cukup adil? Hari berikutnya, saya berdoa lagi memohon agar Dia hadir. Mungkin kemarin Dia benar-benar sibuk. Saya tidak boleh menyerah begitu saja. Namun, hasilnya pun tetap sama: Tuhan tidak datang.

Pada saat itu, terperangkap dalam kebingungan, saya memutuskan hanya ada satu cara tersisa: Saya harus menyatakan diri “ateis” dan tidak percaya pada Tuhan manapun. Keputusan ini pasti akan membuat Tuhan menjadi kesal saat mengetahuinya. Saya memberitahu Tuhan (dalam hati) bahwa Tuhan itu tidak ada dan semua orang yang percaya kepada-Nya adalah orang bodoh yang hanya membuang waktunya dengan sia-sia. Di dalam hati, saya berbicara kepada Tuhan dengan suara yang keras supaya Dia bisa mendengar dengan jelas pernyataan saya. Saya ingin memastikan Tuhan tahu bahwa saya tidak lagi percaya kepada-Nya.

Pada hari-hari berikutnya, saya menunggu sebuah balasan. Saya memberi waktu kepada Tuhan untuk datang dan meminta maaf karena tidak sempat datang dan menampakkan diri di hari sebelumnya. Saya sudah membuat sebuah pernyataan yang jelas. Tuhan semestinya mendengar pernyataan saya itu dan memberi tanggapan. Saya tidak akan melakukan hal lain sampai Tuhan meminta maaf atau memberikan penjelasan. Hari demi hari, minggu demi minggu bahkan bulan demi bulan berlalu tanpa ada tanggapan dari Tuhan, dan akhirnya saya mencapai kesimpulan bahwa Tuhan itu memang tidak ada. Saya sudah membuktikannya “secara ilmiah”. Kalau Tuhan itu benar ada, Dia pasti akan mendengar doa saya dan menampakkan diri di kamar saya saat diminta. Kenyataan bahwa Tuhan tidak menampakkan diri telah membuktikan bahwa Tuhan memang tidak ada! Bukti ini benar adanya. Bukti ini logis. Bukti ini ilmiah. Saya telah membuktikannya. Saat itu, saya berumur 10 tahun.

Saya terus melanjutkan sekolah dan menyembunyikan kenyataan bahwa saya tidak percaya kepada Tuhan. Kalau ada yang menanyakan agama saya maka saya cukup menjawab “Katolik” supaya tidak perlu menjelaskan bahwa saya ateis. Selama masa SD, SMP, dan SMA saya belajar terus tentang masalah dunia tetapi sudah malas mempelajari agama secara serius (kecuali untuk mencari kekurangannya) karena saya menganggap agama itu hanya membuang waktu saja tanpa membawa hasil. Setelah lulus SMA, orang tua saya memutuskan untuk pindah ke Brisbane, Australia. Saya ditanya apakah mau ikut mereka atau tetap tinggal di Selandia Baru. Saya memutuskan mengikuti mereka untuk sementara waktu dan merasakan kehidupan di Australia.

Pada tahun 1990, di Brisbane Australia, saya tiba-tiba memutuskan untuk masuk jurusan Psikologi di Universitas Queensland. Saya ingin menjadi seorang psikolog anak. Namun saya tidak diterima karena nilai masuk saya kurang tinggi. Sulit sekali untuk masuk di jurusan itu. Sebagai pilihan kedua, saya ditawari untuk masuk di Fakultas Kajian Asia di Universitas Griffith, Brisbane. Saya diberitahu jika menerima tawaran itu, saya dapat mengambil Kajian Asia selama 1 tahun, meningkatkan nilai saya, dan mendaftar lagi ke jurusan Psikologi. Rencana ini tampak masuk akal dan karenanya saya menerima tawaran untuk belajar di Fakultas Kajian Internasional Asia (Faculty of Asian International Studies) di Universitas Griffith, dengan niat akan pindah ke Fakultas Psikologi setahun kemudian.

Pada tahun pertama kuliah di Fakultas Kajian Asia, semua mahasiswa wajib mengikuti mata kuliah salah satu bahasa Asia untuk satu tahun. Ada pilihan Bahasa Jepang, Cina, Korea, atau Indonesia. Saya memilih Bahasa Indonesia karena sepertinya paling mudah dari yang lain. Lagipula, saya hanya perlu mengikuti mata kuliah itu selama satu tahun saja. Dalam waktu enam bulan, saya mendapatkan nilai yang sangat baik dan termasuk yang paling tinggi. Saat itu, kami diberitahu bahwa ada 3 beasiswa untuk belajar di Indonesia selama 6 bulan. Saya tidak mengikuti seleksi karena masih berniat pindah ke fakultas Psikologi di akhir tahun. Tiga teman saya kemudian dipilih, tetapi salah satunya tiba-tiba menyatakan ada halangan dan mengundurkan diri. Proses seleksi dibuka lagi, tetapi sekarang hanya untuk satu orang. Ada seorang dosen yang memanggil saya ke kantornya dan bertanya kenapa saya tidak mengikuti seleksi beasiswa itu. Saya jelaskan niat saya untuk pindah fakultas di akhir tahun pertama. Namun begitu, dosen itu menyarankan agar saya tetap melanjutkan kuliah Kajian Asia dan mata kuliah bahasa Indonesia karena menurutnya saya memiliki bakat untuk bahasa.

Setelah berfikir secara mendalam dan sesuai dengan apa yang disarankan, akhirnya saya memutuskan untuk meneruskan kuliah di Fakultas Kajian Asia dan juga mengikuti proses seleksi untuk beasiswa belajar di Indonesia. Setelah proses selesai, saya dinyatakan lulus dan akan diberangkatkan ke Indonesia pada tahun berikutnya (1991). Mulai saat itu, saya menjadi lebih serius belajar karena ada tujuan yang lebih jelas.

Pada suatu hari, Klub Indonesia di kampus mengadakan acara barbeque dan mengundang seluruh mahasiswa Australia yang belajar tentang Indonesia, dan juga seluruh mahasiswa Indonesia yang ada di kampus untuk datang ke acara itu. Pada saat sedang makan, ada orang Indonesia yang datang menghampiri dan duduk di samping saya, kemudian mengajak ngobrol. Dia bertanya apakah saya belajar tentang Indonesia dan saya jawab ya. Kemudian, tiba-tiba saja dia bertanya tentang sesuatu yang tidak pernah saya duga; dia bertanya apakah saya juga belajar tentang agama Islam. Saya menjawab, tentu saja, kami harus mempelajari dasar-dasar semua agama di Asia termasuk agama Islam dalam salah satu mata kuliah kami.

Lalu dia benar-benar membuat saya terkejut dengan bertanya, “Apakah kamu sudah tahu bahwa di dalam Islam hanya Tuhan yang bisa mengampuni dosa? Tidak ada pendeta atau pastor yang bisa mengampuni dosa manusia!” Saya tidak tahu harus berkata apa. Saya masih ingat duduk di bangku kayu dengan sepotong hotdog yang masih berada di dalam mulut. Saya begitu terkesima. Waktu seolah terhenti untuk sesaat. Kemudian saya menyadari bahwa inilah sebuah jawaban yang telah saya cari selama 10 tahun. Di dalam Islam, hanya Tuhan yang berhak mengampuni dosa. Saya mulai berfikir: Apakah mungkin ada suatu agama yang didasarkan pada logika? Adakah Islam mengandung ajaran-ajaran yang dapat dianalisa secara kritis tanpa menimbulkan kebingungan, dan dapat menjawab sejumlah pertanyaan saya selama ini? Apakah mungkin sebuah agama yang pernah saya tolak sebenarnya mengandung kebenaran yang mutlak? Apakah mungkin ada satu agama yang benar di dunia ini?

Sejak saat itu, saya mulai mempelajari dan menganalisa agama Islam secara mendalam. Saya mulai membaca buku dan mencari teman dari Indonesia yang beragama Islam. Secara perlahan, saya mulai memperluas pengetahuan saya tentang Islam dengan bertanya, berfikir, membaca, dan terus mencari jawaban. Saya mempelajari Islam lebih dalam untuk mencari tahu apakah agama ini benar-benar masuk akal atau tidak.

Pada tahun 1991, saya dan dua orang teman kuliah mengikuti program beasiswa untuk kuliah di Indonesia. Saya belajar di Universitas Atma Jaya, sebuah Iniversitas Katolik swasta di pusat kota Jakarta. Selama 6 bulan kuliah di Atma Jaya, sebagian besar teman saya adalah orang Islam. Saya melihat mereka melakukan shalat dan mulai bertanya lebih jauh mengenai agama Islam. Saya ingin tahu apa yang mereka lakukan, mengapa, dan apa yang mereka yakini sebagai orang Islam.

Setelah 6 bulan tinggal di Jakarta dan kembali ke Brisbane, ternyata saya menjadi salah satu mahasiswa yang bahasa Indonesianya paling lancar di kampus. Oleh karena itu, saya seringkali bergaul dengan orang-orang Islam dari Indonesia. Saya tidak aktif mempelajari Islam secara rutin, namun saat itu saya sudah mulai merasa tertarik. Kapanpun kami harus menulis essay, saya selalu mencari topik yang ada hubungannya dengan Islam. Biasanya ada satu topik pilihan tentang Islam dalam daftar yang diberikan. Untuk menulis essay tersebut, saya harus membaca belasan buku dan artikel tentang aspek-aspek Islam di Indonesia. Semakin sering saya baca, semakin mampu saya berpikir secara mendalam tentang Islam.

