Monday, May 30, 2011

Fotografer Asal Swedia, Jalan Panjang Berliku Menuju Islam

Sebelum mengenal Islam, Karlsson adalah seorang lelaki biasa yang tidak religius sama sekali. Ia mengaku sebagai tipikal orang yang materialistis. Tak pernah sedikit terlintas dalam pikirannya tentang keberadaan Tuhan.

"Saya menjalani kehidupan selama 25 tahun tanpa pernah benar-benar memikirkan tentang eksistensi Tuhan, atau hal-hal yang berkaitan dengan spiritual," ujar lelaki asal Swedia itu.

Tapi ia masih ingat kenangan masa kecilnya, saat masih duduk di kelas 7, pernah menulis cerita tentang akan seperti apa masa depan yang ingin dijalaninya kelak. Karlsson menggambarkan dirinya kelak sebagai seorang progammer komputer yang sukses--padahal saat itu ia tidak pernah menyentuh komputer--dan hidup dengan seorang istri yang muslim.

"Waktu itu, kata 'Muslim' buat saya adalah perempuan yang mengenakan baju panjang, longgar dan memakai jilbab. Tapi saya tidak tahu dari mana pikiran semacam itu datang dan melintas di kepala saya," ujarnya mengenang impian masa kecilnya.

Waktu berjalan. Karlsson menyelesaikan kuliahnya dan mulai bekerja. Ia sudah punya penghasilan sendiri dan pidah ke apartemen yang dibelinya. Kala itu, ia mulai menekuni minatnya pada dunia fotografi amatir dan aktif dalam kegiatan-kegiatan fotografi.

Karlsson mengaku tidak tahu persis bagaimana ceritanya sampai ia kemudian mengenal Islam. Menurutnya, semua terjadi begitu saja tanpa ia rencanakan. "Banyak hal yang saya sendiri tidak bisa menjelaskan, apa yang saya lakukan, dan mengapa saya melakukannya," ungkap Karlsson.

Ia melanjutkan, "Saya tidak bisa mengingatnya, mengapa saya menelpon Organisasi Informasi Islam di Swedia dan minta didata untuk berlangganan buletin yang mereka terbitkan, mengapa lalu saya membeli Al-Quran terjemahan dan membeli sebuah buku yang sangat bagus berjudul 'Islam: Our Faith'. Saya melakukannya begitu saja."

Setelah membaca seluruh terjemahan Al-Quran, Karlsson mengakui isi Al-Quran sangat indah dan logis. Tapi ia belum merasakan kehadiran Tuhan dalam hatinya.

Akhirnya Mengakui Tuhan

Setahun kemudian, ketika Karlsson berkunjung ke sebuah pulau cantik bernama Pretty Island, ia merasakan sesuatu yang sangat luar biasa dalam hatinya, saat memotret pemandangan musim gugur di pulau itu.

"Saya merasakan sebuah perasaan yang fantastis. Saya merasa seolah-olah saya kecil sekali di sesuatu yang sangat besar, alam semesta kepunyaan Allah ... Luar Biasa. Saya merasa betul-betul rileks dan bersemangat. Tiba-tiba saja saya merasakan kehadiran Tuhan kemanapun mata saya memandang. Saya belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya," kenang Karlsson.

Kenangan akan keindahan di pulau itu terus melekat hingga ia kembali ke rumah. Karlsson belum tergerak untuk mengenal Tuhan lebih delat. Suatu hari, sepulang kerja, Karlsson naik bis dan ia melihat sebagian besar penumpang bis tertidur. Sepanjang perjalanan, Karlsson menikmati pemandangan matahari terbenam yang indah, gumpalan awan yang menebar warna merah muda dan oranye menyatu, menghadirkan sebuah lukisan yang membuat terpana siapa pun yang melihatnya.

"Selama beberapa menit saya merasakan kedamaian yang total dan sebuah pemahaman bahwa semua ini adalah hasil karya Tuhan. Saya sangat merindukan momen seperti ini terjadi lagi," ujar Karlsson.

Harapannya terwujud. Suatu bangun tidur di suatu pagi, ia merasakan pikirannya jernih sekali dan yang pertama melintas dalam pikirannya adalah bagaimana bersyukur pada Tuhan, bahwa Tuhan telah membangunkannya setiap pagi, memberikan harapan. "Rasanya alamiah saja, seolah saya sudah terbiasa melakukannya sepanjang hidup saya," ungkap Karlsson.

Sejak mengalami hal itu, Karlsson tidak lagi membantah keberadaan Tuhan. Sebagai orang yang selama 25 tahun menolak keberadaan Tuhan, ia mengakui, perubahan itu bukan perkara gampang baginya. Tapi setelah itu, Karlsson merasakan berbagai hal-hal yang luar biasa dialaminya. Ketika tinggal di AS untuk beberapa lama, Karlsson pun mulai berdoa, mulai belajar untuk fokus pada Tuhan dan mendengarkan apa kata hatinya. Puncaknya terjadi pada suatu akhir pekan yang indah di New York.

Nekad ke Masjid dan Bersyahadat

Karlsson datang ke sebuah masjid di New York dan berkenalan dengan beberapa muslim di masjid itu. Kekutan dan rasa khawatir yang ia rasakan sebelumnya saat akan masuk masjid, seketika sirna. Pengurus masjid memberinya bahan bacaan tentang Islam. Karlsson juga berkunjung ke rumah teman-teman muslim barunya, dan banyak berdiskusi dengan mereka.

"Apa yang mereka katakan, dan jawaban yang mereka berikan, semua masuk akal. Islam menjadi bagian penting dalam hidup saya. Saya pun mulai belajar salat dan mengikuti salat Jumat pertama saya ..."

"Saya menyelinap, duduk di barisan paling belakang. Saya tidak paham apa yang diucapkan imam, tapi saya menikmati khutbahnya. Setelah khutbah selesai, kami semua membuat barisan dan melaksanakan salat dua rakaat. Itulah salah satu pengalaman paling luar biasa yang saya pernah saya rasakan dalam perjalanan saya menuju Islam. Saya melihat sekitar 200 jamaah laki-laki, berserah diri sepenuhnya hanya pada satu Tuhan, memuji Tuhan, sungguh mengagumkan," tutur Karlsson yang saat itu belum juga memutuskan masuk Islam.

Suatu ketika, ia membaca buku berjudul “Twelve Hours” kisah seorang perempuan Inggris yang masuk Islam. Buku itulah yang benar-benar membawa perubahan bagi dirinya. Ia menangis saat membacanya, dan ia merasa bahwa ia tidak mau menengok ke belakang lagi, dan tidak akan menahan lagi keinginannya untuk memeluk Islam.

Liburan musim panas, Karlsson membulatkan tekadnya untuk menjadi seorang muslim. Hari pertama musim panas, udara masih terasa dingin. Karlsson mengurungkan niatnya untuk ke masjid dan menundanya sampai kondisi mulai menghangat.

Suatu pagi, langit nampak kelabu. Angin dingin berhembus, menembus jendela kamar tidur Karlsson, seakan membawa pesan untuknya, bahwa saatnya telah tiba dan ia tidak bisa menundanya terus. Karlsson beranjak dari tempat tidurnya, mandi, mengenakan pakaian bersih, menyambar kunci mobilnya dan mengarahkan kendaraannya ke masjid.

Di masjid, ia mendekati beberapa orang yang sedang berkumpul dan mengatakan niatnya untuk masuk Islam. Dan seusai salat Zuhur, seorang imam menuntunnya mengucapkan dua kalimat syahadat, disaksikan para pengunjung masjid. Setelah bersyahadat, ia diberi nama islami "Ibrahim".

"Alhamdulillah. Hati saya betul-betul lega. Apalagi keluarga dan semua teman menerima keislaman saya. Tentu saja mereka tidak bisa memahami semua yang lakukan setelah menjadi seorang muslim, seperti salat lima waktu, tidak makan daging babi, mereka pikir saya mempraktekkan sebuah tradisi yang asing, yang akan lenyap termakan zaman. Tapi saya akan membuktikan bahwa perkiraan mereka salah. Insya Allah," tandas Ibrahim Karlsson. (ln/PI)

Friday, May 27, 2011

Yahya Schroder: Rela Meninggalkan Kenikmatan Hidup, Demi Masuk Islam

Bulan November tahun 2006, menjadi bulan bersejarah bagi remaja Jerman itu. Karena pada saat itu ia yang masih berusia 17 tahun mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang Muslim. Ia memilih Yahya, sebagi nama Islamnya dan sejak itu remaja Jerman yang kini tinggal di Postdam, dikenal dengan nama Yahya Schroder.

