Wednesday, June 29, 2011

Bruno Guiderdoni, Astrofisikawan Muslim Mualaf Perancis

Membaca Alam - membaca Ayat
Bruno Guiderdoni adalah salah seorang intelektual Prancis Muslim yang terkenal, seorang astrofisikawan terkemuka yang masuk Islam kurang lebih lima belas tahun yang lalu. Dia belajar fisika dan astrofisika di Universitas Paris dan memperoleh gelar doktornya di sana pada 1986.

Kini (2004), dia merupakan ilmuwan yang bekerja pada Badan Antariksa Eropa yang menangani dua satelit untuk penelitian ilmiah, yaitu Herschel dan Planck, yang akan diorbitkan pada 2007, untuk mengamati fluktuasi suhu pada radiasi latar kosmologi dalam frekuensi inframerah-jauh dan gelombang submilimeter. Penelitian ilmiah Dr. Guiderdoni terfokus pada persoalan lahirnya dan evousi galaksi-galaksi.
Berikut adalah wawancara Philip Clayton dengan Bruno Guiderdoni, yang dikutip -- seizin kronik, mizan -- dari Buku Membaca Alam Membaca Ayat (mizan, 2004).

Philip Clayton: Pengaruh-pengaruh religius apa saja yang anda terima dimasa kanak-kanak, dan bagaimana akhirnya Anda memilih Islam ?

Guiderdoni: Ayah dan ibu saya beragama Kristen, tetapi saya tidak dibesarkan dalam suatu agama tertentu. Sata saya mempelajari sains, saya dapati ada sesuatu yang hilang dalam pendekatan saintifik terhadap dunia. Saat saya mencari jenis pengetahuan lainnya, saya tersadar bahwa pencarian saya adalah sebuah pencarian religius. Saya tidak tahu kondisi di Amerika, tetapi di Prancis, pendidikan modern sama sekali mengesampingkan gagasan tentang Tuhan. Konsekuensinya, anak-anak muda tidak mampu menjelaskan apa yang mereka rasakan. Setelah banyak membaca dan melakukan perjalanan, akhirnya saya tersadar bahwa pencarian saya merupakan pencarian religius. Saya sangat tertarik dengan agama-agama Timur, khususnya penekanan agama-agama itu terhadap pencarian pengetahuan. Bagi saya, menjadi penganut Buddha, Tao, atau Hindu adalah langkah yang terlalu jauh. Menjadi seorang Muslim merupakan jalan tengah antara Timur dan Barat. Islam memperkenalkan diri sebagai agama pertengahan antara agama-agama Barat -- agama Yahudi dan Kristen -- dan agama-agama Timur. Saya merasa (dengan memeluk Islam) tetap berada pada aliran yang sama, yang telah diawali oleh agama Yahudi dan Kristen, tetapi saya pun mendapatkan jalan kepada agama-agama Timur. Saya menemukan jalan saya dalam Islam, meskipun,`sebagaimana Anda tahu, Islam kini dirundung banyak masalah , terutama oleh paham fundamentalis yang menggunakan kekerasan. Tentu saja, ada juga banyak hal berharga dalam Islam dan banyak kemungkinan untuk sebuah kehidupan spiritual.

Clayton: Jadi, daya tarik Islam adalah karena agama itu merupakan keterpaduan agama Yahudi dan Kristen , tetapi juga dekat dengan tradisi-tradisi ketimuran.

Guiderdoni: Benar. Terutama mistisisme Islam , yang disebut sufisme. Sufisme memberikan penekanan pada realisasi pengetahuan dengan cara yang sangat simpatik, dalam kerangka paham monoteis, dengan konsep teologis yang sangat akrab dengan kita. Dalam Islam, pandangan tentang manusia, dunia, dan penciptaan, sangat mirip dengan Yahudi dan Kristen. Akhirnya, tujuan kehidupan religius adalah pengetahuan. Hal yang sangat penting adalah, baik pencarian sains maupun pencarian religius saya sama-sama merupakan pencarian pengetahuan.

Clayton: Bisakah Anda berbicara sedikit mengenai apa yang tidak Anda dapatkan dari sekadar pencarian pengetahuan saintifik?

Guiderdoni: Pada abad ke-19, sains berharap bisa menjawab semua pertanyaan. Sains modern sangat berhasil dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana mekanisme segala hal. Namun, hal itu mulai tidak memuaskan pertanyaan,”Mengapa segala sesuatu berlaku seperti ini ?” Harapan di abad ke-19 itu bukanlah pada sains yang sesungguhnya, melainkan pada ideologi . Kini, sains lebih menitikberatkan pada tujuan utamanya, yakni penjelajahan alam semesta. Sains modern hanya sedikit berbicara di tataran fisolofis. Pada abad yang lalu, segala usaha untuk mendefinisikan sifat-dasar kebenaraaan-ilmiah terbukti gagal total. Dalam sains, kita memiliki metode yang sangat efisien untuk meningkatkan pengetahuan kita tentang alam semesta. Namun, kita tidak mampu mengatakan bahwa suatu teori benar, atau mungkin benar, atau salah, atau mungkin salah. Karya Karl Popper sangat penting dari sudut pandang ini.