Meskipun saya dapat melihat banyak aspek positif dalam Islam, diam-diam saya juga mencari titik kelemahannya yang fatal. Saya yakin, cepat atau lambat saya akan menemukan sesuatu yang dapat meyakinkan saya bahwa Islam itu tidak benar. Saya ingin menemukan sesuatu yang membuktikan bahwa Islam adalah agama yang tidak masuk akal seperti apa yang saya pikirkan sebelum bertemu dengan orang Indonesia di acara barbeque. Saya merasa yakin bahwa pasti ada sesuatu yang salah dengan Islam dan saya ingin menemukannya.

Setelah menyelesaikan kuliah Bachelor of Arts (BA) pada tahun 1993, saya mengambil kuliah tambahan Graduate Diploma of Education (GDipEd) pada tahun 1994 di Fakultas Pendidikan untuk menjadi seorang guru bahasa dan sejarah. Pada saat yang sama, saya mengikuti seleksi untuk sebuah beasiswa baru dari Perkumpulan Pembantu Rektor Australia (Australian Vice-Chancellors Committee). Beasiswa ini hanya untuk satu orang dan penerimanya boleh memilih lokasi kuliah di mana saja di Indonesia.

Pada tahun 1995, saya kembali mendapatkan beasiswa untuk kuliah selama satu tahun di Indonesia dan kali ini saya memilih kuliah di Universitas Indonesia. Seperti saat kuliah di Atma Jaya, saya menghabiskan waktu bergaul dengan orang Islam dan memperhatikan apa yang mereka lakukan.

Malam hari pada bulan Februari tahun 1995, saya duduk seorang diri di lantai menonton shalat Tarawih yang ditayangkan TV langsung dari Mekkah. Saya mendengarkan komentator yang berbicara dalam bahasa Indonesia. Dia menyatakan bahwa pada tahun itu diperkirakan ada sekitar 3 juta orang di Masjidil-Haram dan wilayah sekitarnya (yang terdiri dari lapangan yang ada di luar masjid, jalan-jalan, dan bahkan lobi-lobi hotel). Semua orang itu sedang melakukan sholat bersama. Sekitar 3 juta orang melakukan gerakan yang sama, menghadap arah yang sama, mengikuti imam yang sama, berdoa dengan ucapan yang sama, dan berdoa kepada Tuhan yang sama pada saat yang sama. Saya berfikir: Mana ada hal seperti ini di negara Barat? Jumlah orang yang berkumpul untuk menyaksikan pertandingan bola yang paling hebat sekalipun di dunia ini paling-paling hanya sekitar seratus ribuan. Saya belum pernah melihat orang sebanyak itu berkumpul di satu lokasi untuk melakukan hal yang sama, pada waktu yang sama, dalam bahasa yang sama dan semuanya melakukan gerakan-gerakan secara bersamaan. Ini sungguh sebuah pandangan yang tidak ada tandingannya. Sampai sekarang, saya masih belum menemukan suatu kejadian yang serupa di dunia Barat.

Saya mulai berfikir tentang berapa banyak orang yang bisa berkumpul di satu bangunan untuk mendengarkan Paus bicara. Saya mulai bayangkan apakah mungkin semuanya bisa memahami kata-kata yang diucapkan Paus karena tidak ada bahasa yang mempersatukan orang Kristen dari manca negara. Mereka berdoa di dalam bahasanya masing-masing. Tidak ada suatu kejadian di dalam agama Kristen yang dapat menandingi apa yang saya saksikan dari Mekah.

Selama satu tahun itu saya terus mempelajari agama Islam, tidak secara formal, tetapi dengan memperhatikan apa yang saya lihat di sekitar. Kalau ada ceramah agama di TV, maka saya akan mendengarkan dan memikirkan apa yang disampaikan penceramahnya. Tidak ada yang dapat saya salahkan dari apa yang disampaikan dalam ceramah itu. Perlahan, saya mulai memahami Islam dengan lebih baik. Pada akhir tahun 1995, saya sudah merasa sulit dan lebih sulit lagi untuk menolak agama Islam. Saya terus mencari kelemahan dalam dasar ajaran Islam dari sudut pandang logika. Namun, saya tidak dapat menemukan titik kelemahan itu. Semua yang ada di dalam Islam begitu jelas dan tak pelak lagi memang didasarkan pada logika.

Akhirnya saya merasa bahwa saya tidak mempunyai pilihan. Saya tidak bisa terus menyangkal apa yang telah saya pelajari tentang Islam. Saya mengambil keputusan untuk segera masuk Islam. Akan tetapi, bagaimana dengan masa depan saya? Kuliah saya di Universitas Indonesia hampir usai. Saya harus kembali ke Australia dan mengajar di sekolah di sana. Bagaimana saya bisa mempelajari agama Islam jika tinggal di sana? Di mana saya bisa sholat? Ada berapa masjid di Brisbane? Dari mana saya bisa mendapatkan guru agama? Sepertinya saya akan sulit hidup sebagai orang Islam kalau harus tinggal di Brisbane. Semakin saya berfikir, semakin jelas kalau saya tidak memiliki pilihan kecuali terus tinggal di Indonesia. Dengan begitu, saya bisa berada diantara orang-orang Islam. Akhirnya saya mengambil keputusan untuk masuk Islam dan menetap di Indonesia. Saya sudah membuat keputusan, dan selanjutnya tinggal mengurus detilnya.

Pada bulan Februari tahun 1996, saya mengucapkan syahadat dan menjadi seorang Muslim. Saya lupa kapan saat persisnya saya memberitahu orang tua bahwa saya sudah masuk Islam. Namun seingat saya, itu terjadi beberapa bulan kemudian dan saat itu saya telah sanggup melakukan sholat sendiri. Sudah pasti mereka menganggap saya telah “kehilangan akal” tetapi alhamdulillah, mereka tetap bersikap baik kepada saya dan tidak pernah menjelekkan agama Islam di depan saya. Saya tidak diusir, tidak dimusuhi dan tidak dikeluarkan dari keluarga saya. Ini sangat berbeda dengan cerita yang seringkali saya dengar di Indonesia tetang sebagian dari orang Kristen yang masuk Islam. Mereka dipukuli, diusir dari rumah dan dianggap telah keluar dari keluarganya. Keluarga saya pasti menganggap saya sudah menjadi “gila”. Tidak apa apa. Nabi Muhammad saw juga pernah dianggap “gila” oleh kaum Quraisy di Mekkah, jadi dalam konteks ini, disebut “gila” akan lebih seperti sebuah pujian.

Sejak tahun 1995, saya telah menetap di Jakarta dan bekerja sebagai seorang guru bahasa Inggris (setelah menyelesaikan kuliah di UI). Banyak orang Barat yang saya kenal di sini merasa heran mengapa saya mau menetap di negara yang miskin, kotor, penuh dengan korupsi, dan sebagainya. Orang Barat itu memiliki pandangan yang keliru; mereka tidak mengerti. Komentar negatif mereka tentang Indonesia memang benar adanya, tetapi saya juga melihat banyak masjid, orang yang rajin sholat, adzan, Al Qur'an di setiap rumah, makanan yang halal, dan juga anak muda yang tidak mau berzina, menolak aborsi, menolak alkohol dan mabuk-mabukan, menjauhi narkoba, menolak perjudian, dan banyak hal negatif lainnya yang dilarang oleh agama mereka. Oleh karena itu, semua kekurangan yang disebut-sebut oleh orang asing itu menjadi tidak bermakna dan kurang berasa. Semua kekurangan itu memang menjadi masalah dan karenanya harus diperbaiki. Namun begitu, sejumlah kecil masalah yang ada menjadi jauh tidak berarti jika dibandingkan dengan kehidupan religius yang dilakukan orang-orang Islam yang baik yang saya kenal di Jakarta. Keindahan dan kebenaran tentang Islam tidak bisa dirusak oleh tindakan buruk dari sebagian manusia yang tinggal di negara ini.

Alhamdullilah, di sini saya mendapatkan beberapa teman terbaik di dunia. Bagi saya, persahabatan dan perilaku mereka merupakan bukti nyata kebenaran Islam. Persahabatan dengan mereka adalah suatu hal yang sangat nikmat. Mereka ibarat keluarga bagi saya dan mereka juga memperhatikan saya seperti anggota keluarganya sendiri, hanya karena saya beragama Islam. Mereka selalu membantu saya untuk menjadi seorang Muslim yang baik dengan cara memberikan contoh yang baik. Alhamdulillah, di Jakarta saya juga mendapatkan beberapa guru yang sangat baik, yang insya Allah memiliki ilmu dan wawasan yang luas. Ilmu agama yang saya dapatkan dari mereka selalu menyambung dengan akal saya dan kenyataan itu merupakan bukti bagi saya bahwa Islam memang diciptakan sebagai rahmat bagi ummat manusia.