Yahya hidup berkecukupan dengan ibu dan ayah tirinya di sebuah desa kecil di Jerman. Ia tinggal di rumah yang besar lengkap dengan kolam renang yang luas. Di kamarnya ada tv dan play station dan Yahya tidak pernah kesulitan dalam masalah uang. Seperti remaja lainnya, Yahya sering pergi bergerombol bersama teman-temannya, minum alkohol atau melakukan hal-hal yang konyol.

Tapi semua kenikmatan dunia itu harus ia tinggalkan ketika ia memutuskan masuk Islam. Setelah menjadi seorang mualaf, Yahya memilih tinggal dekat ayahnya yang sudah lebih dulu masuk Islam, di Postdam dekat kota Berlin. Yahya mengaku tidak merasa bahagia meski saat masih ikut ibu dan ayah tirinya yang kaya, hidupnya serba enak. "Saya mencari sesuatu yang lain," ujarnya.

Yahya mengenal komunitas Muslim di Postdam ketika ia berusia 16 tahun, lewat ayah kandungnya yang lebih dulu masuk Islam pada tahun 2001. Ketika itu, ia biasa mengunjungi ayah kandungnya sebulan sekali dan sering ikut sang ayah menghadiri pertemuan-pertemuan dengan komunitas Muslim yang diselenggarakan setiap hari Minggu.

Yahya merasa tertarik dengan Islam dan ayahnya memperhatikan hal itu. Hingga suatu hari sang ayah mengatakan tidak mau membahas soal Islam ketika mereka sedang berdua saja. Ayah Yahya menginginkan puteranya itu belajar dari orang-orang yang ilmunya tentang Islam lebih tinggi agar jika Yahya masuk Islam tidak dipandang cuma ikut-ikutan apa yang telah dilakukan ayahnya.

"Saya setuju dengan ayah dan saya mulai menghadiri pertemuan-pertemuan itu sendiri, setiap bulan. Tapi saat itu terjadi sesuatu hal yang mengubah cara berpikir saya," ujar Yahya.

Yahya bercerita, ia mengalami kecelakaan saat pergi berenang bersama komunitas Muslim. Ketika ia melompat ke kolam renang dari ketinggian, kepalanya membentur dasar kolam renang dan tulang punggungnya patah. Ayahnya membawa Yahya ke rumah sakit dan dokter di rumah sakit itu mengatakan hal yang membuat gentar hatinya.

"Punggungmu mengalami patah tulang yang parah, satu satu saja gerakan yang salah, bisa membuatmu lumpuh," kata dokter.

Yahya harus menjalani operasi. Beberapa saat sebelum masuk ruang operasi, teman Yahya di komunitas Muslim bernama Ahmir memberinya semangat, "Yahya, sekarang engkau berada di tangan Allah. Ini seperti naik rollercoaster. Sekarang engkau sedang berada dalam puncak kenikmatan naik sebuah rollercoaster dan percayalah pada Allah."

Operasi berlangsung selama lima jam dan Yahya baru siuman tiga hari kemudian. "Saya tidak bisa menggerakan tangan kanan saya, tapi saya merasa sangat bahagia. Saya bilang ke dokter bahwa saya tidak peduli dengan tangan kanan saya. Saya sudah sangat bahagia Allah telah membiarkan saya tetap hidup," tutur Yahya. Dokter mengatakan Yahya harus dirawat di rumah sakit dalam beberapa bulan. Tapi Yahya cuma dua minggu di rumah sakit, karena ia berlatih dengan keras. Yahya bahkan sudah bisa naik turun tangga dua hari sebelum seorang dokter datang dan mengatakan bahwa hari itu ia akan berlatih naik tangga.

"Alhamdulillah saya cuma dua minggu di rumah sakit. Sekarang saya sudah bisa menggerakan tangan kanan saya. Kecelakaan itu telah banyak mengubah kepribadian saya," aku Yahya.

"Saya merasakan, ketika Allah menginginkan sesuatu terjadi, hidup seseorang berubah total dalam hitungan detik. Oleh sebab itu, saya lebih menghargai kehidupan dan mulai berpikir tentang kehidupan saya dan Islam, tapi saat itu saya masih tinggal di sebuah desa kecil," kisah Yahya.

Keinginan Yahya untuk menjadi seorang Muslim makin kuat, sehingga ia berani memutuskan untuk meninggalkan keluarganya di desa itu. Yahya menuturkan, "Saya meninggalkan ibu dan ayah tiri saya, meninggalkan gaya hidup saya yang mewah dan pergi ke Postdam, tinggal di apartemen kecil ayah kandung saya. Saya tak keberatan harus menempati sebuah dapur kecil, karena saya cuma membawa sedikit pakaian, buku-buku sekolah dan beberapa CD."

"Kedengarannya saya kehilangan segalanya, tapi saya merasa bahagia, sebahagia ketika saya siuman di rumah sakit setelah kecelakaan buruk itu," ujar Yahya.

Diejek Teman Sekolah

Sehari setelah hari pertamanya masuk sekolah di Postdam, Yahya mengucapkan dua kalimat syahadat. Yahya pun menjalani kehidupan barunya sebagai seorang Muslim, meski di sekolah banyak yang mengejeknyakarena menjadi seorang Muslim. Beberapa orang menganggapnya "gila" bahkan tidak percaya kalau dirinya orang Jerman asli.

"Saya melihatnya sebagai hal yang biasa karena informasi yang mereka baca di media tentang Islam dan Muslim. Media massa menulis tentang Islam yang disebut teroris, Usamah bin ladin, Muslim yang jahat, dan sebagainya," tukas Yahya.

Sepuluh bulan berlalu dan situasi mulai berubah. Yahya aktif berdakwah pada teman-teman sekelasnya dan ia mendapatkan sebuah ruangan untuk salat, padahal cuma dia satu-satunya siswa Muslim di sekolahnya.

"Teman-teman sekelas berubah, yang dulunya menggoda saya karena masuk Islam, sekarang banyak bertanya tentang Islam dan mereka mengakui Islam tidak sama dengan agama-agama lainnya. Menurut mereka, Islam itu keren!" kata Yahya menirukan pendapat teman-temannya.

Yahya mengungkapkan, teman-teman sekolahnya menilai Muslim memiliki adab yang baik dalam berinteraksi dengan sesama manusia, bebas dari tekanan teman sekelompok seperti yang terjadi di sekolah mereka. Saat itu siswa-siswi di sekolah Yahya cenderung berkelompok atau membentuk genk, mulai dari genk hip hop, punk sampai kelompok genk siswa yang hobinya berpesta. Setiap siswa berusaha keras untuk diterima menjadi anggota genk itu.

Tapi Yahya, ia bisa berteman dengan siapa saja. "Saya tidak perlu mengenakan pakaian khusus agar terlihat keren. Yang terjadi malah, genk-genk itu sering mengundang saya dan teman-teman Muslim saya ke pesta-pesat barbeque mereka," tandasnya.

"Yang istimewa dari semua ini adalah, mereka menghormati saya sebagai seorang Muslim. Mereka membelikan makanan halal buat saya dan mereka menggelar dua pesta barbeque, satu untuk mereka dan satu untuk kami yang Muslim. Masyarakat disini sudah mulai terbuka dengan Islam," sambung Yahya mengenang masa-masa sekolahnya.

Yahya menambahkan, ia merasa lebih mudah menjadi seorang mualaf daripada menjadi seorang yang memang sudah Muslim sejak lahir. Ia banyak melihat banyak anak-anak muda Muslim yang ingin menjadi orang Jerman dan melihat Islam hanya sebagai tradisi. Anak-anak muda itu, kata Yahya, bersedia melepas 'tradisi' keislamannya supaya bisa diterima di tengah masyarakat Jerman.

"Meskipun faktanya, orang-orang Jerman tetap tidak mau menerima mereka meski mereka melepas agama Islamnya," ujar Yahya.