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ilmiah kita memunculkan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Sains adalah suatu kisah yang tiada habisnya dan sangat mengasyikkan. Sayangnya, kita umat manusia dibatasi oleh waktu, dan kita menginginkan jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan lainnya. Pencarian terhadap jawaban semacam itu adalah alami, bahkan meskipun jika pencarian ini tidak bersifat ilmiah, melainkan religius. Itulah sebabnya mengapa saya amat tidak puas dengan kegiatan ilmiah yang saya lakukan.

Clayton: Adakah sesuatu dalam keterbatasan pengetahuan yang telah ditegaskan oleh para ilmuwan sendiri ratusan tahun lalu, yang memberi sumbangsih bagi pemahaman Anda atas perlunya sebuah cara lain (di luar sains)? Umpamanya, ketidakpastian tentang tingkatan kuantum yang digagas Heisenberg.

Guiderdoni: Di jalan inlelektual saya ada dua langkah penting, dua telaah penting. Yang pertama adalah filsafat sains, terutama karya Popper yang saya baca saat berusia dua puluh tahun. Langkah penting lainnya adalah perdebatan mengenai sifat-dasar dan kesempurnaan mengenai mekanika kuantum. Di Prancis terjadi banyak perdebatan sepuluh atau dua puluh tahun lalu. Bernard d’Espagnat memberi kuliah di universitas tempat saya belajar lima belas tahun silam. Saya terkesan oleh kecermelangan dan kecerdasannya, dan terutama oleh anlisisnya mengenai keterbatasan mekanika kuantum dan oleh gagasan bahwa kenyataan tak pernah benar-benar dapat diungkap penyelidikan ilmiah. Sesungguhanya realitas selalu “terselubungi”. Saya rasa saya perlu mencoba cara lain untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas.

Clayton: Sejak menganut agama Islam, bagaiman Anda memandang hubungan antara tradisi sains dan religius? Apakah Anda melihatnya komplementer, integral, atau sebagai wilayah yang sangat berbeda?

Guiderdoni: Menurut saya, keduanya komplementer.Seperti yang saya katakan pada Anda, Islam sangat menekankan pentingnya ilmu dalam kehidupan secara umum dan dalam kehidupan religius secara khusus. Akar dari dosa adalah kebodohan, atau kegelapan.”Carilah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat,” kata Rasulullah. Zhulm adalah istilah bahasa Arab untuk dosa dan kegelapan. Sangatlah mungkin bagi ita untuk keluar dari dosa dengan cahaya ilmu. Maka, mencari ilmu penting adanya, segala macam ilmu: ilmu dunia dan ilmu akhirat.

Mungkin orang menganggap pengetahuan sains sebagai pengatahuan dunia, dan pengetahuan akhirat adalah pengetahuan religius. Pada kenyatannya, perbedaan itu tidak begitu jelas. Dalam tradisi Islam, ilmu yang dicari adalah ilmu yang yang berguna untuk kemanusiaan secara umum. Pencarian ilmu tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai etis. Seperti halnya segala sesuatu di dunia, sains punya satu tujuan, yaitu Tuhan. Kita tidak bisa memahami pencarian pengetahuan secara terpisah dari upaya perbaikan diri.

Clayton: Jadi, karya Anda sebagai seorang ilmuan tidak sepenuhnya terpisah dari ketaatan Anda sebagai seoarang Muslim. Itukah yang Anda maksud?

Guiderdoni: Ya. Tidak ada pertentangan antara sains dan agama. Tidak mungkin ada kasus Galileo dalam Islam. Islam terbuka bagi segala macam ilmu. Jadi, sebagai seorang Muslim, saya merasa sangat nyaman dengan aktivitas keilmuan saya, karena saya dapat menafsirkan karya riset saya sebagai pencarian ilmu untuk dunia ini, juga sebagai penjelajahan kekayaan dan keindahan ciptaan Tuhan.

Clayton: Kedengarannya seolah-olah dalam Islam Anda menemukan suatu kebutuhan untuk menyatukan karya Anda sebagai seorang ilmuan dengan amal Anda sebagai Muslim.

Guiderdoni: Benar. Sebagai seorang Muslim, saya cenderung menyatukan seluruh aktivitas ke dalam satu jalan tunggal, satu jalan hidup dan berfikir. Karena Tuhan adalah Esa, manusia pun harus menjadi utuh. Pemisahan dalam bentuk apapun antara aktivitas profesional dan pencarian religius bukanlah hal yang baik.