Guru utama saya sampai sekarang ini adalah Kyai Haji Masyhuri Sahid MA, yang telah membimbing dan memperhatikan saya seperti anak kandung. Selain menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia, Kyai Masyhuri juga menjadi Pemimpin Pondok Pesantren Yatim-Piatu Daarul Qur’an yang berlokasi di Tebet, Jakarta Selatan.

Di dalam buku ini, saya ingin memberikan komentar atas apa yang saya lihat dan pelajari mengenai agama Kristen dan Islam. Banyak orang yang saya kenal di sini mengatakan bahwa saya melihat agama dari sudut pandang yang berbeda dari mereka, karena mereka semuanya terlahir sebagai Muslim dan tidak pernah mengetahui kehidupan lain di luar Islam. Tidak seperti orang-orang ini, saya harus menganalisa agama Kristen dan Islam dan membuat sebuah pilihan. Saya harus mencari logika di dalam Islam sebelum dapat menerimanya. Mungkin setelah membaca pandangan saya di dalam buku ini, beberapa orang Islam akan melihat sisi lain dari Islam yang tidak mereka pikirkan sebelumnya, dan bila itu terjadi semoga mereka akan semakin kuat dalam keimanannya. Boleh jadi, beberapa orang Kristen juga akan lebih terbuka dan menyambut Islam setelah memahami bahwa Islam adalah lanjutan dari segala sesuatu yang diajarkan oleh Yesus as.

Saya tidak tahu jika pandangan dan analisa saya ini akan memberikan pengaruh besar bagi orang lain. Itu bukanlah tujuan saya. Saya hanya ingin menjelaskan apa yang saya pahami dan berharap hal itu dapat memberikan manfaat bagi orang Islam yang lain dalam proses mempelajari Islam. Al Quran dan Nabi Muhammad saw mengemukakan bahwa umat Islam adalah sebuah keluarga besar. Namun kita tidak bertindak seperti satu keluarga. Kita bertindak individual. Terlalu banyak orang Islam menganggap bahwa pengetahuan, kekayaan, dan kekuasaan yang mereka miliki adalah untuk kepentingan mereka saja, dan karena itu mereka tidak ingin membaginya dengan orang lain. Saya tidak memiliki banyak kekayaan atau kekuasaan, namun saya ingin membagi pengetahuan yang sudah saya dapatkan dan berharap itu akan memberikan manfaat bagi orang lain.

Saya telah tinggal di Indonesia selama lebih dari 10 tahun dan telah menyaksikan yang terbaik dan yang terburuk dari perbuatan orang Islam. Kadangkala saya merasa sedih saat melihat keadaan masyarakat di sini karena perilaku sejumlah umat Islam yang tidak islamiah.

Kalau kita menganggap diri kita sebagai “penjual” dan produk yang kita “jual” itu adalah Islam, maka saya akan sangat heran kalau orang lain ingin “membeli” apa yang kita “jual”. Dengan kata lain, kita seringkali gagal dalam tugas “marketing” Islam agar agama ini lebih mudah dapat diterima oleh orang-orang yang tidak memahaminya. Kalau seandainya orang Barat ingin berdebat dengan saya tentang kebenaran Islam, maka dia cukup menunjuk tingkat korupsi yang sangat tinggi di Indonesia dan menyatakan “Bukannya hal itu membuktikan bahwa agama anda tidak bagus?” Tentu saja yang dia komentari itu adalah perbuatan manusia, dan bukan ajaran Islam. Tetapi untuk meyakinkan dia tidaklah mudah.

Dengan demikian, saya melihat bahwa sebagai umat Islam kita memiliki sebuah tanggung jawab untuk menjelaskan Islam dengan cara terbaik sehingga dapat lebih mudah dipahami oleh orang yang ingin tahu tentang Islam. Cara termudah bagi kita untuk melakukan tugas itu adalah dengan menunjukkan Islam melalui perilaku kita. Jika kita dapat melakukan strategi ini, maka orang mungkin akan mulai memandang Islam dengan cara yang lebih baik karena mereka akan melihat kebenaran Islam yang dicerminkan melalui tindakan-tindakan kita. Setelah itu, kita perlu menjelaskan dengan gamblang mengapa kita meyakini Islam dan apa yang Islam ajarkan mengenai agama lain, khususnya agama Kristen sebagai agama monoteisme terdekat dengan Islam. Agar dapat melakukan tugas itu, seorang Muslim harus memahami masalah-masalah yang berkaitan dengan agama Kristen sehingga sanggup berbincang dengan cara yang konsruktif. Jika kita berhasil dengan “marketing” agama kita ini, maka insya Allah jumlah musuh Islam akan berkurang dan jumlah penganut Islam akan bertambah.

Perjalanan saya dari Selandia Baru ke Australia kemudian ke Indonesia sudah tentu adalah bagian dari Rencana Allah. Saya belum tahu kenapa Allah membawa saya ke Indonesia dan memberikan saya kemudahan dalam berbahasa Indonesia. Saya tidak tahu apa yang seharusnya saya lakukan. Yang jelas, saya menyadari ilmu tentang agama Islam yang saya miliki masih sangat sedikit. Dengan begitu, apa yang saya tulis di dalam buku ini hanyalah usaha terbaik saya untuk menjelaskan bagaimana saya menganalisa agama Kristen dan Islam dan menyimpulkan bahwa Islam adalah agama yang harus diterima.

Saya mohon kepada Allah untuk melindungi dan membimbing saya, dan juga memberikan saya kemudahan untuk lebih memahami Islam disebabkan apa yang saya tulis. Semoga buku ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kita semua dan menjadi rahmat Allah untuk seluruh ummat Islam. Amin amin ya robbal alamin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Saturday, December 19, 2009

Hidayah dari Bar

Dua minggu menjelang Ramadan tahun ini, tepatnya Agustus 31, seperti biasa saya datang ke Islamic Center of New York, tapi kali ini agak telat. Selain karena memang sedang melakukan beberapa pekerjaan pribadi, juga karena di Islamic Center sekolah akhir pekan (weekend school) masih diliburkan. Jadi, saya tidak harus datang lebih awal seperti ketika masih ada sekolah akhir pekan.

Memasuki Islamic Center sekitar setengah 12 siang itu juga masih terasa sepi. Tapi ketika melintasi resepsionis, di ruang itu telah menunggu seorang perempuan separuh baya. Seperti biasa, selain mengucapkan salam kepada petugas resepsionis, juga saya sapa perempuan itu dengan "hi, good morning!". Dengan sedikit senyum dia manjawab "Good morning".

Saya kemudian diberitahu bahwa perempuan itu telah datang sejak jam 9-an pagi. Mungkin karena menyangka bahwa jam buka di Islamic Center persis jam kerja di perkantoran. Jadi dia bermaksud untuk datang sebelum ada kegiatan-kegiatan yang menyibukkan. Tentu saya merasa bersalah. Maka saya katakan "I am very sorry for being late?". Dengan ramah dia jawab: "Oh it's ok. I was prepared to wait!".

Saya langsung mengajaknya ke ruang pertemuan. Kelihatannya perempuan ini sangat hati-hati, baik dalam bersikap maupun dalam berucap. Bahkan ketika akan memasuki ruangan itu, dia harus bertanya dulu apakah boleh masuk atau belum. Mungkin pernah membaca atau mendengar bahwa di mesjid itu harus sopan, dll.

"Hi, welcome! What's you name?", saya memulai percakapan itu. "Catherine", jawabnya pelan, hampir saja tidak kedengaran. Saya memulai bertanya tentang pribadinya, seperti tempat tinggal, asal usul, dll. "I am from here, but my parents are living in Upstate", jelasnya. "Now, may I know why you are here today?". Dengan sedikit menunduk dia menjawab: "I don't know what to say. But can I tell you a little bit about my back ground?", tanyanya. "Of course, you are free to say what you want to say".

Dia menarik nafas lalu mulai bercerita. Cerita yang cukup penjang dan sedikit berbelit-belit. Dari cerita panjang itu dia menyampaikan bahwa dia termasuk anak yang seharusnya beruntung. Orang tuanya, menurutnya, beragama dan juga berpendidikan tinggi. "I enjoyed that privilege. I went to the best school, best college and university", katanya. "Which university did you go?" tanya saya. "Columbia university", jawabnya. "Graduated?". "Yes, I finished my Master Degree in Journalism" jelasnya.

"So where are you now?". Maksud saya, dimana dia sekarang ini bekerja. Dia kemudian menampakkan wajah sedih, menarik napas lalu bercerita. Setamat kuliah dia tidak peduli mencari kerja. Menurutnya, di masa kuliah itu dia berkenalan dengan seorang yang kaya dan royal. Dialah yang selalu memenuhi kebutuhannya. Teman yang dia panggil "boy friend" itu dia kenal di sebuah bar di suatu malam. Sejak itu perkenalan itu menjadi lebih dekat dan menjadilah mereka pasangan "boy-girl friends". Keduanya hidup di sebuah apartemen mewah di Manhattan .