Ia mengakui, kehidupan seorang Muslim di Jerman tidak mudah karena mayoritas masyarakat Jerman buta tentang Islam. "Kalau mereka ditanya tentang Islam, mereka akan mengatakan sesuatu tentang Arab. Buat mereka, pertanyaan itu seperti soal matematika, Islam=Arab". Padahal negara ini memiliki bangsa yang besar," tukas Yahya. (ln/readislam)

Tuesday, May 17, 2011

mahasiswa asal Iowa AS dapat Hidayah saat Berwisata di Spanyol

Hidayah memang bisa datang dari arah yang tak terduga. Bagi Karima Burns, mahasiswa asal Iowa, Amerika Serikat, hidayah justru datang saat ia tengah berwisata ke Spanyol.

Pemandu wisatanya mengajaknya ke Masjid Alhambra di Granada, Spanyol. Melihat banyak ejaan Arab bertebaran di bangunan yang kini menjadi salah satu daya tarik wisata panyol ini, ia tertegun. "Itu adalah bahasa yang paling indah yang pernah kulihat," ujarnya.

"Bahasa apa itu?" ia berkata seorang turis Spanyol. "Bahasa Arab," jawab mereka.

Hari berikutnya, ketika petugas tur ditanya tentang bahasa apa yang dia ingin di buku turnya, ia menjawab, "Arab."

"Arab?" katanya, terkejut. "Apakah Anda bisa berbicara bahasa Arab?"

"Tidak," Karima menjawab. "Dapatkah Anda memberi saya satu dalam bahasa Inggris juga?"

Pada akhir perjalanan, tasnya penuh brosur berbahasa Arab. "Aku memperlakukannya seolah-olah mereka terbuat dari emas. Aku akan membukanya setiap malam dan melihat huruf-huruf yang mengalir di seluruh halaman," ujarnya.

Hari itu dia bertekad, akan belajar bahasa Arab.

***

Karima dibesarkan di Midwest. Orang tuanya penganut agama yang taat. Namun Karima selalu bertanya-tanya, mengapa berdoa pada Tuhan harus melalui perantara? "Aku intuitif merasa bahwa ada sesuatu yang salah dengan itu. Tanpa memberitahu siapa pun, aku diam-diam berdoa kepada "Tuhan." Saya sungguh-sungguh percaya bahwa hanya ada satu entitas berdoa. Tapi, aku merasa bersalah karena ini bukan apa yang telah agama lama saya ajarkan."

Suatu hari, acara bersilaturahim ke rumah guru rohaninya semakin membulatkan tekad untuk meninggalkan agama itu. "Aku melihat rak penuh dengan Alkitab. Aku bertanya apa saja kitab itu. "Versi berbeda dari Alkitab," jawab guruku. Ini tampaknya tidak terganggu dia sama sekali bahwa ada begitu banyak versi yang berbeda. Tapi, itu menggangguku. Beberapa dari mereka benar-benar berbeda dan beberapa bab bahkan hilang dari Alkitab yang aku punya. Aku sungguh bingung," ujarnya.

***

Muslim gugur usai, Karima kembali ke kampusnya di Northwestern University. Liburan ke Spanyol, sungguh mencerahkannya.

Ia seolah menemukan alternatif dari kebuntuannya. "Aku telah meninggalkan gereja hanya beberapa bulan sebelum pergi berlibur dan tidak tahu ke mana harus berpaling. Aku tahu bahwa aku tidak nyaman dengan apa yang apa yang diajarkan selama ini, tapi aku tidak tahu apakah ada alternatif lain," katanya.

Kembali ke kampus, ia mengambil kelas bahasa Arab juga. "Aku ingat, aku adalah salah satu dari hanya tiga orang di kelas yang sangat tidak populer itu," ujarnya terkekeh.

Ia menenggelamkan diri dalam studi bahasa Arab dengan gairah yang menyala. Ia senang mengerjakan PR kaligrafi dan ia pergi ke daerah-daerah Arab di Chicago hanya untuk melacak botol Coca Cola yang ditulis dalam bahasa itu.

Hingga suatu hari, ia berkenalan dengan Alquran. Salah satu tugasnya, adalah menyalin beberapa ayat. Bukannya mengerjakan, dia malah asyik berselancar dari satu ayat ke ayat lainnya. "Sungguh indah. Itu yang aku cari selama ini, agama yang menyatakan sangat jelas bahwa hanya ada satu Allah," ujarnya.

Sebuah nama dalam Alquran diyakini sebagai "pemilik versi" Alquran, seperti halnya ada Injil dengan beragam versi. Namun ketika ia mengungkapkan para profesornya, sang profesor terkekeh.

"Hanya ada satu versi Alquran. Yang kau pikir, itu adalah penerjemahnya," ia menirukan sang profesor.

Ia makin mendalami Alquran, bahkan kemudian memutuskan untuk pergi ke Mesir belajar Islam.

Suatu hari seorang teman bertanya mengapa ia tidak masuk Islam jika menyukainya begitu banyak. "Hatiku sudah Muslim," ia menjawab sekenanya.

Namun sang teman menyatakan, bersyahadat tetap harus. Maka, di sebuah masjid di Mesir, ia menyatakan keislamannya.[republika]

Friday, May 13, 2011

Perjalanan Rohani David Saphiro Yahudi Rusia yang akhirnya memilih Islam

Secara etnis, Michael David Saphiro adalah keturunan Yahudi Rusia. Perjalanannya mencari Tuhan sudah dimulai sejak ia berusia 19 tahun. Ia mengaku pada masa itu ia membatasi dirinya dengan logika Sains. "Ya, saya dicuci otak dengan itu," ungkapnya.

Keyakinan Saphiro terhadap Tuhan tidak pasti. Tujuan hidupnya saat itu ialah menjadi bintang rock terkenal. "Saya tinggal di sebuah apartemen di Pasadena dan bekerja sebagai sekretaris. Memang menggelikan saya tahu," tuturnya.

Suatu malam ia pergi ke dapur dan berpapasan dengan temannya berkulit hitam. "Saya masih ingat bertanya padanya, 'Bisakah saya simpan vodka ini dalam kulkas malam ini?'. Kami berjabat tangan kemudian pergi tidur. Tapi justru setelah itu hidup saya berubah drastis," kata Saphiro.

Si teman kulit hitam tadi, seorang Muslim, adalah Muslim pertama yang pernah dikenal Saphiro. Didorong rasa ingin tahu luar biasa, Saphiro mengajak si teman mengobrol tentang keyakinannya. "Saya penasaran, apa itu, saya dengar tentang beribadah 5 kali sehari, juga tentang perang suci. Siapakah itu lelaki yang bernama Muhammad?" tuturnya.

Saat mengobrol ia ditemani oleh teman sekamarnya, penganut Kristiani, Wade. "Bertiga kami melakukan sesi dialog antara Yahudi, Kristen dan Muslim. Dalam obrolan itu kami menemukan banyak perbedaan sekaligus banyak persamaan," kata Saphiro.

Ketertarikan Shaphiro bergeser, yang semua berkutat seputar seks, obat-obatan dan pesta, ke pencarian serius terhadap kebenaran. Sebuah pencarianya yang menurut dia harus diselesaikan menyeluruh. "Ini pencarian terhadap Tuhan dan pencarian bagaimana untuk mengikuti-Nya," ungkap Saphiro.

Dalam perncarian itu Shapiro bertanya pada dirinya, "Oke mulai dari yang sederhana, beberapa Tuhan yang kamu pikir ada di luar sana?". Saat itu ia meyakini hanya satu.

"Tuhan yang lebih dari satu, terbagi-bagi tentu lebih lemah dari pada hanya satu Tuhan. Saya berpikir, bagaimana bila satu Tuhan tidak sepakat dengan Tuhan lain, pasti ada argumen dan pertikaian. Maka, satu tuhan adalah pilihan sadar saya," imbuhnya.

Begitu ia membuka pikiran terhadap kemungkinan keberadaan Tuhan ia mulai menganalisa berbagai macam keyakinan, mulai atheis hingga theisme. "Sesuatu yang mengarahkan saya kepada pilihan kedua adalah sebuah kutipan, 'Setiap desain memiliki desainer. Dengan kalimat itu dalam benak, akhirnya saya selalu bangun dan sadar bahwa Tuhan ada. Saya tidak dapat menjelaskan mengapa. Saya hanya merasa seperti itu."

Penemuan baru itu menimbulkan kegairah dalam diri Saphiro. Saat itu pula ia mengaku muncul rasa tanggung jawab untuk mengikuti kehendak Sang Pencipta. "Langkah berikut saya adalah memasuki dunia agama," ungkapnya.