Kita tidak harus memisahkan aktivitas keilmuan dengan aktivitas religius. Tidak benar bahwa ilmu dan iman tidak berhubungan satu sama lain, bahwa keduanya sepenuhnya merupakan jalan berbeda dalam mendekati kenyataan. Pandangan ini merupakan salah satu cacat dari beberapa pendekatan terhadap agama dalam peradaban Barat, khususnya setelah Kant.

Namun, saya pun harus menekankan bahwa pengetahuan sains tidaklah seperti pengetahuan religius. Pada setiap saat, kita harus menyadari sifat-dasar dari aktivitas yang sedang kita lakukan; kita tidak mengerjakan doa seperti kita mengerjakan penelitian. Pemaduan aktivitas kita adalah penting, tetapi kita pun membutuhkan pembedaan. Kita harus teliti dalam hal ini.

Clayton: Jadi, pemisahan Kantian antara dunia alam dengan dunia tanggung jawab moral dan kebebasan yang telah memengaruhi banyak pemikiran agam Kristen dan Yahudi pada dua atau tiga abad yang lalu, tidak diterima oleh Islam?

Guiderdoni: Tidak, karena setiap perbuatan manusia memiliki makna etis.Agama meliputi kehidupan sehari-hari . Ada waktu-waktu ritual yang eksplisit; shalat lima kali sehari, umpamanya. Namun, di luar waktu-waktu itu, seluruh waktu kehidupan merupakan kesempatan untuk beribadah, dalam bentuk penjelajahan dunia. Dan penjelajahan dunia seperti apa pun akan memajukan pengetahuan. Karena penjelajahan dunia merupakn jalan mempelajari ciptaan Tuhan, aktivitas ini juga bernilai ibadah.

Clayton: Bagi Islam, sebagaimana bagi agama Yahudi dan Kristen, alam semesta tidak hanya memiliki waktu yang linear, tapi juga sebuah telos (‘tujuan’,bahasa Yunani-peny.) tertentu, tujuan yang ditetapkan Tuhan. Bagaimana gagasan tujuan tersebut berdampingan dengan ilmu fisika dan astrofisika kontemporer?

Guiderdoni: Dalam Al-Quran , banyak ayat yang menekankan tujuan Penciptaan Tuhan. Tujuan itu meluas hingga pada detail kehidupan sehari-hari. Tidak ada yang diciptakan secara kebetulan. Segalanya dibuat dengan satu tujuan. Segala sesuatu merupakan tanda-tanda Tuhan: ayat. Kata tersebut merupakan salah satu kata penting dalam tradisi Islam; yang artinya bahwa segala yang ada di dunia, segala yang tampak oleh kita, sesungguhnya membawa pelajaran dari Tuhan. Maka, sekali lagi, sangatlah mudah untuk mengkaji sains modern dalam paradigma finalitas ini. Saya terheran-heran dengan perbedaan antara keberhasilan reduksionisme sebagai alat dan sebagai rancangan metodologis, dan kegagalannya sebagai rancangan filosofis. Eksplorasi kita terhadap detail fisika kosmos kini mengarah kepada sesuatu yang dapat dengan mudah dibaca sebagai finalitas. Semua”kebetulan” yang “ditafsirkan” dengan prinsip antropik dapat dibaca dengan mudah sebagai finalitas di dunia. Seorang Muslim tentunya tidak perlu bersusah payah untuk membaca hal itu. Yang mendapat masalah adalah orang-orang yang tak beriman, karena mereka memahami dunia ini sebagai sebuah bangunan raksasa yang berdiri di atas sejumlah sangat kecil pilar yang tertala-cermat (finely tuned): nilai-nilai konstanta fisika. Itulah yang menjadi masalah bagi mereka.

Clayton: Argumen apa yang Anda pakai sebagai seorang fisikawan, tentang keberadaan rancangan dan tujuan dalam alam semesta ini?

Guiderdoni: Telah banyak muncul karya tentang prinsip antropik, yang dirangkum dengan baik dalam buku karangan John Barrow, The Antropic Cosmological Principle. Secara historis, keluasan jagat raya telah digunakan sebagai arguman untuk menentang agama.Alasannya, jika jagat semesta demikian luas , manusia menjadi tidak ada artinya dan konsep adanya agama yang diwahyukan di planet kecil tempat kita tinggal pun tidak punya makna. Namun, kini kita tahu bahwa usia dan ukuran alam semesta yang bisa diamati berhubungan erat dengan kehadiran kita di bumi. Kita tidak dapat muncul di sebuah jagat raya yang memiliki usia dan ukuran yang berbeda (dari jagat raya yang kita huni sekarang). Usia alam semesta yang sangat tua diperlukan untuk pengayaan elemen berat, juga penting bagi pembentukan planet dan kemunculan kehidupan.
Ukuran semesta Merupakn konsekuensi usianya. Kita memerlukan ukuran semesta seperti ukuran semesta kita ini dan waktu selama usia semesta kita ini, agar kita (manusia) dapat muncul dibumi.