Menurutnya lagi, teman prianya itu walau selalu minum alcohol di night club, tapi juga kalau berdiskusi selalu mengait-ngaitkan argumentasinya dengan agama yang dianutnya, yaitu Islam. Bahkan di rumah dia, menurutnya lagi, ada Al-Quran dan buku-buku Islam. Bahkan tidak jarang mengajarkan Catherine tentang Islam. Sambil tersenyum kecut, Catherine mengatakan: "But now, we are not together any more".

Saya kemudian menjelaskan, betapa memang banyak umat Islam seperti itu. Agama bagi kita adalah sesuatu yang serius, tapi tidak semua bisa "commit" dengannya ajarannya. Ada orang yang siap mati membela agama ini, tapi belum tentu juga mempraktekkannya. "So what happens afterwards?", tanyaku kemudian. Catherine menjelaskan bahwa ternyata bacaan yang selalu ia ingat di rumah mantan pacarnya itu adalah Al-Quran.

"I searched it further on the internet and surprisingly I found a lot of interesting things", jelasnya. "So, what do you think about Islam and deep did you search about it?", tanyaku. Dia mengatakan bahwa dia sudah belajar mengenai five pillars (lima rukun Islam). Dia bahkan belajar sendiri mengerjakan shalat, tapi bacaannya tidak bisa dilakukan.

Saya tidak berpanjang lebar lagi berbicara dengan Catherine. Saya langsung bertanya: "Do you think, Islam is the right way for you to follow?". Dia sepertinya senang dan langsung mengatakan: "I am sure about that. But I am worried that I can not commit my self into it". Nampaknya Catherine khawatir menjadi seperti mantan pacarnya, yang sangat yakin dengan agamanya tapi gagal melaksanakannya.

Saya kemudian menjelaskan bahwa memang dalam beragama itu diperlukan komitmen. Dan komitmen itu diawali dengan niat dan tekad yang bulat. Jika niat itu sudah ada, selebihnya adalah usaha dan doa. "you know, combining your efforts and commitment will bring Allah's help to make you a better Muslim", kataku memotivasinya. "My question is, are you ready to accept Islam as your new faith?", pancingku. Dengan sedikit pelan, mungkin masih ragu, Catherine mengangguk sambil mengatakan: "Yes, I think it's the time for me".

Tanpa mengundur-undur waktu lagi, saya menelpon resepsionis untuk memanggil dua saksi. Alhamdulillah, disaksikan oleh para saksi pagi itu, Catherine resmi memeluk Islam sebagai jalan hidupnya yang baru. Allahu Akbar!

New York , 27 September 2007, Kabar Dari New York

Friday, December 18, 2009

Gold Fret mantan Pendeta : “Eli, Eli, lama sabakhtani?” mengantarnya kepada Hidayah Islam

AYAH saya seorang pastor atau pendeta dalam agama Kristen Katolik. Beliau mengajarkan Alkitab (Injil) pada saya sejak saya masih kecil dengan harapan agar saya menjadi penerus cita-citanya di kemudian hari. Saya belajar Alkitab pasal demi pasal dan ayat demi ayat dengan seksama. Berkat bimbingannya, saya betul-betul memahami kandungan dan tafsiran Alkitab. Sejak saya berumur empat belas tahun, saya diberi kepercayaan berceramah di gereja pada setiap hari Minggu dan hari-hari keagamaan Kristen lainnya. Setelah saya banyak membaca Alkitab, banyak saya dapatkan kejanggalan-kejanggalan di dalamnya. Dalam Alkitab, antara pasal satu dan pasal lainnya banyak terjadi pertentangan, dan banyak ajaran gereja yang bertentangan dengan isi Alkitab.

Misalnya, Yohanes pasal 10 ayat 30, menerangkan bahwa Allah dan Yesus (Isa) bersatu, yaitu, “Aku dan Bapa adalah satu.” Sedangkan, pada Matius pasal 27 ayat 46 menjelaskan bahwa Yesus dan Allah berpisah, yaitu, “Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring, “Eli, Eli, lama sabakhtani?” ‘Artinya, “Tuhanku, Tuhanku, mengapa Engkau meninggalkan aku?”

Dalam ajaran gereja, seorang bayi yang lahir akan membawa dosa warisan dari Nabi Adam dan 1bu Hawa. Juga, bayi yang mati sebelum dibaptis tidak akan masuk surga. Ajaran ini bertentangan dengan Alkitab Yehezkiel pasal 18 ayat 20 dan Matius pasal 19 ayat 14 menerangkan bahwa manusia hanya menanggung dosanya sendiri, tidak menanggung dosa orang lain. Bayi yang meninggal sebelum dibaptis akan masuk surga, karena anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang yang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan orang yang fasik akan menanggung akibat kefasikannya.

Sementara, pada Matius 19 ayat 14 Yesus berkata, “Biarlah anak-anak itu, jangan menghalang-halangi mereka datang padaku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang mempunyai Kerajaan Surga.”

Dengan semua itu saya merasa bimbang. Injil mana yang harus saya ikuti, sedangkan semuanya kitab suci? Dan apakah ajaran gereja yang harus saya ikuti, sedangkan ajarannya bertentangan dengan Alkitab ?

Saya ragu dengan keautentikan Alkitab, karena kalau Injil yang ada sekarang ini asli, tidak mungkin satu sama lain saling bertentangan. Saya juga ragu dengan kebenaran ajaran gereja karena kalau ajaran gereja itu benar, tidak mungkin bertentangan dengan kitab sucinya.

Karena mendapatkan kejanggalan dalam Alkitab dan pertentangan ajaran gereja dengan kitab sucinya, saya menjadi enggan membaca Injil dan buku buku agama (Kristen), karena saya yakin tidak akan mendapat kebenaran dalam Kristen.

Mendengar Bacaan Al-Qur’an

Pada suatu hari saya berjalan di dekat masjid. Tiba-tiba saya gemetar dan tidak bisa berjalan disebabkan mendengar suara dari dalam masjid. Setelah saya pulang ke rumah, saya bertanya pada teman-teman tentang suara yang saya dengar itu. Tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang tahu tentang suara itu.

Setelah keesokan harinya saya bertanya pada teman sekolah yang beragama Islam, dia menjelaskanbahwa “suara” yang saya dengar di dalam masjid adalah suara orang membaca A1-Qur’an. Kemudian saya bertanya, “Apa sih, Al-Qur’an itu?” Dia menjawab, “Al-Quran itu kitab suci umat Islam.” Kemudian saya meminta Al-Qur’an padanya. Tetapi dia tidak memberikan dengan alasan saya tidak punya wudhu.

Setelah saya pulang dari sekolah, saya langsung mencari orang yang beragama Islam untuk meminjam A1-Qur’an. Akhirnya saya berjumpa dengan orang Islam yang bernama Abdullah. Ia keturunan Arab. Lalu saya pinjam Al-Qur’an padanya dan saya jelaskan padanya bahwa saya beragama Katolik dan ingin mempelajari Al-Qur’an. Dengan senang hati ia meminjamkan saya terjemahan Al-Qur’an dan riwayat hidup Nabi Muhammad saw..

Saya baca Al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat. Saya pahami kalimat demi kalimat dengan seksama. Akhirnya saya berkesimpulan, hanya Al-Qur’anlah satu-satunya kitab suci yang asli dan hanya Islamlah satu-satunya agama yang benar.

Al-Qur’an membahas persoalan ketuhanan dengan tuntas, bahasanya mudah dipaharni, dan argumentasinya rasional. Di samping itu, Al-Qur’an juga membahas tentang Nabi Isa (Yesus) sejak sebelum dikandung, dalamn kandungan, waktu dilahirkan, masa kanak-kanak dan remaja, mukjizatnya, dan kedudukannya sebagai Rasul Allah, bukan anak Allah.

Sejak mendapatkan kebenaran Islam, saya mempunyai keinginan yang kuat untuk memeluk agama Islam. Singkat cerita, kemudian saya datang menjumpai Abdullah dan saga jelaskan keinginan saga padanya.

la menyambut hasrat saya itu dengan hati ikhlas, dan ia membimbing saya membaca dua kalimat syahadat. Setelah menjadi seorang muslim, nama saya diganti menjadi Dzulfikri. Kemudian saya belajar pada Abdullah tentang hal-hal yang diwajibkan dan yang dilarang dalam Islam.

Setelah itu saya mondok di sebuah pesantren. Di situ saya belajar agama selama satu tahun. Kemudian saya pindah ke kota Malang, Jawa Timur. Di kota ini saya terus menuntut ilmu agama sambil kuliah.

Oleh A. Wadud N./Albaz – dari Buku “Saya memilih Islam” Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/ oleh Mualaf Online Center (MCOL)

www.swaramuslim.net

Thursday, December 17, 2009

Mantan Misionaris Iselyus Uda : Mimpi Ziarah ke Makam Rasulullah

Nama saya Iselyus Uda. Istri saya Maria Juana. Lima belas tahun saya menjadi penginjil di Kalimantan Tengah sampai akhirnya saya bertemu dengan seorang laki-laki dalam suatu mimpi.

Benarkah Ia Rasul yang terpuji?
Tidak pernah terbayang kalau kelak saya akan menginjakkan kaki di negeri yang dirindukan umat Islam (tanah Haram). Bahkan tak pernah terpikir saya akan memeluk agama yang tadinya saya benci (Islam). Sebab, sejak kecil saya dan istri biasa hidup di lingkungan adat yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Islam.