Kembali Saphiro menanyai dirinya sendiri. "Di mana saya harus memulai. Kenyataannya ada ribuan di luar saya. Saya mesti mengeliminasi dan menyempitkan kepada sedikit pilihan," tuturnya. Awalnya ia pun bertanya bagaimana melakukan hal itu.

"Saat itu ada pemahaman yang masuk dalam benak saya, 'temukan agama yang bersifat monotheis'. Saya pikir, bukankah itu masuk akal karena saya percaya hanya ada satu Tuhan."

Ia pun melewati Budhaisme dan Hinduisme karena ia menganggap keyakinan tersebut politeisme. Sementara agama utama yang saat itu ia pandang memiliki pandangan Monotheis adalah Yahudi, Kristen dan Islam. "Karena saya keturunan Yahudi, saya pun memulai dengan Yudaisme. Satu Tuhan, nabi yang sama, 10 perintah, Taurat dan jiwa Yahudi.

Saat melakukan pendalaman ada gagasan dalam Yudaisme yang mengganggunya. Gagasan itu berbunyi 'Jika seseorang terlahir sebagai Yahudi, maka ia memiliki jiwa Yahudi dan mereka harus mengikuti Yudaisme. "Tunggu dulu, di bagian itu saya merasa itu ide diskriminasi. Bukan sesuatu yang universal,"

"Jadi apakah benar Tuhan membuat jiwa Yahudi, jiwa Kristen, jiwa Hindu atau jiwa Hindu? Saya pikir semua orang diciptakan sederajat. Jadi apakah karena seseorang terlahir dalam agama itu berarti derajat Tuhan tetap di sana meski si penganut melakukan kesalahan. Saya tidak sepakat dengan itu," tutur Saphiro.

Satu lagi yang mengganggu Saphiro adalah tidak ada konsep ketat mengenai neraka dalam Yudaisme. "Mengapa harus baik? mengapa itu bukan dosa? Saya tidak punya rasa takut terhadap hukuman, lalu mengapa saya harus menjaga moral?"

Usai mendalami Yudaisme, ia menuju pemahaman Kristen. Lagi-lagi ia terganggu dengan konsep trinitas, satu tuhan, satu bapa, satu anak dan ruh kudus. "Aduh tolong jelaskan bagaimana semua ini bisa menjadi satu Tuhan. Jadi bagaimana anda dapat meyakini hanya satu Tuhan bila yang ada pembagian seperti ini,"

Penjelasan demi penjelasan, pertanyaan demi pertanyaan, perbandingan demi perbandingan, analogi dan sebagainya tak mampu membuat Saphiro memahami konsep trinitas.

Hingga ia pun memasuki perjalanan berikut, mengkaji Islam. Islam berarti penyerahan diri. Keyakinan utama yang dipahami Saphiro dalam Islam adalah satu Tuhan, beribadah kepda Tuhan lima kali sehari, mewajibkan memberi 2,5 persen dari harta setiap tahun sebagai zakat, berpuasa saat Ramadhan--demi membuat seseorang lebih dekat kepada Tuhan dan menghargai sesama manusia dan kelima melakukan perjalanan ke Mekkah untuk menunaikan haji bagi yang mampu.

Sejauh itu Saphiro tidak menemukan sesuatu yang sulit untuk dipahami. "Tidak ada sesuatu yang bertentangan dengan logika saya di sini," ungkapnya.

Al Quran, sejauh yang ia tahu saat itu adalah kitab dengan kebijakan tanpa batasan waktu dan kisah-kisah penuh keajaiban yang menarik. "Banyak fakta ilmiah yang baru terungkap saat ini telah dinyatakan 1400 tahun sebelumnya dalam buku ini," ujarnya.

"Saat itu Islam telah melewati pertanyaan awal saya tentang agama satu tuhan. Namun saya ingin tahu lebih lanjut apakah agama ini universal? Apakah ia sejalan dengan sains? Saya menemukan banyak ayat di Al Qur'an yang berada di satu koridor dengan ilmu pengetahuan dan teknologi," tutur Saphiro.

Semakin banyak Saphiro menemukan fakta-fata yang ia nilai logis saat mengkaji agama tersebut, ada satu hal yang mulai sangat menarik perhatiannya yakni nama "Islam" itu sendiri. "Ini nama dari agama ini, saya menemukan ia ditulis berulang kali dalam Al Qur'an".

Ia pun mengingat riset yang ia lakukan sebelumnya. "Saya tidak mengingat satu pun kata 'Yudaisme' dalam perjanjian lama atau 'Kristiani' dalam Perjanjian Baru. Ini adalah hal besar," ujarnya.

Ia menyadari mengapa tak bisa menemukan nama sebenarnya agama tersebut di dalam kedua kitab tadi, karena memang tidak ada nama dalam kitab-kitab tersebut. Ia pun memahami Yudaisme merupkan bentukan kata Yuda-isme dan Kristiani tentu berasal dari "Kristus dan pengikutnya"

"Jadi inikah Yuda? atau Judah?" tanya Saphiro pada diriny. Nama itu sejauh yang diketahui Saphiro adalah pemimpin suku Hebrews ketika Tuhan menurunkan firmannya kepada manusia. "Jadi apa mungkin agama dinamai nama orang?" ujarnya.

Begitu pula ketika ia berpikir tentang Kristiani, yang berasal dari nama Yesus Kristus. "Apa mungkin kita dapat mendeduksi nama agama dari orang-orang dengan melekatkan isme dan -anity," ungkap Saphiro. Terlebih lagi nama-nama tersebut tidak diungkap dalam kitab mereka, inilah yang membuat ia berpikir itu sangat aneh.

"Coba jika saya berjualan dan saya berkata "Apakah kamu mau membeli ini_______? Tentu orang akan bertanya, Apa ini_____namanya? Tentu saya tidak akan bisa menjual sebuah barang tanpa sebuah nama,"

Saat itu Saphiro meyakini nama adalah hal mendasar di mana manusia bisa mengidentifikasi objek, baik fisik maupun non fisik. "Jika agama harus dipraktekan dan disebarkan kepada setiap manusia di muka bumi, bukankah seharusnya ia memiliki nama?

Ia juga menekankan, nama itu seharusnya diberikan langsung oleh Tuhan, bukan bentukan manusia. "Ya itulah maksud saya. Nama Kristiani dan Yudaisme tidak tertulis dalam kitab suci mereka. Manusia yang menamainya, bukan Tuhan," kata Saphiro menyimpulkan.

"Gagasan bahwa Tuhan menghendaki sebuah agama diikuti oleh manusia tanpa memberi nama, sangat mustahil bagi otak saya untuk menerima," ujarnya. "Di titik itu, baik Kristen dan Yahudi kehilangan kredibilitas murni dalam logika dan agama sepenuhnya, setidaknya itu dalam prespektif saya," papar Saphiro.

Ia menemukan Islam adalah satu-satunya agama yang mengusung nama asli agama dalam kitab sucinya. "Itu bermakna besar bagi saya," ungkap Saphiro. "Saya menyadari saya akan mengikuti Islam, lalu saya pun menjadi Muslim. Saya menemukan kebenaran dan saya merasa keluar dari kegelapan menuju cahaya."[Republika]

Wednesday, May 11, 2011

Roxanne Uddin, Salah Satu Perempuan Inggris yang memilih Islam

Pada tahun 2010, Swansea University di Inggris merilis hasil studinya yang menunjukkan indikasi makin meningkatnya jumlah orang Inggris kulit putih yang masuk Islam.

Studi yang dilakukan atas kerjasama dengan organisasi Faith Matters itu, menggunakan hasil sensus tentang orang-orang Skotlandia yang masuk Islam sejak tahun 2001. Dari data tersebut diketahui, jumlah orang Inggris yang menjadi mualaf sekitar 5.200 orang dan hampir setengahnya adalah kaum perempuan dari kalangan kulit putih.

Salah satu perempuan Inggris yang masuk Islam adalah Roxanne Uddin. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat pada tahun 2007 di sebuah masjid di East London karena akan menikah dengan kekasihnya, Ali.

Roxane dan Ali bertemu di perguruan tinggi tempat mereka kuliah. Roxane mengakui hidupnya berubah menjadi lebih baik setelah masuk Islam dan menikah dengan lelaki muslim.

"Saya melakukan banyak hal yang buruk di masa lalu, saya memutuskan masuk Islam, lalu saya dan kekasih saya memutuskan untuk menikah. Islam dan pernikahan mengubah hidup saya, dan menjadikan hidup saya lebih baik, buat saya dan keluarga saya," ungkap Roxane.