Clayton: Beberapa orang memberikan argumen-argumen fisika untuk mempertahankan apa yang biasa disebut prinsip antropik kuat. Apakah Anda bersimpati kepada pandangan yang menyatakan bahwa kemunculan kehidupan cerdas adalah sebuah keniscayaan tersebut dirancang di alam semesta sejak awal?

Guiderdoni: Ya, saya sepakat. Menurut saya, hal itu merupakan konsekuensi tak terhindarkan dari kerja-kerja terbaru dalam kosmologi modern. Semua”kebetulan” pada konstanta-konstanta fisika membuat kompleksitas yang amat besar menjadi mungkin. Sebagai orang beriman, saya menganut prinsip antropik kuat; segalanya telah dirancang dengan cara tertentu untuk memungkinkan keberadaan manusia.

Clayton: Bolehkah saya menanyakan sifat-dasar prinsip tersebut? Ada orang bilang bahwa itu merupakan penjelasan metafisis. Ada yang bilang itu benar-benar merupakan kesimpulan fisika, bahwa prinsip itu bisa kita peroleh dari fisika, tanpa mesti beralih ke meta fisika.

Guiderdoni: Untuk saat ini, saya katakan bahwa itu bukan suatu prinsip fisika. Itu adalah sesuatu yang berakar dalam sains, tetapi merupakan prinsip metafisika. Memang ini merupakan arus balik menuju metafisika yang mengejutkan, karena banyak filosof menyatakan bahwa kita telah membunuh metafisika sejak kemunculan filsafat Kantian pada akhir abad ke-18. Kini, metafisika dimunculkan kembali saat tidak diharapkan , oleh sains itu sendiri.

Menurut saya, prinsip antropik tidak bisa dianggap sebagai prinsip fisika karena prinsip fisika harus bisa diprediksikan. Saya tidak tahu apakah telah muncul prediksi dari prinsip antropik. Namun, tentu saja kita tidak bisa menghilangkannya hanya karena prinsip ini punya makna metafisis.

Clayton: Dalam sains dasawarsa lalu, sebagaimana yang Anda gambarkan, kesimpulan-kesimpulan metafisis dipengaruhi oleh karya-karya bidang astrofisika, bahkan mungkin bisa diuji melalui cara-cara tertentu. Riset fisika sebenarnya bisa memberi bukti untuk beberapa tinjauan metafisis. Apakah saya mendiskripsikan pendirian Anda itu dengan benar?

Guiderdoni: Ya Anda benar. Kecenderungan dalam Islam selalu ke arah penyatuan. Maka, pernyataan bahwa metafisika bisa disingkirkan sepenuhnya dari sebarang bidang aktivitas atau pengetahuan manusia benar-benar tidak konsisten dengan pemikiran Islam. Dari sudut pandang sains modern, yang, setidak-tidaknya pada abad-abad lalu, berusaha meniadakan metafisika, kembalinya metafisika merupakan sebuah kejutan. Pemikiran Islam menekankan hubungan erat antara pendiskripsian jagat raya dan akar-akarnya dalam prinsip-prinsip metafisika dan spiritual. Keberhasilan reduksionisme sebagai sebuah metodologi keilmuan dan kegagalannya sebagai sebuah rancangan filsafat, menjadi dorongan kuat bagi pencarian jenis ilmu lain, cara lain untuk melihat kebenaran tunggal. Menurut saya, seluruh pemikiran Islam pun mengarah pada kesimpulan bahwa hanya ada satu kebenaran. Untuk mencapainya, kita memiliki banyak cara. Salah satunya adalah sains. Baik kesuksesan maupun kegagalannya membesarkan hati. Kegagalannya, berupa ketiadaan jawaban-jawaban radikal, mungkin menjadi pendorong untuk beranjak kepada cara lain dalam memperoleh kebenaran. Mungkin jalan religius memiliki keistimewaan, dalam hal tertentu. Menurut saya, filsafat modern tidak menekankan pada pencarian kebenaran. Itu ditandai dengan lenyapnya metafisika. Jadi, mungkin agama adalah satu-satunya jalan yang tersisa bagi para ilmuan untuk mencoba memperoleh kebenaran.

Clayton: Jadi, mungkin bisa dikatakan seperti ini: bahwa sebagai seorang ilmuan, saya takjub dengan improbabilitas bahwa saya -- sebagai orang yang mengetahui -- harus ada di sini. Saat saya tatap alam semesta, tampaklah ia seolah-olah tertala-cermat, sehingga kehidupan dapat berkembang. Kemudian, saya mengetahui prinsip antropik dalam fisika, atau pentingnya posisi pengamat dalam bidang fisika kuantum, sehingga saya berfikir pasti ada tujuan tertentu bagi kita. Saya berpaling dari agama untuk mencari tahu apakah tujuan itu dan apakah tanggung jawab moral saya di hadapan Tuhan. Demikiankah gagasan Anda ?