Memang, di dalam masyarakat Dayak terdapat beberapa anak suku, yaitu Kenyah, Iban, Kayan, Bahau dan sejumlah kelompok kecil yang tersebar hampir di seluruh Kalimantan, termasuk Sabah dan Serawak di wilayah Malaysia Timur. Namun akar budaya dan kepercayaan kami nyaris tidak berbeda.

Dulu, suku Dayak dikenal sebagai pengayau tengkorak manusia. Cerita itu bukan dongeng semata. Memburu kepala musuh, baik sesama suku Dayak maupun suku lain, merupakan pilar utama budaya dan kepercayaan kami lantaran kepala yang baru dipenggal sangat penting bagi terciptanya kesejahteraan seisi kampung. Sementara tengkorak lama makin luntur kekuatan magisnya. Untuk itu, dibutuhkan perburuan terus menerus yang menyebabkan sering terjadinya peperangan, baik antar suku ataupun dengan masyarakat luar.

Jasa penginjil

Sebetulnya agama Islam sudah tersiar dari Tanah Jawa sejak abad ke-15, terutama di Kutai dalam wilayah kerajaan Hindu Mulawarman yang kini termasuk Provinsi Kalimantan Timur. Namun masyarakat Dayak tidak tertarik untuk menganut agama Islam karena kami dilarang berternak babi atau berburu celeng dan memakan dagingnya. Islam juga tidak membolehkan umatnya memelihara anjing. Padahal, babi dan anjing sudah menyatu dengan kehidupan kami dan tidak mungkin terpisahkan dari upacara adat dan ritus-ritus nenek moyang.

Tak seorang pun penganjur Islam yang pernah memberi tahu bahwa ada keringanan-keringanan yang tidak terlalu keras menajiskan anjing dan babi, serta tidak terlalu memaksa seseorang yang baru membaca syahadat agar segera dikhitan. Seakan keringanan itu sengaja disembunyikan. Yang kami ketahui, kalau memeluk agama Islam kami harus berpisah dari adat-istiadat dan kebiasaan lama. Sedikit saja menyimpang dan tetap melaksanakan tradisi para orang tua, kabarnya kami akan dituduh musyrik dan wajib masuk neraka. Bukankah itu sungguh menyakitkan dan mengerikan?

Berbeda dengan sikap para penginjil, baik dari kalangan agama Katolik maupun Protestan. Sesudah Perang Dunia berakhir mereka datang berduyun-duyun membawa hadiah, ilmu dan pengetahuan baru yang dapat mengubah cara hidup kami tanpa mengharubiru adat istiadat dan upacara ritual nenek moyang. Mereka merambah ke kawasan-kawasan terpencil. Perang antar suku tidak pernah terjadi lagi berkat jerih payah mereka. Kebiasaan mengayau kepala manusia sudah lama kami tinggalkan, juga agama asli. Dan hal itu terjadi tanpa memusnahkan upacara adat yang oleh gereja tidak dilarang untuk dilakukan.

Sungguh mereka banyak berbuat untuk suku Dayak, termasuk saya dan seluruh keluarga saya, yang sebagai pengikut Yesus dan Bunda Maria, segala kebutuhan hidup kami selalu dipenuhi. Oleh karena itu, untuk menanggung delapan orang anak dan seorang istri, saya tidak pernah mengeluh walaupun selama lima belas tahun saya sepenuhnya hanya mengabdikan diri pada agama Katolik selaku penginjil.

Sudah tak terhitung banyaknya penduduk yang dapat saya ajak masuk gereja. Apalagi sejak saya dianugerahi amanat memimpin umat Katolik di desa Bangkal oleh gereja Sampit. Makin menggebu-gebu semangat saya untuk mengibarkan panji-panji sang juru selamat dan menegakkan palang salib di berbagai penjuru. Saya tanamkan iman Kristiani kepada masyarakat kecamatan Danau Sembuluh tanpa pandang bulu. Malah cita-cita saya tidak saja menasranikan rakyat Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur, melainkan juga seluruh pelosok Provinsi Kalimantan Tengah.

Mimpi yang menakjubkan

Tiga tahun saya menebarkan ayat-ayat Injil di mimbar gereja dan di berbagai persekutuan doa di desa bangkal dan desa-desa lainnya. Kemudian saya dipercaya pula untuk mengumandangkan misi gereja di kecamatan Cempaga sejak tahun 1978. Berkat kegigihan saya, hingga hampir segenap waktu saya tersita oleh kegiatan pelayanan rohani, bahkan saya berhasil mengajak umat dan berbagai pihak untuk bersama-sama membangun gereja yang besarnya lumayan, lengkap dengan asramanya.

Dua tahun saya mengucurkan keringat, memeras tenaga dan pikiran demi kejayaan agama Katolik melalui gereja yang saya dirikan. Sungguh bangga hati saya, sungguh mantap kaki saya. Namun di balik kepuasan batin itu ada sesuatu yang terngiang-ngiang jauh di dasar sanubari saya. Entah mengapa dan dari mana datangnya tuntutan itu, tidak pernah terungkap sama sekali. Yakni tanda tanya yang tak mampu saya jawab meskipun telah saya gali lewat firman-firman suci. Apakah betul yang saya tempuh berasal dari Tuhan? Tidak kelirukah saya menyerahkan diri bulat-bulat dalam keyakinan itu?

Kebimbangan tersebut betul-betul sangat menyiksa hidup saya dan senantiasa mengusik ketentraman batin saya. Seolah ada sebuah lubang pada diri saya yang tidak mampu saya tutupi, malah saya rasa makin lama makin dalam dan lebar. “Ya Tuhan, kalau Engkau Maha Kuasa dan Maha Penyayang, tunjukkanlah kebenaran yang sempurna,” demikian ratap saya tiap malam tatkala suasana sedang lengang dan kesunyian sedang mencekam sambil saya genggam rosario (kalung salib) erat-erat.

Saya menggapai-gapai bagaikan hampir tenggelam di tengah-tengah samudera kehampaan. Saya berteriak nyaring di tengah gurun kesunyian. Saya merasa ditinggalkan sendirian dalam sebuah lorong gelap dan pengap setelah seberkas cahaya yang tadinya saya jadikan pedoman kian buram dan hampir padam. Saya merindukan sinar terang yang tidak menipu saya dengan bercak-bercak fatamorgana. Saya mendambakan jalan lurus menuju haribaan Tuhan yang sejati dan hakiki.

Tiba-tiba, pada suatu malam menjelang akhir Oktober 1980, ketika kesibukan untuk mengabarkan Injil dan menawarkan kerajaan surga tengah mencapai puncaknya, saya didatangi mimpi yang sangat aneh. Seorang lelaki berjenggot rapi mengunjungi saya antara tidur dan jaga. Pundak saya ditepuk dan tangan kanan saya ditariknya. Saya menoleh. Betapa takjub saya melihat sosok manusia yang begitu tampan dalam usia bayanya. Berpakaian serba putih dengan rambut berombak tertutup selembar kain halus yang juga berwarna putih, ia tampak sangat agung dan anggun. Saya merasa damai oleh sentuhan pandang dan senyumnya.

Dituntunnya saya menjelajahi hamparan tanah yang tandus menuju sebuah gurun pasir yang luas dan gersang. Anehnya, meskipun matahari terik membakar, saya justru terlena oleh kesejukan yang indah dan menawan. Seolah gumpalan awan besar menaungi kami berdua.

Ketika tiba di tempat tujuan, entah di mana saya tidak tahu, ia mempersilakan saya masuk ke suatu kawasan yang asing dan sakral. Saya lihat ribuan manusia berselimut putih-putih bergerak bak busa ombak mengelilingi sebuah bangunan hitam berbentuk kubus menjulang ke atas membelah langit sambil berlari-lari kecil. Di antara mereka ada yang sedang bersujud dengan khusyuk, banyak pula yang berebutan mengecup batu hitam kebiruan yang menempel di dinding kubus itu. begitu saya datang, kerumunan manusia tadi menyibakkan diri dan memberikan kesempatan kepada saya untuk memeluk dan mencium batu berkilat itu sepuas hati. Amboi, alangkah harumnya, alangkah tenteramnya.

Setelah itu ia mengarak saya bersama gemawan ke tempat lain yang pemandangannya amat berbeda, tetapi suasananya sama, penuh keagungan. Saya bertanya, “Bangunan apa yang teduh ini?” Ia menjawab, “Ini yang dinamakan Masjid Nabawi.”

Sebagai penginjil saya pernah mengenal istilah itu, sebab mempelajari agama-agama lain adalah modal untuk membeberkan kebenaran kami dan membongkar kelemahan mereka. Oleh karena itu saya terkejut. mengapa saya dibawa ke mari?

“Gundukan tanah yang di tengah itu untuk apa?” kembali saya bertanya. “Itu makam Nabi Muhammad,” sahutnya.
Mendengar penjelasan itu saya pun makin kaget. Nabi Muhammad adalah pembawa ajaran Islam. Ada hubungan apa dengan saya sampai diajaknya saya berziarah ke sini?