"Saya jadi berhenti minum minuman keras dan berhenti merokok, tapi saya tidak punya banyak teman yang dulu sudah merampas kepribadian saya, Saya berasal dari latar belakang pergaulan yang kurang baik. Saya kabur dari rumah pada usia 15 tahun dan saya terpaksa lebih cepat dewasa ..."

"Waktu itu, saya tidak punya banyak teman yang baik. Kegiatan saya cuma kuliah, keluyuran dan perlaku saya sungguh buruk," tuturnya.

Roxane mengatakan bahwa suaminya tidak memaksanya untuk pindah agama tapi dirinya sendiri yang merasa tertarik dengan Islam setelah melihat Ali salat dan mendengarnya membaca Al-Quran. Rasa ingin tahu Roxane muncul dan membuatnya ingin lebih jauh mengenal Islam.

Setelah masuk Islam pada tahun 2007, Roxane memberitahu keluarganya tentang keislamannya. Awalnya, keluarga Roxane syok. Tapi seiring berjalannya waktu, keluarga Roxane akhirnya bisa menerima keislamannya.

"Keluarga saya pasti datang dan ikut merayakan Idul Fitri bersama keluarga kami. Ramadan tahun lalu, kakak perempuan saya datang dan ikut berpuasa. Ia ingin tahu bagaimana rasanya berpuasa. Beberapa orang dari keluarga saya juga ikut berpuasa, kami semua menikmatinya," ujar Roxane.

Yang masih menjadi persoalan justru dari pihak keluarga Ali, suami Roxane, yang tidak menyetujui pernikahan Ali dengan Roxane. Keluarga Ali, sesuai kultur budaya mereka, sudah menyiapkan pernikahan atas dasar perjodohan buat Ali.

Tapi sikap keluarga Ali sedikit demi sedikit berubah, apalagi Rahim--putera Roxane dan Ali--lahir dan Roxane bertemu dengan keluarga besar Ali pada tahun 2008-2009. "Saya merasa takut, sangat takut saat akan bertemu. Tapi ternyata mereka sangat baik, sikap mereka sangat berbeda dengan budaya Barat dimana saya pernah dibesarkan," tukas Roxane

"Keluarga Ali menjamu kami dengan aneka masakan dan membuat kami benar-benar merasa diterima dan merasa nyaman. Saya agak tercengang saat bertemu mereka, tapi saya jadi sedikit rileks di tengah mereka," sambung Roxane.

Sejak pertemuan pertama, hubungan Roxane dan keluarga suaminya menjadi erat dan itu membantu Roxane dalam menjalani kehidupannya sebagai mualaf. Sampai hari ini, Roxane masih terus belajar tentang Islam, terutama belajar Al-Quran. (ln/rhm.org)

Monday, May 9, 2011

Karen Bujairami :"Alhamdulillah, saya bangga menjadi seorang muslim,"

Awal tahun 2002, Karen Bujairami sedang terburu-buru menuju ruang kuliah akuntansi. Ia baru saja pindah tempat tinggal dan hari itu adalah hari pertamanya di kelas yang baru. Sebagai orang baru, ia belum punya kenalan dan belum terbiasa dengan tempat kuliahnya.

Sekitar 15 menit kuliah berjalan, seorang gadis masuk ke ruang kuliah, ia terlambat datang ke kelas. Karena tidak terlalu memperhatikan gadis itu, sampai akhirnya ia mengenalnya sebagai Fatima, seorang muslimah asal Lebanon dan berjilbab.

Hari itu, Karen akan mengikuti mata kuliah kedua. Ia melihat Fatima saat masuk kelas dan hatinya tiba-tiba merasa "terikat" dengan gadis muslim itu. Karen lalu bertanya apakah ia boleh duduk di sebelah Fatima. Itulah awal persahabatan Karen dan Fatima. Mereka berdua sangat akrab seolah tak bisa terpisahkan, sehingga para dosen kerap mengomentari mereka dan bertanya apakah mereka berdua bersaudara kandung.

Kala itu, Karen masih memeluk agama Kristen, tapi ia tertarik untuk mempelajari agama Islam yang dianut Fatima. "Fatima selalu menjawab keingintahuan saya dan matanya selalu memancarkan semangat ketika bicara tentang Islam. Hal itu membuat saya kagum, karena saya sendiri tidak terlalu bersemangat dengan agama saya sendiri," kata Karen.

Ia mengaku sering terlibat perdebatan sengit dengan Fatima saat membahas masalah agama. Perdebatan itu kadang berakhir dengan kemarahan Karen, karena ia tidak mampu memberikan jawaban atau memberikan argumen dalam banyak topik pembicaraan. Karen juga kadang merasa kesal sendiri karena ia tidak mampu memberikan jawaban yang tepat terkait agama Kristen, agamanya sendiri.

"Saya sangat menghormati Fatima. Saya masih ingat ketika melihat Fatima berwudu dan salat lima waktu sehari, tetap berjilbab di tengah musim panas dan tidak pernah menyebut-nyebut dirinya sedang berpuasa saat bulan Ramadan. Sedangkan saya, berusaha keras untuk bisa rajin gereja setiap minggu, meski saya merasa sebagai penganut Kristen yang taat," ujar Karen.

Karen mengungkapkan, meski agama mereka berbeda, ia dan Fatima punya banyak kesamaan dalam banyak hal. Karen misalnya, tidak pernah berkumpul dengan teman-teman lelakinya, tidak suka mengenakan pakaian yang agak "terbuka" dan itu membuat Fatima merasa nyaman berteman dengan Karen.

Mimpi Itu

Suatu hari, Karen dan Fatima sedang berjalan berdua di kampus, menuju ke tempat mereka biasa menikmati makan siang. Mereka berdua sudah sering melakukannya, tapi hari itu, Karen merasakan sesuatu yang menarik perhatiannya. Sesuatu yang mengingatkannya pada mimpi-mimpi yang selalu hadir dalam tidurnya, di awal tahun sebelum ia memulai kuliahnya di kampus itu.

Dalam mimpinya, Karen berjalan bersama dengan seorang perempuan yang mengenakan jilbab. Gadis berjilbab itu berjalan di sisi kanannya. Karen melihat area yang ia lewati saat berjalan dengan gadis itu dalam mimpinya, sama persis dengan area yang ia lihat sekarang, saat berjalan dengan Fatima.

"Orang biasanya tidak terlalu menaruh perhatian pada mimpi, tapi apa yang terjadi hari itu membuat saya syok. Saya menghentikan langkah dan berkata pada Fatima 'Oh Tuhan, Oh Tuhan. Saya pernah melihat ini semua dalam mimpi-mimpi saya dulu'," imbuh Karen.

Saat itu, Karen tidak pernah teman seorang muslim, atau bergaul dengan Muslim. Bermimpi tentang muslim sungguh aneh buat Karen. Tapi apa yang ia lihat dalam mimpinya, benar-benar sama dengan apa yang terjadi siang itu, saat ia berjalan di kampus bersama Fatima.

"Orang mungkin berpikir itu cuma mimpi, siapa yang peduli. Tapi saya meyakini, mimpi itu murni petunjuk dari Tuhan dan atas kehendakNya, persahabatan saya dengan Fatima adalah sebuah perkenalan saya dengan Islam," ujar Karen.

Sejak hari itu, dengan alasan yang Karen sendiri tidak memahaminya, ia makin tertarik dan lebih tertarik lagi pada Islam. Karen mulai banyak melontarkan pertanyaan tentang Islam, dan makin kehilangan kehilangan keyakinannya pada agamanya sendiri. Karen memegang teguh prinsip hidupnya, jika ia ragu dengan agamanya sendiri, maka ia harus mencari jawaban atas keraguannya itu dan pasti ada sesuatu yang salah dengan agama yang membuatnya ragu.

Karen lalu mendapat sebuah DVD dari Fatima, DVD Syaikh Ahmad Deedat yang berdebat dengan sejumlah pendeta Kristen. Setelah menyaksikan DVD itu, Karen menyadari bahwa agama yang dipeluknya bukanlah agama yang benar, karena para pendeta Kristen yang ia lihat di DVD itu tidak bisa memberikan jawaban meyakinkan terhadap pertanyaan-pertanyaan seputar ajaran Kristen, yang selama ini diyakini Karen sebagai agamanya.