Guiderdoni: Tepat sekali. Saya tidak menyukai penafsiran dualistik sains, khususnya mengenai mekanika kuantum. Saya menyukai realitas; saya adalah seoraang realis. Kita menduga bahwa ada realitas tersembunyi, sebuah “realitas terselubung”, sebagaimana dikatakan d’Espagnat. Kita mencoba untuk lebih dekat pada realitas ini melalui sains dan kita berhasil dalam beberapa hal. Namun, kita merasa bahwa kita membutuhkan suatu langkah kualitatif yang akan menggiring kita pada pertanyaan mengenai makna segala sesuatu. Menurut saya, kita hanya bisa memperoleh jawaban melalui pendekatan religius. Dan inilah sebabnya mengapa saya memandang dua aktivitas itu benar-benar komplementer.

Clayton: Islam,seperti halnya agama-agama Barat, mengajarkan bahwa umat manusia diciptakan bertanggung jawab secara moral, bebas, dan mampu berhubungan dengan Tuhan. Bagaimana pengertian manusia sebagai pribadi ini dapat dikatakan sesuai dengan teori sains mutakhir?

Guiderdoni: Ini adalah pertanyaan yang berkaitan; manusia digambarkan dalam Al-Quran sebagai wakil Tuhan di bumi. Jadi, ia tidak berada di atas ciptaan. Mungkin dikatakan bahwa pada peradaban Barat, khususnya pandangan -- dunia Cartesian, hanya manusialah yang mempunyai jiwa; maka ia bisa berbuat apapun yang diinginkannya di dunia ini. Dalam Islam, manusia tidak berada di atas penciptaan, tetapi berada di pusatnya. Dan kita harus mengatur ciptaan tersebut, atas nam Tuhan, seperti penjaga kebun yang baik. Kita bertanggung jawab atas ciptaan dan tidak bisa mengubahnya semau kita. Manusia berada di bumi ini sebagai konsekuensi dari sejumlah krisis luar biasa dalam perkembangan alam semesta: krisis dalam pembentukan galaksi, pembentukan spektrum-spektrum bintang, evolusi bintang dan seterusnya, hingga pembentukan planet-planet dan munculnya kehidupan, serta seluruh periode perkembangan hidup dan sebagainya. Sains mengajarkan bahwa kita berada di puncak bangunan kosmis raksasa, yang berusia 10 milyar tahun. Islam membantu saya merasa nyaman, karena penekanannya terhadap ilmu dan nilai-nilai etika. Pengetahuan tidak bisa di capai secara terpisah dari pencarian nilai-nilai etika. Nilai etika yang sesungguhnya adalah tanggung jawab. Jadi, pandangan ilmiah ini, yang mengatakan bahwa manusia merupakan akibat dari apa yang dinamakan “kebetulan-kebetulan” dan krisis- krisis yang luar biasa banyaknya itu, seharusnya menuntun kita pada pandangan religius yang memandang manusia memiliki rasa tanggung jawab yang besar di muka bumi.

Selain itu, hal yang sangat menarik adalah kemunculan manusia dalam kosmologi. Prinsip kosmologis menyatakan bahwa tempat yang “jauh” tidak ada bedanya dengan “di sini”; tidak ada posisi istimewa dalam jagat raya. Namun, hal ini membawa kemungkinan penjelajahan sejarah alam semesta. Karena kenyataan bahwa “yang jauh” sama dengan “ di sini”, maka sejarah alam semesta bisa di telusuri dengan mengamati benda-benda pada pergeseran merah (redshift) yang tinggi. Ini berarti pula bahwa jarak yang jauh memberi gambaran dari masa yang sangat lampau, karena cahaya berjalan pada kecepatan terbatas. Kita bisa merekonstruksi masa lalu alam semesta dan masa lau kita sendiri, sampai pada saat-saat pertama setelah terjanya Ledakan Besar. Jadi, kita berada pada posisi pusat; kita ada di pusat semesta yang bisa diamati. Dalam beberapa hal, kosmos kita sangatlah mirip dengan kosmos Abad pertengahan yang menempatkan manusia di pusat semesta. Tentu saja, kita tahu bahwa dunia ini tak terbatas. Namun, dunia yang bisa diamati adalah sebuah gelembung di keluasan alam semesta. Kita berada di posisi pusat seperti ini dalam upaya membangun pengetahuan kita mengenai dunia.

Dengan kata lain, kita berada di sebuah lokasi yang sesuai untuk mengamati semesta karena bidang galaksi kita, umpamanya, memiliki sebuah sudut pandang bagus terhadap bidang Supergugus Lokal(Local Super Cluster). Kita tidak berada dalam sebuah awan molekular dan seterusnya. Semesta yang mengelilingi kita, Galaksi Bima Sakti, agak tembus cahaya. Dan kita bisa mengakses masa yang sangat lampau. Jika kita hidup di galaksi lain, atau dalam sebuah awan molekular, semesta di sekeliling kita akan benar-benar buram, kecuali bagi radiasi cahaya inframerah dan gelombang radio. Pasti ada lebih banyak halangan untuk mengungkap semesta ini.