Meski beribu kebingungan menyemak di hati saya dan berbagai tanda tanya merimbun di benak saya, sekonyong-konyong, tanpa dimintanya saya bersimpuh di depan kuburan yang sederhana itu. Air mata saya menetes. Saya terharu walau pun tidak tahu mengapa bisa terharu. Saya cuma membayangkan betapa mulianya pemimpin kaum Muslimin itu yang pengikutnya ratusan juta orang, tetapi makamnya begitu bersahaja, yang ajarannya ditaati umatnya, namun kematiannya tidak boleh diratapi. Saya terpana sangat lama sehingga tatkala saya sadar kembali, lelaki yang mengantar saya tadi telah menghilang ke dalam kuburan itu.

Panggilan hati

Saya ceritakan mimpi saya kepada istri dan anak-anak saya. Mereka terkesima. Istri saya berkaca-kaca; saya tidak mengerti apa sebabnya. Barulah pada malam harinya, ketika kami cuma berdua, ia berkata, “Saya yakin itu bukan sekadar mimpi. Itu panggilan. Dan kita berdosa kepada Tuhan apabila tidak mau mendatangi panggilan-Nya.”
“Maksudmu?” saya tidak paham akan maksud istri saya.

“Kita tanya kepada orang yang ahli agama Islam. Siapakah lelaki baya yang mengajak Abang itu. Dan bagaimana makna mimpi itu. Kalau memang benar merupakan panggilan Tuhan, berarti kita harus masuk Islam,” jawab istri saya tanpa ragu-ragu.

Sayalah yang justru dilanda kebimbangan, terombang-ambing dalam iman Kristiani yang makin goyah. Apalagi tiap kali teringat akan salah satu surah al-Qur’an yang pernah saya pelajari, “Tuhanmu adalah Allah Yang Maha Tunggal, Yang Tidak Beranak dan Tidak Diperanakkan,” (QS al-Ikhlash).

Saya ingin lari menghindari dengungan batin itu. Namun keyakinan saya tak cukup kuat untuk menahan deburan ayat-ayat suci al-Qur’an. Untungnya pada tahun 1983 gereja Sampit memindahkan saya ke Medan, tugas saya ke desa Resettlement untuk mengobarkan semangat Injil pada masyarakat setempat. Saya terima tugas itu dengan setengah hati sebab semangat Injil saya sendiri sedang meluntur ke titik paling rawan. Anehnya, saya merasa bahagia menerima keadaan itu, lebih-lebih ucapan istri saya yang tak pernah lenyap dari pendengaran saya. “Kalau mimpi itu merupakan panggilan Tuhan, kita berdosa jika tidak mendatangi-Nya. Kita harus masuk Islam.”

Akhirnya, pada awal Maret 1990 saya sekeluarga mengunjungi Kantor Urusan Agama Kecamatan Mentawa Baru Ketapang, sesudah lebih dulu mendapat penjelasan dari seseorang yang saya percayai memiliki pengetahuan mendalam tentang agama Islam. Ia mengatakan bahwa lelaki dalam mimpi saya adalah Nabi Muhammad. Diterangkannya lebih lanjut bahwa tidak semua orang, termasuk kaum Muslimin, bisa memperoleh kehormatan bertemu dengan Nabi dalam mimpi. Dia meyakinkan saya bahwa mimpi itu bukan dusta, bukan kembang tidur. Sebab, Iblis tak sanggup menyerupai Nabi walaupun ia bisa menyamar sebagai Malaikat.

Itulah yang kian memantapkan tekad saya sekeluarga untuk memeluk ajaran Islam. Maka dengan bimbingan Mahali, BA, kami mengucapkan dua kalimah syahadat disaksikan oleh para pendahulu kami, Arkenus Rembang dan Budiman Rahim, dari Kantor Departemen Agama Sampit. Nama saya, Iselyus Uda, diganti dengan Muhammad Taufik; istri saya menjadi Siti Khadijah. Begitu pula kedelapan anak saya yang memperoleh nama baru yang diambilkan dari al-Qur’an. Sepulang dari upacara persaksian itu dada saya terasa sangat lapang dan dunia makin benderang. Tengah malam saya mengangkat kedua tangan dan menggumam, “Ya Tuhan, terpujilah nama-Mu, telah datang kerajaan-Mu. Kami bersyukur kepada-Mu, ya Allah, untuk anugerah kebenaran ini.”

Menebus mimpi

Sejak hari paling bahagia itu saya mulai berangan-angan, kapankah pemandangan dalam mimpi saya dulu itu bisa terwujud. Saya merindukan Tanah Suci tempat kelahiran Nabi saw dan tempat jenazahnya dimakamkan, yaitu Makkah dan Madinah. Kecuali dengan kuasa Allah, rasanya mustahil terlaksana mengingat kemampuan ekonomi saya tidak secerah semasa menjadi penginjil. Akan tetapi saya tidak mengeluh. Memang pada segi materi terjadi penurunan, tetapi dari segi yang lain kehidupan kami bertambah makmur, sejahtera, dan penuh barokah.

Kekurangan kami sedikit, kami anggap biasa, itulah ujian iman. Materi bukanlah segala-galanya. Yang penting, anak-anak dapat melanjutkan pendidikan mereka dan kebutuhan sehari-hari kami tercukupi. Adapun hidup berlebihan bukan tujuan utama. Buat kami sudah puas dengan kaya di hati dan rezeki yang halal.

Saya tidak tahu apakah keikhlasan itu diterima Tuhan, ataukah lantaran sudah tertulis dalam takdir-Nya bahwa saya sekeluarga harus menjadi Muslim dan Muslimat yang kuat. Peristiwa yang terjadi dua pekan setelah kami masuk Islam membuat saya makin bersyukur kepada Allah, yaitu ketika Kakandepag Kotawaringin Timur, Drs. H. Wahyudi A. Ghani, bertamu ke rumah saya di Desa Resettlement. Ia tidak hanya bertandang, tetapi mengantarkan tebusan mimpi.

Ia mengabarkan bahwa Menteri Agama, H. Munawir Syadzali, MA, menaruh simpati kepada saya dan berkenan memberangkatkan kami suami istri untuk menjalani ibadah umrah. Subhanallah, alangkah akbarnya Engkau, alangkah luasnya kasih sayang Engkau. Sungguh saya tidak mampu menggoreskan pena atau menggerakkan lidah guna menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan saya.

Tidak bisa lain yang menggugah hati Menteri Agama, seorang petinggi negara di antara 170 juta lebih bangsa Indonesia, pasti Allah yang Maha Kuasa. Tanpa kehendak-Nya mana mungkin perhatiannya terlintas kepada seorang warga desa terpencil di Kalimantan Tengah ini, padahal kegiatannya selaku menteri tidak kepalang sibuknya.

Saya dan istri langsung bersimpuh di hadapan Allah Azza wa Jalla seraya melakukan sujud syukur. Kami pun tidak mengeluh walau keberangkatan kami ke Tanah Suci tertunda beberapa bulan. Sedianya kami akan diberangkatkan pada Juli 1990; namun karena terhalang oleh musibah Mina, terpaksa diundur ke bulan Januari 1991.

Akhirnya, kami kesampaian mewujudkan pemandangan dalam mimpi dengan melaksanakan thawaf mengelilingi Ka’bah, menunaikan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah, serta berziarah ke makam Rasulullah saw.

Agaknya doa kami di tempat-tempat mustajab di Makkah dan Madinah mulai dikabulkan-Nya. Buktinya, setiba kembali dari Tanah Suci ada seorang hartawan yang tidak ingin disebut namanya, mewakafkan sebidang tanah kepada saya.
Saya berniat menghabiskan sisa umur saya untuk membayar dosa-dosa pada masa silam tatkala lima belas tahun lamanya saya bekerja keras memurtadkan umat Islam dan merayu banyak orang agar mengikuti keyakinan saya kala itu. Ihdinash shirathal mustaqim. (Sabili)

Seperti dituturkan M. Taufik kepada Musthafa

www.swaramuslim.net

Wednesday, December 16, 2009

Kisah pendeta senior di Afrika Selatan Yang Masuk Islam : bermimpi bertemu Rasululah SAW

“Ya Tuhanku… Wahai Dzat yang telah men-ciptakanku… sungguh telah tertutup semua pintu di hadapanku kecuali pintuMu… Janganlah Engkau halangi aku mengetahui kebenaran… manakah yang hak dan di manakah kebenaran? Ya Tuhanku… jangan Engkau biarkan aku dalam kebimbangan… tunjukkan kepadaku jalan yang hak dan bimbing aku ke jalan yang benar…

Mungkin kisah ini terasa sangat aneh bagi mereka yang belum pernah bertemu dengan orangnya atau langsung melihat dan mendengar penuturannya. Kisah yang mungkin hanya terjadi dalam cerita fiktif, namun menjadi kenyataan. Hal itu tergambar dengan kata-kata yang diucapkan oleh si pemilik kisah yang sedang duduk di hadapanku mengisahkan tentang dirinya. Untuk mengetahui kisahnya lebih lanjut dan mengetahui kejadian-kejadian yang menarik secara komplit, biarkan aku menemanimu untuk bersama-sama menatap ke arah Johannesburg, kota bintang emas nan kaya di negara Afrika Selatan di mana aku pernah bertugas sebagai pimpinan cabang kantor Rabithah al-’Alam al-Islami di sana.