Waktu itu, Karen hidup bersama dengan mantan pacarnya yang juga seorang Kristiani yang taat. Lelaki itu mencoba menenangkan Karen dan menuding Fatima sudah menyuci otak Karen dengan ajaran Islam. Karen yang masih bingung, mendatangi Fatima keesokan harinya dan mengatakan bahwa ia tidak mau membicarakan soal agama lagi.

"Fatima merespon perkataan saya dengan tenang. Ia mengatakan, 'Kewajiban saya untuk menyampaikan pesan-pesan Islam, jika kamu tidak mau menerimanya, itu adalah pilihanmu. Tapi saya sudah melakukan kewajiban saya. Jadi, di hari Kiamat nanti, kamu tidak menuduh bahwa saya tidak menyampaikan pesan Islam itu," tutur Karen menirukan jawaban Fatima.

Hidayah yang Indah

Tahun berganti tahun, Karen dan Fatima tetap bersahabat baik. Karen mulai sering menghabiskan waktunya bersama keluarga Fatima. Melihat sikap dan perilaku keluarga Fatima, apresiasi Karen terhadap Islam makin bertambah.

"Saya senang menghabiskan waktu dengan keluarga Fatima. Mereka tidak minum minuman keras, tidak melakukan hal-hal yang haram. Saya merasa itulah masa-masa terbaik sepanjang hidup saya. Selama delapan tahun, saya melewati banyak tahapan dan saya meyakini, ini adalah kehendak Tuhan, ini adalah ujian-Nya untuk menunjukkan dan membimbing saya pada jalan Islam," tukas Karen.

Tahap pertama, kata Karen, adalah ketidaktahuannya, ia menolak semua agama, termasuk Kristen atau Islam. Ia tidak mau menerima ajaran apapun dari kedua agama itu. Tahap kedua, merupakan tahap pemberontakannya. "Saya mulai berontak, melawan orang-orang yang saya cintai dan menyerahkan diri pada hasutan-hasutan setan," ujar Karen.

Tahap pemberontakan itu mencapai puncaknya pada tahun 2008, yang ia sebut sebagai tahun terburuk. Karena mengalami banyak masalah dan ia berjuang untuk mengatasinya sendiri. Kehidupan Karen mencapai titik terendah. Ia memutuskan hubungan dengan kekasihnya yang sudah terjalin selama 7 tahun, pekerjaannya kacau, kehilangan teman yang baik dan bergaul dengan orang-orang yang buruk dan hubungan dengan keluarganya juga jadi memburuk. Saat itu, Karen sembunyi dari Fatima. Karen merasa bersalah dan ia tidak mau sahabatnya itu kecewa melihat perilaku buruknya.

Tahap ketiga kehidupan Karen adalah tahap "terbangun dari tidur'. Karen bertemu dengan seorang muslim lagi, yang berani memaksanya untuk menghentikan perilaku buruknya. Bagi Karen, apa yang dilakukan muslim itu sedikit kasar, tapi saat itu Karen tidak mau mendengar nasehat siapa pun. Ia bersyukur akhirnya ada orang yang bisa "memaksa" dan "mengontrol" dirinya sehingga ia bisa keluar dari kehidupannya yang kacau.

"Di hari saya menyaksikan DVD Ahmad Deedat, saya sudah tahu bahwa saya akan menjadi seorang muslim. Saya cuma perlu tekad yang bulat untuk menuju arah yang benar. Tuhan bekerja dengan caranya yang terbaik. Dia menunjukkan Islam pada saya delapan tahun yang lalu, ketika saya pertama kalinya bermimpi tentang seorang muslimah berjilbab yang kemudian menjadi sahabat baik saya ..."

"Dia menunjukan pada saya bagaimana rasanya tidak percaya dengan apapun. Dia menunjukkan pada saya, seperti apa rasanya menjalani gaya hidup yang haram, dan sekarang ia menunjukkan pada saya, bagaimana rasanya menjalani kehidupan yang halal dan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki dari kehidupan yang halal itu," papar Karen.

Akhirnya, pada tanggal 1 Januari 2009, Karen mengucapkan dua kalimat syahadat, disaksikan oleh ayahnya dan sahabatnya, Fatima. "Alhamdulillah, saya bangga menjadi seorang muslim," tandas Karen Bujairami. (ln/oi/eramuslim)

Sunday, May 8, 2011

Christian Science Monitor: Mereka Memilih Menjadi Mualaf Karena Merasa Damai dengan Islam

Populasi warga Muslim di Eropa cenderung meningkat dengan makin banyaknya warga Eropa yang beralih memeluk agama Islam. Christian Science Monitor (CSM) seperti dikutip Islamonline menyebutkan, meskipun tidak diketahui berapa jumlah pastinya, para pengamat yang mengamati komunitas warga Muslim di Eropa memperkirakan ada ribuan wanita dan laki-laki Eropa yang masuk Islam setiap tahunnya.

Para peneliti baik Muslim dan Non Muslim mengungkapkan, ajaran-ajaran agama Islam telah menarik minat banyak warga Eropa yang 'mencari kedamaian dalam hatinya dan bereaksi atas ketidakpastian moral di kalangan masyarakat Barat.'

Mary Fallot yang masuk Islam tiga tahun yang lalu mengatakan, "Buat saya, Islam adalah pesan cinta, toleransi dan perdamaian."

Meski demikian, para peneliti pada CSM mengakui ada mualaf yang tertarik dengan aliran Islam yang radikal, tapi jumlahnya tidak banyak. Beberapa diantaranya dihukum karena dituding melakukan aksi teroris seperti Richard Reid yang dikenal sebagai 'pelaku bom sepatu' dan John Walker Lindh, warga AS yang ditangkap di Afghanistan.

Kepala intelejen dalam negeri Perancis, Pascal Mailhos dalam wawancara dengan harian yang terbit di Paris, Le Monde sempat mengungkapkan kekhawatirannya atas fenomena itu. Namun ia menyatakan,"Kita harus menghindari untuk menyamaratakan setiap orang."

Lebih Banyak Mualaf Perempuan

Lebih lanjut CSM mengungkapkan, para pakar mengakui hasil penelitian bahwa jumlah mualaf di Eropa lebih banyak dari kaum perempuan ketimbang laki-laki. Meski demikian ada yang berpendapat bahwa hal itu terjadi akibat perkawinan dengan laki-laki Muslim.

"Hal semacam itu sudah biasa, tapi belakangan ini makin banyak kaum perempuan yang memiliki pendirian sendiri," ujar Haifa Jawad, dosen di Universitas Birmingham, Inggris. Menurutnya, banyak juga laki-laki yang masuk Islam karena menikah dengan seorang Muslimah.

Ditanya soal apakah kehidupan cintanya berkaitan dengan keputusannya memeluk Islam, Fallot yang sejak kecil beragama Katolik hanya tertawa. "Ketika saya bilang pada kolega saya di kantor bahwa saya sudah masuk Islam, reaksi pertama mereka adalah menannyakan pada saya apakah saya punya pacar orang Islam," kisah Fallot.

"Mereka tidak percaya kalau saya melakukannya atas keinginan saya sendiri," tambah Fallot. Ia menyatakan, ketertarikannya pada Islam karena Islam memerintahkan umatnya untuk selalu dekat dengan Tuhan.

Alasan-alasan seperti itulah yang menurut para ahli, menjadi fenomena bagi makin banyaknya wanita Eropa yang memilih masuk Islam. "Banyak kaum perempuan yang bereaksi atas ketidakpastian moral yang berlaku di kalangan masyarakat Barat. Mereka menyukai rasa memiliki, kepedulian dan kebersamaan yang diajarkan dalam Islam," kata Dr. Jawad.

Yang lainnya, menyukai Islam karena ide-idenya tentang masalah-masalah kewanitaan maupun kaum laki-laki yang diatur dalam"Islam memberikan penghormatan pada keluarga dan kaum perempuan, perempuan bukanlah objek seks," kata Karin van Nieuwkerk,pakar yang mempelajari tentang mualaf dari kalangan perempuan.

Sarah Joseph, mualaf sekaligus pendiri majalah gaya hidup Muslim "Emel" mengatakan, para mualaf di kalangan kaum perempuan mencari sebuah gaya hidup yang indah, jauh dari ekses-ekses feminisme Barat yang kadang tidak akurat.