Ada banyak kemiripan dalam cara kita memandang dunia dengan cara Abad Pertengahan memandang dunia ini. Bagi para pemikir Abad Pertengahan, batas jagat raya adalah bola langit(atau lebih tepatnya adalah Langit Kristal [Crystalline Sphere]), karena penemuan presesi ekuinoks (the precession of the equinoxes). Ini merupakan pembatasan yang amat tajam, pemisahan antara jagat raya di satu sisi dan Empyreum (lokus Singgasana Tuhan, ‘Arsy) pada sisi yang lain. Inilah batas maksimal bagi penciptaan. Dan kita pun memiliki batas ini, karena batas semesta yang bisa kita amati pun berbentuk sebuah bulatan. Pada permukaan bulatan itu, kita mendapatkan T=0 dan kita tidak bisa melihat lebih jauh. Lebih jauh lagi adalah masa lalu yang sudah terlalu lampau. Itulah saat ledakan besar terjadi; yang merupakan misteri bagi kosmologi modern. Kita tahu bahwa dunia ini tidak terbatas dan penuh dengan bintang dan galaksi, tetapi kita punya pandangan yang dinamis terhadap jagat raya, kaitan yang erat antara menatap jarak yang jauh dan menggali masa lalu. Ketika kita melihat jauh, kita mencoba menggali asal mula keberadaan kita tetap sebagaimana Dante Alighieri menggambarkan secara alegoris dirinya mengarungi ruang angkasa untuk melihat wajah Tuhan. Ada banyak kemiripan lainnya antara pandangan Abad Pertengahan dengan sains modern mengenai jagat raya.

Clayton: Saya ingin tahu, bagaimana pengaruh pengetahuan kita mengenai evolusi kehidupan terhadap pandangan religius terhadap individu. Menurut biologi evolusioner, kita sangat mirip dengan mahluk primata tingkat tinggi lainnya. Sebagian besar materi genetis kita sama dengan mereka. Apakah hal itu menimbulkan ketegangan pada keyakinan religius mengenai keunikan sosok individu sebagai wakil Tuhan ?

Guiderdoni: Mungkin akan ada semacam tegangan jika Anda membaca Al-Quran secara harfiah. Namun,hal itu akan hilang jika kita mengkaji ayat-ayatnya secara terbuka. Penciptaan manusia digambarkan oleh Al-Quran sebagai berikut: Manusia diciptakan Tuhan dari dua unsur. Ia tercipta dari tanah liat (thin) dan ruh Tuhan (Ruh). Proses penciptaan ini dulu ditafsirkan sebagai penciptaan yang terjadi seketika. Namun, tak satupun petunjuk dalam ayat-ayat suci itu yang mengharuskan kita tiba pada kesimpulan ini, karena segala sesuatu yang di deskripsikan oleh (teori) evolusi bisa jadi terkait dengan bagian dari evolusi kosmik sejak awal, dari nukleosintesis pada bintang-bintang dan seterusnya, dan fakta bahwa unsur-unsur kita,”tanah liat”, ada pada bintang-bintang 5 milyar tahun lalu. Bagian tanah liat ini membuat kita sangat dekat dengan dunia ini, sangat dekat dengan hewan.

Kita pun mempunyai bagian lainnya, yakni ruh Tuhan. Ruh ini merupakan anugrah Tuhan, dan itu bukan satu-satunya alasan. Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir, tetapi pikiran bukan satu-satunya perbedaan. Berbeda dengan hewan, manusia memiliki kapasitas untuk mengenal Tuhan, untuk menyadari nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya. Dalam tradisi Islam, manusia adalah satu-satunya makhluk di dunia ini yang memiliki kemampuan untuk menyadari seluruh asma Tuhan, seluruh sifat-sifat-Nya. Inilah anugrah dari Ruh Tuhan dalam diri kita. Dalam Islam, tak ada hal-hal yang menyebabkan penentangan terhadap kemungkinan bahwa bentuk dan sifat-sifat manusia yang sama dengan hewan (unsur hewaniah) merupakan hasil dari proses evolusi yang panjang.

Al-Quran tidak menceritakan sejarah dunia. Ia adalah kitab yang khas, sebuah kitab yang mengiring perhatian manusia kepada fakta-fakta signifikan. Ini bukanlah sebuah buku teks ilmiah. Bagian-bagian dari Al-Quran sangat puitis dan misterius, dan ayat-ayatnya bisa di baca dengan berbagai cara. Selama Abad Pertengahan, Al-Quran sering di baca secara harfiah, sangat mirip dengan yang di lakukan orang-orang Yahudi atau Kristen. Namun, ayat-ayat itu selalu terbuka untuk ditafsirkan dan di baca kembali.