Pada tahun 1996, di sebuah negara yang sedang mengalami musim dingin, di siang hari yang mendung, diiringi hembusan angin dingin yang menusuk tulang, aku menunggu seseorang yang berjanji akan menemuiku. Istriku sudah mempersiapkan santapan siang untuk menjamu sang tamu yang terhormat. Orang yang aku tunggu dulunya adalah seorang yang mempunyai hubungan erat dengan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela. Ia seorang misionaris penyebar dan pendakwah agama Nasrani. Ia seorang pendeta, namanya ‘Sily.’ Aku dapat bertemu dengannya melalui perantaraan sekretaris kantor Rabithah yang bernama Abdul Khaliq Matir, di mana ia mengabarkan kepada-ku bahwa seorang pendeta ingin datang ke kantor Rabithah hendak membicarakan perkara penting.

Tepat pada waktu yang telah dijanjikan, pendeta tersebut datang bersama temannya yang bernama Sulaiman. Sulaiman adalah salah seorang anggota sebuah sasana tinju setelah ia memeluk Islam, selepas bertanding dengan seorang petinju muslim terkenal, Muhammad Ali. Aku menyambut keda-tangan mereka di kantorku dengan perasaan yang sangat gembira. Sily seorang yang berpostur tubuh pendek, berkulit sangat hitam dan mudah tersenyum. Ia duduk di depanku dan berbicara denganku dengan lemah lembut. Aku katakan, “Saudara Sily bolehkah kami mendengar kisah keislamanmu?” ia tersenyum dan berkata, “Ya, tentu saja boleh.”

Pembaca yang mulia, dengar dan perhatikan apa yang telah ia ceritakan kepadaku, kemudian setelah itu, silahkan beri penilaian.!

Sily berkata, “Dulu aku seorang pendeta yang sangat militan. Aku berkhidmat untuk gereja dengan segala kesungguhan. Tidak hanya sampai di situ, aku juga salah seorang aktifis kristenisasi senior di Afrika Selatan. Karena aktifitasku yang besar maka Vatikan memilihku untuk menjalankan program kristenisasi yang mereka subsidi. Aku mengambil dana Vatikan yang sampai kepadaku untuk menjalankan program tersebut. Aku mempergunakan segala cara untuk mencapai targetku. Aku melakukan berbagai kunjungan rutin ke madrasah-madrasah, sekolah-sekolah yang terletak di kampung dan di daerah pedalaman. Aku memberikan dana tersebut dalam bentuk sumbangan, pemberian, sedekah dan hadiah agar dapat mencapai targetku yaitu memasukkan masyarakat ke dalam agama Kristen. Gereja melimpahkan dana tersebut kepadaku sehingga aku menjadi seorang hartawan, mempunyai rumah mewah, mobil dan gaji yang tinggi. Posisiku melejit di antara pendeta-pendeta lainnya.

Pada suatu hari, aku pergi ke pusat pasar di kotaku untuk membeli beberapa hadiah. Di tempat itulah bermula sebuah perubahan!

Di pasar itu aku bertemu dengan seseorang yang memakai kopiah. Ia pedagang berbagai hadiah. Waktu itu aku mengenakan pakaian jubah pendeta berwarna putih yang merupakan ciri khas kami. Aku mulai menawar harga yang disebutkan si penjual. Dari sini aku mengetahui bahwa ia seorang muslim. Kami menyebutkan agama Islam yang ada di Afrika selatan dengan sebutan ‘agama orang Arab.’ Kami tidak menyebutnya dengan sebutan Islam. Aku pun membeli berbagai hadiah yang aku inginkan. Sulit bagi kami menjerat orang-orang yang lurus dan mereka yang konsiten dengan agamanya, sebagaimana yang telah berhasil kami tipu dan kami kristenkan dari kalangan orang-orang Islam yang miskin di Afrika Selatan.

Si penjual muslim itu bertanya kepadaku, “Bukankah anda seorang pendeta?” Aku jawab, “Benar.” Lantas ia bertanya kepadaku, “Siapa Tuhanmu?” Aku katakan, “Al-Masih.” Ia kembali berkata, “Aku menantangmu, coba datangkan satu ayat di dalam Injil yang menyebutkan bahwa al-Masih AS berkata, ‘Aku adalah Allah atau aku anak Allah. Maka sembahlah aku’.” Ucapan muslim tersebut bagaikan petir yang menyambar kepalaku. Aku tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut. Aku berusaha membuka-buka kembali catatanku dan mencarinya di dalam kitab-kitab Injil dan kitab Kristen lainnya untuk menemukan jawaban yang jelas terhadap pertanyaan lelaki tersebut. Namun aku tidak menemukannya. Tidak ada satu ayat pun yang men-ceritakan bahwa al-Masih berkata bahwa ia adalah Allah atau anak Allah. Lelaki itu telah menjatuhkan mentalku dan menyulitkanku. Aku ditimpa sebuah bencana yang membuat dadaku sempit. Bagaimana mungkin pertanyaan seperti ini tidak pernah terlintas olehku? Lalu aku tinggalkan lelaki itu sambil menundukkan wajah. Ketika itu aku sadar bahwa aku telah berjalan jauh tanpa arah. Aku terus berusaha mencari ayat-ayat seperti ini, walau bagaimanapun rumitnya. Namun aku tetap tidak mampu, aku telah kalah.

Aku pergi ke Dewan Gereja dan meminta kepada para anggota dewan agar berkumpul. Mereka menyepakatinya. Pada pertemuan tersebut aku mengabarkan kepada mereka tentang apa yang telah aku dengar. Tetapi mereka malah menyerangku dengan ucapan, “Kamu telah ditipu orang Arab. Ia hanya ingin meyesatkanmu dan memasukkan kamu ke dalam agama orang Arab.” Aku katakan, “Kalau begitu, coba beri jawabannya!” Mereka membantah pertanyaan seperti itu namun tak seorang pun yang mampu memberikan jawaban.

Pada hari minggu, aku harus memberikan pidato dan pelajaranku di gereja. Aku berdiri di depan orang banyak untuk memberikan wejangan. Namun aku tidak sanggup melakukannya. Sementara para hadirin merasa aneh, karena aku berdiri di hadapan mereka tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku kembali masuk ke dalam gereja dan meminta kepada temanku agar ia menggantikan tempatku. Aku katakan bahwa aku sedang sakit. Padahal jiwaku hancur luluh.

Aku pulang ke rumah dalam keadaan bingung dan cemas. Lalu aku masuk dan duduk di sebuah ruangan kecil. Sambil menangis aku menengadahkan pandanganku ke langit seraya berdoa. Namun kepada siapa aku berdoa. Kemudian aku berdoa kepada Dzat yang aku yakini bahwa Dia adalah Allah Sang Maha Pencipta, “Ya Tuhanku… Wahai Dzat yang telah men-ciptakanku… sungguh telah tertutup semua pintu di hadapanku kecuali pintuMu… Janganlah Engkau halangi aku mengetahui kebenaran… manakah yang hak dan di manakah kebenaran? Ya Tuhanku… jangan Engkau biarkan aku dalam kebimbangan… tunjukkan kepadaku jalan yang hak dan bimbing aku ke jalan yang benar…” lantas akupun tertidur.

Di dalam tidur, aku melihat diriku sedang berada di sebuah ruangan yang sangat luas. Tidak ada seorang pun di dalamnya kecuali diriku. Tiba-tiba di tengah ruangan tersebut muncul seorang lelaki. Wajah orang itu tidak begitu jelas karena kilauan cahaya yang terpancar darinya dan dari sekelilingnya. Namun aku yakin bahwa cahaya tersebut muncul dari orang tersebut. Lelaki itu memberi isyarat kepadaku dan memanggil, “Wahai Ibrahim!” Aku menoleh ingin mengetahui siapa Ibrahim, namun aku tidak menjumpai siapa pun di ruangan itu. Lelaki itu berkata, “Kamu Ibrahim… kamulah yang bernama Ibrahim. Bukankah engkau yang memohon petunjuk kepada Allah?” Aku jawab, “Benar.” Ia berkata, “Lihat ke sebelah kananmu!” Maka akupun menoleh ke kanan dan ternyata di sana ada sekelompok orang yang sedang memanggul barang-barang mereka dengan mengenakan pakaian putih dan bersorban putih. Ikutilah mereka agar engkau mengetahui kebenaran!” Lanjut lelaki itu.

Kemudian aku terbangun dari tidurku. Aku merasakan sebuah kegembiraan menyelimutiku. Namun aku belum juga memperoleh ketenangan ketika muncul pertanyaan, di mana gerangan kelompok yang aku lihat di dalam mimipiku itu berada.

Aku bertekad untuk melanjutkannya dengan berkelana mencari sebuah kebenaran, sebagaimana ciri-ciri yang telah diisyaratkan dalam mimpiku. Aku yakin ini semua merupakan petunjuk dari Allah SWT. Kemudian aku minta cuti kerja dan mulai melakukan perjalanan panjang yang memaksaku untuk berkeliling di beberapa kota mencari dan bertanya di mana orang-orang yang memakai pakaian dan sorban putih berada. Telah panjang perjalanan dan pencarianku. Setiap aku menjumpai kaum muslimin, mereka hanya memakai celana panjang dan kopiah. Hingga akhirnya aku sampai di kota Johannesburg.