Sementara itu, Profesor Stefano Allievi dari Universitas Padua Italia mengungkapkan, beberapa mualaf mengemukakan alasan politik atas keputusan mereka memeluk Islam. "Islam menawarkan semangat spiritual dalam berpolitik, menawarkan ide sebuah tatanan yang suci. Alasan ini lebih cenderung diungkapkan laki-laki dan hanya sedikit mualaf perempuan yang mengungkapkan alasan seperti ini," papar Allievi.

Masa-Masa Sensitif

Diluar alasan itu semua, CSM dalam laporannya menuliskan, para mualaf mulai menjalani kehidupannya sebagai Muslim dan Muslimah baru pelan-pelan, mengadopsi kebiasaan Islam sedikit demi sedikit. Fallot misalnya, meskipun sekarang ia sudah mengenakan pakaian yang panjang dan longgar, tapi ia belum siap mengenakan jilbab.

Batool al-Toma yang mengelola program "New Muslim" di Yayasan Islam Leicester, Inggris mengungkapkan, tahap-tahap awal seseorang yang baru masuk Islam adalah tahap yang sensitif.

"Anda tidak percaya diri dengan pengetahuan anda, anda seorang pendatang baru dan bisa saja menjadi mangsa dari berbagai orang baik secara individu maupun organisasi. Pada saat yang sama, orang yang baru masuk Islam harus meninggalkan kebiasaan hidupnya yang lama," kata Al-Toma.

"Mereka yang mencari jalan yang ekstrim untuk membuktikan keIslaman dirinya bisa menjadi mangsa empuk dan akan mudah dimanipulasi," tambah Dr. Ranstop. Ia mencontohkan Muriel Degauque, seorang mualaf asal Belgia yang melakukan bom syahid dengan menyerang pasukan AS di Irak.

Meski jumlah mualaf di kawasan Eropa makin meningkat, namunmasih banyak negara-negara Eropa yang bersikap diskriminatif dan membuat aturan ketat terhadap warga Muslim. Baru-baru ini, Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE) menyampaikan keprihatinannya akan makin meningkatnya sikap tidak toleransi pemerintah Belanda terhadap warga Muslim sehingga menimbulkan 'iklim ketakutan' di kalangan warga minoritas.

Laporan yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Helsinki Federation for Human Right (IHF) juga menyatakan bahwa Muslim minoritas di seluruh Eropa telah mengalami diskriminasi, dicurigai sikap permusuhan yang makin meningkat.

Thursday, May 5, 2011

Jamilah K : mencari kesalahan dan ketidakkonsistenan dalam Alqur'an

Saat sedang mencari kesalahan dan ketidakkonsistenan dalam Alquran, dia justru terkesan dengan surat Al-An'am. Jalan berliku harus dilalui Jamilah Kolocotronis sebelum menjadi seorang Muslimah. Ia mendapatkan hidayah dari Allah SWT dan mengikrarkan dua kalimat syahadat justru ketika sedang menempuh pendidikan demi mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pendeta. Berawal pada tahun 1976. Keinginannya begitu kuat untuk menjadi seorang pendeta. Saat itu, dia masih berkuliah di sebuah universitas negeri.

Jamilah lalu mendatangi seorang pastor di sebuah gereja Lutheran. Ia sampaikan apa yang menjadi harapannya, bahkan bersedia membantu apa saja di gereja. Sang pastor menyanggupi dan meminta Jamilah mewakilinya pada acara piknik untuk para mahasiswa baru dari negara lain.

Dalam acara ini, untuk pertama kalinya, Jamilah bertemu dengan seorang Muslim. Namanya Abdul Mun'im Jitmoud yang berasal dari Thailand. ''Ia punya senyum yang manis dan sangat sopan. Saat kami berbincang-bincang, ia sering kali menyebut kata Allah,'' kenang Muslimah yang memiliki nama lahir Linda Kay Kolocotronis ini.

Jamilah mengaku agak aneh saat mendengar Mun'im menyebut nama Tuhan. Karena, sejak kecil, ia diajarkan bahwa orang di luar agamanya bakal masuk neraka. Tak ayal, Jamilah merasa bahwa Mun'im adalah golongan orang yang akan masuk neraka meski Mun'im percaya pada Tuhan dan berperilaku baik.

Dia lantas bertekad untuk mengajak Mun'im mengikuti keyakinannya. Jamilah mengundang Mun'im ke gereja. Tapi, betapa malu hatinya ketika melihat Mun'im datang dengan membawa Alquran. Usai kebaktian, Jamilah dan Mun'im berbincang panjang tentang Islam dan Alquran.

Padahal, selama ini, setiap mendengar istilah 'Muslim', dia memahaminya dengan hal-hal yang negatif. Kala itu, sejak era tahun 1960-an, warga kulit putih di Amerika Serikat (AS) meyakini bahwa warga Muslim kulit hitam ingin menyingkirkan warga kulit putih.

Selama dua tahun, Jamilah tetap menjalin kontak dengan Mun'im (yang kini menjadi suaminya). Lewat aktivitasnya di sebuah klub internasional, Jamilah juga bertemu dengan beberapa Muslim lainnya.

Jamilah tetap berusaha melakukan kegiatan misionarisnya untuk membawa mereka beralih akidah. Dia masih memendam hasrat menjadi pendeta meski waktu itu, di era 70-an, gereja-gereja belum bisa menerima perempuan di sekolah seminari.

Waktu terus berjalan, kebijakan pun berubah. Setelah menyelesaikan studinya di Truman State University pada Mei 1978, sebuah seminari Lutheran yang berada di Chicago, School of Theology, bersedia menerimanya sebagai siswa.

Tapi, hanya satu semester Jamilah bersemangat belajar. Jamilah sangat kecewa dengan kenyataan bahwa di sekolah itu tidak lebih sebagai tempat untuk bersosialisasi di mana pesta-pesta digelar dan minum-minuman keras sudah menjadi hal yang biasa.

Jamilah akhirnya memutuskan pulang ke rumah. Ia ingin lebih meluangkan waktu untuk mencari kebenaran agama. Tak lama kemudian, Jamilah diterima bekerja sebagai sekretaris di daerah pinggiran St Louis, tak jauh dari rumahnya.

Mencari kesalahan Alquran
Hingga suatu hari, Jamilah masuk ke sebuah toko buku dan menemukan Alquran di sana. Jamilah tertarik untuk membelinya karena ia ingin mencari kelemahan dalam Alquran.

Jamilah berpikir, sebagai orang yang bergelar sarjana di bidang filsafat dan agama serta pernah mengenyam pendidikan di seminari, pastilah mudah baginya menemukan kelemahan-kelemahan Alquran. Dengan 'bekal' itu, ia berharap bisa meyakinkan teman-teman Muslimnya bahwa mereka salah.

Dia segera mencari-cari kesalahan serta ketidakkonsistenan ayat-ayat dalam Alquran. Tapi, hasilnya nihil.''Saya justru terkesan saat membaca surat al-An'am ayat 73. Untuk pertama kalinya, saya ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam,'' ujar perempuan kelahiran St Louis, Missouri, tahun 1956 ini.

Jamilah memutuskan kembali ke universitasnya dulu, mengambil gelar master di bidang filsafat dan agama. Di saat yang sama, selain mengunjungi kebaktian, Jamilah juga kerap datang ke masjid, terutama ketika shalat Jumat.

Walau hatinya mulai tersentuh cahaya Islam, Jamilah mengaku belum siap menjadi seorang Muslimah. Masih banyak ganjalan pertanyaan memenuhi kepalanya. Dan, Jamilah terus melanjutkan pencariannya tentang agama.

Selama kurun waktu dua tahun masa pencarian, selain mempelajari Islam, Jamilah juga mempelajari berbagai agama lainnya, termasuk Zoroaster, Hindu, Buddha, Baha'i, dan agama yang dianut oleh etnis Cina. ''Saya cuma ingin menemukan kebenaran,'' kata Jamilah.

Mengucap dua kalimat syahadat
Namun, Jamilah lebih merasakan kedekatan pada Islam. Satu pertanyaan yang masih mengganggu pikirannya, mengapa orang Islam harus berwudhu sebelum shalat?

Ia menganggap itu tidak logis karena manusia seharusnya bisa mengakses dirinya pada Tuhan kapan saja. Namun, pertanyaan yang mengganggu itu akhirnya terjawab dan Jamilah bisa menerima jawabannya.

Akhirnya, malam itu, Jamilah membulatkan tekad untuk menerima Islam sebagai agamanya. Ia pergi ke sebuah masjid kecil dekat universitas. Peristiwa terpenting dalam hidupnya ini terjadi pada musim panas 1980, bersamaan dengan tibanya bulan Ramadhan.