Al-Quran menyatakan bahwa ada masa ketika manusia belum diciptakan. Manusia diciptakan untuk Tuhan, tetapi jagat raya di ciptakan untuk manusia, untuk menjadi tempat (lokus) pengetahuan kita mengenai Tuhan. Penciptaan manusia mungkin berlangsung dalam waktu yang sangat lama, tetapi hitungan waktu tidak benar-benar signifikan dari sudut pandang spiritual. Yang penting adalah apa yang sedang terjadi sekarang dan kemampuan kita untuk memahami tindakan Tuhan di jagat raya.

Clayton: Jadi, kisah-kisah tentang bagaimana segala sesuatu terjadi dan bahwa manusia berbeda dari hewan tidak begitu penting dalam Islam, jika dibandingkan dalam agama Kristen? Permasalahan yang penting adalah bagaimana pemahaman manusia saat ini di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia hidup dan berperilaku. Apakah demikian?

Guiderdoni: Ya, saya pikir begitu. Dalam Islam, ada penekanan bagi realisasi spiritual. Realisasi spiritual ini juga sama pentingnya dalam ajaran Buddha dan Hindu. Sebagai orang Barat, kita terbiasa menangani banyak masalah, yang sebagian tidak ada kaitannya dengan kita. Meskipun kita mencapai kesuksesan dalam penjelajahan jagat raya, tujuan penciptaan diri kita bukanlah penemuan jagat raya tersebut. Kita tidak memiliki deskripsi yang luar biasa mengenai sejarah jagat raya. Namun, terlepas dari penemuan-penemuan ini, hal yang penting justru terlupakan: realisasi spiritual manusia. Karenanya, kita butuh lebih banyak pengetahuan daripada yang bisa diberikan oleh sains. Kita di Barat biasa berpikir bahwa kita hanya bisa mengetahui apa yang bisa kita rumuskan menjadi konsep. Agama-agama Timur, termasuk Islam, yang merupakan agama Timur dari sudut pandang ini, mengajarkan bahwa kita bisa mengetahui leih banyak daripada yang bisa kita konsepsikan. Tentu saja, kita (bangsa Barat) sangat piawai memakai nalar kita. Namun, kita pun punya jenis kecerdasan lainnya. Kita mempunyai apa yang disebut oleh filosof Abad Pertengahan sebagai “intelek”, yakni kemampuan untuk merenungkan kebenaran. Jadi, jika kita ingin mencari tahu asal-usul keberadaan kita, kita bisa memperoleh bermacam-macam jawaban. Kita mendapatkan jawaban berdasarkan kosmologi modern, kita pun punya pendekatan spiritual dan mistis.

Jawaban yang lengkap hanya bisa di temukan di akhirat, yang menurut tradisi Islam juga merupakan dunia pengetahuan. Di bumi, kita di batasi oleh hukum alam dan kita hanya bisa mendapat jawaban parsial atas pertanyaan-pertanyaan penting. Di akhirat kelak pengetahuan-langsung akan tersingkap.

Clayton: Dan intuisi spontan dari intellectus pun akan kita dapatkan, sementara di dunia ini kita hanya memiliki cara-cara terbatas untuk mengetahui, dengan nalar modern dan analisisnya, bukan dengan sintesis.

Guiderdoni: Tepat sekali. Kita (Bangsa Barat) sangat berhasil dalam bidang algoritma. Namun, kita lupa bahwa ada jalan lain; kecerdasan tidak hanya bersifat analitis, tetapi juga memiliki sisi sintesis, sebagaimana yang tadi Anda katakan. Ia pun berhubungan dengan misteri kreativitas ilmiah dan penemuan ilmiah. Bagaimanakah sebuah gagasan bisa terbetik dalam benak seorang ilmuan? Ini merupakan pertanyaan besar. Kita bisa saja mengajari mahasiswa kita banyak hal mengenai sains, tetapi kita tidak bisa mengajari mereka bagaimana menemukan, karena kita benar-benar melupakan sisi kontemplatif dalam pikiran manusia dan aktivitas manusia secara umum. Dalam agama, kami menemukan kembali pentingnya jalan kontemplasi.

Clayton: Bisakah amal dan ketaatan religius membuat kita lebih kreatif dan menambahkan bagi sisi analitis suatu cara berpikir yang lebih holistik?

Guiderdoni: Menurut saya, itu mungkin saja. Kita mempunyai contoh orang-orang suci yang sangat kreatif, bukan hanya dalam Islam, tentu saja, melainkan di semua agama. Kami punya kesan bahwa beberapa jenis amal bisa membuka cakrawala berpikir atau membantu pikiran menghilangkan hambatan yang berhubungan dengan hawa nafsu, dan lain sebagainya. Mungkin amal seperti inilah yang bisa membuat seseorang lebih kreatif dan lebih efisien di duni ini. Namun, sekali lagi, itu bukan tujuan utama amal religius. Tujuan utamanya adalah bukanlah penemuan dunia ini, melainkan amal di dunia atas nama Tuhan. Melalui hal itu, kita bisa menemukan Tuhan.