Di sana aku mendatangi kantor penerima tamu milik Lembaga Muslim Afrika. Di rumah itu aku bertanya kepada pegawai penerima tamu tentang jamaah tersebut. Namun ia mengira bahwa aku seorang peminta-minta dan memberikan sejumlah uang. Aku katakan, “Bukan ini yang aku minta. Bukankah kalian mempunyai tempat ibadah yang dekat dari sini? Tolong tunjukkan masjid yang terdekat.” Lalu aku mengikuti arahannya dan aku terkejut ketika melihat seorang lelaki berpakaian dan bersorban putih sedang berdiri di depan pintu.

Aku sangat girang, karena ciri-cirinya sama seperti yang aku lihat dalam mimpi. Dengan hati yang berbunga-bunga, aku mendekati orang tersebut. Sebelum aku mengatakan sepatah kata, ia terlebih dahulu berkata, “Selamat datang ya Ibrahim!” Aku terperanjat mendengarnya. Ia mengetahui namaku sebelum aku memperkenalkannya. Lantas ia melanjutkan ucapan-nya, “Aku melihatmu di dalam mimpi bahwa engkau sedang mencari-cari kami. Engkau hendak mencari kebenaran? Kebenaran ada pada agama yang diridhai Allah untuk hamba-Nya yaitu Islam.” Aku katakan, “Benar. Aku sedang mencari kebenaran yang telah ditunjukkan oleh lelaki bercahaya dalam mimpiku, agar aku mengikuti sekelompok orang yang berpakaian seperti busana yang engkau kenakan. Tahukah kamu siapa lelaki yang aku lihat dalam mimpiku itu?” Ia menjawab, “Dia adalah Nabi kami Muhammad, Nabi agama Islam yang benar, Rasulullah SAW.” Sulit bagiku untuk mempercayai apa yang terjadi pada diriku. Namun langsung saja aku peluk dia dan aku katakan kepadanya, “Benarkah lelaki itu Rasul dan Nabi kalian yang datang menunjukiku agama yang benar?” Ia berkata, “Benar.”

Ia lalu menyambut kedatanganku dan memberikan ucapan selamat karena Allah telah memberiku hidayah kebenaran. Kemudian datang waktu shalat zhuhur. Ia mempersilahkanku duduk di tempat paling belakang dalam masjid dan ia pergi untuk melaksanakan shalat bersama jamaah yang lain. Aku memperhatikan kaum muslimin banyak memakai pakaian seperti yang dipakainya. Aku melihat mereka rukuk dan sujud kepada Allah. Aku berkata dalam hati, “Demi Allah, inilah agama yang benar. Aku telah membaca dalam berbagai kitab bahwa para nabi dan rasul meletakkan dahinya di atas tanah sujud kepada Allah.” Setelah mereka shalat, jiwaku mulai merasa tenang dengan fenomena yang aku lihat. Aku berucap dalam hati, “Demi Allah sesungguhnya Allah SAW telah menunjukkan kepadaku agama yang benar.” Seorang muslim memanggilku agar aku mengumumkan keislamanku. Lalu aku mengucapkan dua kalimat syahadat dan aku menangis sejadi-jadinya karena gembira telah mendapat hidayah dari Allah SWT.

Kemudian aku tinggal bersamanya untuk mempelajari Islam dan aku pergi bersama mereka untuk melakukan safari dakwah dalam waktu beberapa lama. Mereka mengunjungi semua tempat, mengajak manusia kepada agama Islam. Aku sangat gembira ikut bersama mereka. Aku dapat belajar shalat, puasa, tahajjud, doa, kejujuran dan amanah dari mereka. Aku juga belajar dari mereka bahwa seorang muslim diperintahkan untuk menyampaikan agama Allah dan bagaimana menjadi seorang muslim yang mengajak kepada jalan Allah serta berdakwah dengan hikmah, sabar, tenang, rela berkorban dan berwajah ceria.

Setelah beberapa bulan kemudian, aku kembali ke kotaku. Ternyata keluarga dan teman-temanku sedang mencari-cariku. Namun ketika melihat aku kembali memakai pakaian Islami, mereka mengingkarinya dan Dewan Gereja meminta kepadaku agar diadakan sidang darurat. Pada pertemuan itu mereka mencelaku karena aku telah meninggalkan agama keluarga dan nenek moyang kami. Mereka berkata kepadaku, “Sungguh kamu telah tersesat dan tertipu dengan agama orang Arab.” Aku katakan, “Tidak ada seorang pun yang telah menipu dan menyesatkanku. Sesungguhnya Rasulullah Muhammad SAW datang kepadaku dalam mimpi untuk menunjukkan kebenaran dan agama yang benar yaitu agama Islam. Bukan agama orang Arab sebagaimana yang kalian katakan. Aku mengajak kalian kepada jalan yang benar dan memeluk Islam.” Mereka semua terdiam.

Kemudian mereka mencoba cara lain, yaitu membujukku dengan memberikan harta, kekuasaan dan pangkat. Mereka berkata, “Sesungguhnya Vatikan me-mintamu untuk tinggal bersama mereka selama enam bulan untuk menyerahkan uang panjar pembelian rumah dan mobil baru untukmu serta memberimu kenaikan gaji dan pangkat tertinggi di gereja.”

Semua tawaran tersebut aku tolak dan aku katakan kepada mereka, “Apakah kalian akan menyesatkanku setelah Allah memberiku hidayah? Demi Allah aku takkan pernah melakukannya walaupun kalian memenggal leherku.” Kemudian aku menasehati mereka dan kembali mengajak mereka ke agama Islam. Maka masuk Islamlah dua orang dari kalangan pendeta.

Alhamdulillah, Setelah melihat tekadku tersebut, mereka menarik semua derajat dan pangkatku. Aku merasa senang dengan itu semua, bahkan tadinya aku ingin agar penarikan itu segera dilakukan. Kemudian aku mengembalikan semua harta dan tugasku kepada mereka dan akupun pergi meninggalkan mereka,” Sily mengakhiri kisahnya.

Kisah masuk Islam Ibrahim Sily yang ia ceritakan sendiri kepadaku di kantorku, disaksikan oleh Abdul Khaliq sekretaris kantor Rabithah Afrika dan dua orang lainnya. Pendeta sily sekarang dipanggil dengan Da’i Ibrahim Sily berasal dari kabilah Kuza Afrika Selatan. Aku mengundang pendeta Ibrahim -maaf- Da’i Ibrahim Sily makan siang di rumahku dan aku laksanakan apa yang diwajibkan dalam agamaku yaitu memuliakannya, kemudian ia pun pamit. Setelah pertemuan itu aku pergi ke Makkah al-Mukarramah untuk melaksanakan suatu tugas. Waktu itu kami sudah mendekati persiapan seminar Ilmu Syar’i I yang akan diadakan di kota Cape Town. Lalu aku kembali ke Afrika Selatan tepatnya ke kota Cape Town.

Ketika aku berada di kantor yang telah disiapkan untuk kami di Ma’had Arqam, Dai Ibrahim Sily mendatangiku. Aku langsung mengenalnya dan aku ucapkan salam untuknya dan bertanya, “Apa yang kamu lakukan disini wahai Ibrahim.?” Ia menjawab, “Aku sedang mengunjungi tempat-tempat di Afrika Selatan untuk berdakwah kepada Allah. Aku ingin mengeluarkan masyarakat negeriku dari api neraka, mengeluarkan mereka dari jalan yang gelap ke jalan yang terang dengan memasukkan mereka ke dalam agama Islam.”

Setelah Ibrahim selesai mengisahkan kepada kami bahwa perhatiannya sekarang hanya tertumpah untuk dakwah kepada agama Allah, ia meninggalkan kami menuju suatu daerah… medan dakwah yang penuh dengan pengorbanan di jalan Allah. Aku perhatikan wajahnya berubah dan pakaiannya bersinar. Aku heran ia tidak meminta bantuan dan tidak menjulurkan tangannya meminta sumbangan. Aku merasakan ada yang mengalir di pipiku yang membangkitkan perasaan aneh. Perasaan ini seakan-akan berbicara kepadaku, “Kalian manusia yang mempermainkan dakwah, ti-dakkah kalian perhatikan para mujahid di jalan Allah!”

Benar wahai sudaraku. Kami telah tertinggal… kami berjalan lamban… kami telah tertipu dengan kehidupan dunia, sementara orang-orang yang seperti Da’i Ibrahim Sily, Da’i berbangsa Spanyol Ahmad Sa’id berkorban, berjihad dan bertempur demi menyampaikan agama ini. Ya Rabb rahmatilah kami. (alsofwah)

(SUMBER: SERIAL KISAH TELADAN karya Muhammad Shalih al-Qaththani, seperti yang dinukilnya dari tulisan Dr. Abdul Aziz Ahmad Sarhan, Dekan fakultas Tarbiyah di Makkah al-Mukarramah, dengan sedikit perubahan. PENERBIT DARUL HAQ, TELP.021-4701616)

www.alsofwah.or.id