Tepat pada malam ke-19 di bulan Ramadhan, Jamilah mengucapkan dua kalimat syahadat yang disaksikan sejumlah pengunjung masjid. ''Butuh beberapa hari untuk beradaptasi, tapi saya sudah merasakan kedamaian. Saya melakukan pencarian begitu lama dan sekarang saya menemukan tempat yang damai,'' papar ibu dari enam orang putra ini.

Pada awalnya, setelah menjadi Muslimah, Jamilah menyembunyikan keislamannya dari teman-teman di kampus, bahkan keluarganya. Bercerita kepada keluarganya bahwa ia sudah menjadi seorang Muslim bukan persoalan gampang buat Jamilah.

Begitu pula ketika ingin mengenakan jilbab. Tapi, jalan berliku dan berat itu berhasil dilaluinya. Kini, Jamilah sudah berjilbab dan menjadi kepala sekolah di Salam School, Milwaukee. dia/berbagai sumber



Pendidik, Penulis, dan Ibu Enam Anak

Komunitas Muslim di Amerika Serikat mengenal Jamilah Kolocotronis sebagai seorang Muslimah dengan segudang aktivitas. Di tengah kesibukan mengurus enam putranya, Jamilah masih sempat mengajar paruh waktu.

Ia mengajar mata pelajaran ilmu-ilmu sosial di sebuah sekolah Islam sesuai dengan gelar master dan doktoral di bidang pendidikan ilmu sosial yang ia peroleh dari Ball State University.

Dalam memberikan materi pelajaran kepada para muridnya, Jamilah kerap menggunakan pendekatan secara Islam. Ketika peristiwa 11 September 2001 terjadi, Jamilah sedang mengajar dalam kelas. Sebagai seorang pendidik, ia pun memberikan penjelasan kepada murid-muridnya yang duduk di bangku sekolah menengah mengenai tragedi yang terjadi di New York.

Jamilah juga aktif dalam kegiatan menulis. Menjadi seorang penulis memang merupakan impiannya ketika ia memutuskan pensiun dari dunia pendidikan. Karena itu, ia selalu memanfaatkan waktu senggangnya untuk menulis.

Sejumlah novel sudah dia hasilkan, di antaranya Innocent People, Echoes, Rebounding, Turbulence, Ripples , dan Silence . Novel pertamanya, Innocent People , menceritakan kehidupan keluarga Muslim Amerika sesudah peristiwa 9/11. Seperti novel pertamanya, semua novel yang ditulis Jamilah bertemakan kehidupan Muslim Amerika dan tantangan-tantangan yang mereka hadapi.

Karya lain Jamilah yang sudah dipublikasikan adalah tulisan disertasi doktoralnya sebagai buku nonfiksi dengan judul Jihad Islam . Karya ini mengulas prinsip-prinsip dan praktik jihad militer. Ia pun rajin menulis puisi dan sejumlah catatan kecil di blog pribadinya.

Di samping hobi menulis, Jamilah juga menyukai dunia travelling . Ia pernah tinggal di enam negara berbeda dan sudah menjelajahi seluruh wilayah di Amerika Serikat.

Ia juga pernah mengunjungi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, terlebih karena suaminya berasal dari Thailand. Saat ini, Jamilah beserta keluarganya menetap di Lexington, Kentucky, Amerika Serikat. dia/berbagai sumber

Wednesday, May 4, 2011

Saat Jauhi Islam, Ratna Novita Menyadari Keinginannya Jadi Muslim

Meski dibesarkan dalam keluarga Budha, sejak kecil, orang tua Ratna Novita, 32 tahun, tidak pernah memaksa atau melarangnya untuk menganut agama tertentu. "Intinya kami sendiri yang mencari agama itu," ungkap Ratna
Ayah dan ibunya membebaskan dalam urusan satu itu. Tak heran, bila menyimak kisahnya, Ratna yang tertarik belajar Islam sempat pula beribadah di Gereja.

Perkenalan serius dengan Islam dimulai ketika duduk di bangku sekolah dasar. Sebenarnya Ratna yang melihat teman-temannya sebagian besar beragama Islam, awalnya ikut-ikutan memilih pelajaran agama Islam. Maklum, saat itu sekolah umum hanya memberikan dua pilihan pelajaran agama, Islam dan Kristen.

Sejak itu, Ratna mulai mempelajari segala hal tentang Islam, mulai kisah para nabi, bacaan Shalat, surat-surat pendek serta sejarah Islam. Lambat laun ketertarikannya dengan Islam sangat besar.

“Lingkungan sekitar yang mayoritas Muslim membuat saya tertarik dengan Islam, maka dari sana lah saya giat mempelajari segala hal mengenai Islam” ujar Ratna

Ratna tak hanya belajar di sekolah. Selepas maghrib bersama teman-temannya di kampung halaman, ia mengikuti pelajaran mengaji Al Qur'an.

Rutinitas itu ia lakoni selama enam tahun. Ratna yang keturunan Tionghoa dan tercatat beragama Budha dalam data kependudukan sipil, mengaku merasa menjadi Muslim meski belum pernah mengikrarkan syahadat.

Tapi ketika SMP, ritual Ratna mulai berganti. Ketika ia tinggal dengan kakaknya yang menganut Katholik, di sekolah ia beralih mempelajari agama tersebut. Tiap minggu ia juga ikut pergi ke gereja bersama sang kakak.

“Saat SMP saya ikut kakak, jadi saya mengikuti agama yang ia anut. Tetapi saat saya menginjakkan kaki ke gereja saya tidak merasakan kenyamanan di sana," ungkapnya.

"Saat itu saya pikir karena baru pertama kali dan masih canggung. Tetapi lama kelamaan rasa itu semakin tak bisa dipungkiri. Saya benar-benar tidak tenang di gereja” tutur anak ke-6 dari 8 bersaudara itu.

Ketidaknyamanan itu membuat Ratna berpikir ulang. Ia menyadari Katholik bukan lah agama yang ia cari selama ini. Islam-lah yang sesungguhnya ia butuhkan. Kesadaran itu mendorong Ratna untuk kembali pada Islam.

Ia pun membulatkan tekad dengan mengucap dua kalimat syahadat di salah satu masjid di kampungnya, Jawa Tengah. “Saat SD mungkin dianggap karena ikut-ikutan teman, tetapi saya merasakan hal yang lebih dari sekedar ikut-ikutan," ujarnya.

Setelah menyandang status sebagai seorang Muslim, Ratna tak hanya menjadikan Islam sebagai agama sesuai catatan sipil di KTP. Ia juga terus belajar menegenai Islam dan mencoba mengaplikasikan semua ajaran agama yang ia peroleh sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari.

Saat menikah, Ratna memutuskan untuk menutup auratnya sesuai dengan perintah agama. Selama pernikahannya Ratna dikaruniai satu orang anak.

Meskipun saat ini ia telah berpisah dengan sang suami, namun, itu tak membuat ke-Islamannya menurun. “Awalnya saya merasa sendiri, karena saya pikir sangat jarang keturunan Cina yang menjadi seorang muslim," tuturnya.

Akhirnya ia mencoba mencari di internet mengenai keberadaan komunitas Muslim Cina dan mendapatkan satu komunitas Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang berkantor di Jakarta Timur. "Kini saya mengikuti pengajian di Masjid Lautze, Pasar Baru,” tutur Ratna

“Islam adalah agama yang Damai, banyak hal-hal yang diluar akal manusia” ujar Ratna. ”Saya mengatakan demikian karena saya telah merasakannya," katanya.

Beberapa perilaku keseharian itu menurut Ratna, seperti menyisihkan uang untuk bersedekah setiap hari. Ia merasakan manfaat besar dari bersedekah, yakni pertolongan Allah yang tidak diduga-duga ketika ia tengah mengalami kesulitan.

"Intinya adalah kita harus yakin akan kebesaran Allah, karena setiap prilaku kita Allah akan membalasnya, jika kita menjadi orang baik maka Allah akan senantiasa member kebaikan pada kita” ujarnya.

Ratna kini memiliki keinginan besar untuk beribadah Haji. Ia juga berharap dapat mendirikan sebuah yayasan sosial untuk membantu orang-orang yang tidak mampu terutama dalam bidang pendidikan. “Dikampung saya masih banyak orang-orang kurang mampu, jika saya bisa membantu mereka dalam hal pendidikan, alangkah bahagianya mereka.”