Clayton: Dasar keyakinan Islam adalah Tuhan tidak hanya merupakan Sang Pencipta, tetapi, dalam makna tertentu, juga Sang Pengatur. Dengan kata lain, Dialah Pengatur alam semesta. Apakah dalam tradisi Islam pemahaman mengenai Tuhan semacam ini berubah setelah bersentuhan dengan sains modern atau tetap tidak terpengaruh? Adakah penentangan terhadap keyakinan dan aktivitas Tuhan ini, dikarenakan perkembangan pengetahuan kita atas dunia fisikal ini?

Guiderdoni: Ini pertanyaan yang sangat pelik dan ada beragam jawaban, sesuai dengan periode sejarah yang kita perhatikan. Kini , tidak terdapat perdebatan antara sains dan teologi Islam, karena teologi Islam sudah hampir lenyap. Saat ini kami, Dunia Islam, sedang berada dalam masa sulit. Ada dua kecenderungan utama dalam pemikiran Islam dewasa ini: yang pertama bisa disebut kecenderungan rasionalistis, atau modernisme, yang menerima hasil-hasil sains modern tanpa bersikap kritis. Kecenderungan ini berupa penerimaan menyeluruh terhadap semua hasil pemikiran dan teknologi modern, tanpa upaya kritis untuk mempertanyakan apakah hasil-hasil itu sesuai dengan pemikiran atau teologi Islam. Kecenderungan kedua adalah perspektif fundamentalis: segala sesuat yang datang dari peradaban Barat dianggap buruk hanya karena berasal dari Barat. Kaum fundamentalis ingin membangun sains Islam yang selaras dengan sains modern. Kaum fundamentalis menganggap sains modern sebagai sains Barat atau sains Kristen. Ini benar-benar bertolak belakang dengan tradisi intelek dan spiritual yang luar biasa dalam Islam. Sayangnya, perdebatan dalam Dunia Islam modern sangat langka. Harus ada jalan ketiga di antara kedua jalan ekstrem ini dalam memandang segala hal.

Malangnya, kebanyakan pemikir Muslim lebih tertarik pada masalah sosial dari pada masalah fundamental, karena negara-negara Islam menghadapi begitu banyak masalah ekonomi dan sosial. Jadi, kebanyakan refleksi dalam Islam berpusat pada masalah-masalah tersebut. Namun sesungguhnya, secara historis –d an karena alasan yang sangat kuat -- kecenderungan teologi Islam adalah membahas masalah-masalah fundamental terlebih dulu. Kita tidak bisa mengurusi masalah-masalah sosial atau ekonomi dengan baik tanpa berefleksi pada masalah-masalah fundamental terlebih dulu. Inilah kelemahan besar pemikiran Islam modern dan merupakan penyebab mengapa refleksi Islam modern terhadap masalah sosial dan ekonomi sering tidak mendalam. Itu pula penyebab mengapa kami tergiring pada situasi kekerasan sekarang ini. Pada dasarnya, filsafat Islam telah lenyap pada akhir Abad Pertengahan. Pemikiran Islam mengalami kemunduran kecuali pada bidang tasawuf. Pada bidang ini refleksi selalu ada, tetapi sedikit tersembunyi. Tidak mudah menemukan buku yang bagus atau seseorang yang merenungkan pertanyaan Anda tadi.

Clayton: Apakah Anda memahami kerja yang Anda lakukan sebagai bagian dari upaya membantu perubahan teologi Islam supaya lebih memikirkan pertanyaan ini, umpamanya kerja Anda dengan televisi Prancis?

Guiderdoni: Menurut saya, di Eropa kami lebih siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini karena kami memiliki dasar-dasar intelektual. Kami hidup dengan pertanyaan-pertanyaan semacam in. Mungkin kami lebih siap berpikir lebih tenang, karena kami tidak perlu menghadapi masalah-masalah ekonomi dan politik yang parah seperti di hadapi oleh banyak negara Muslim. Karenanya, kami punya kesempatan untuk berdiskusi. Contohnya, saya sering memberi kuliah tentang soal-soal ini di masjid-masjid dan menemui begitu banyak kaum muda Muslim yang tumbuh di Eropa dan telah meneima pendidikan budaya Barat. Mereka menanti refleksi semacam ini karena hal itu memang diperlukan.

Clayton: Jadi, jika kita berangkat dari anggapan bahwa pemikiran Islam di wilayah ini berada pada tahap awal dan bahwa jawaban yang muncul pastilah sangat spekulatif di mata seorang Muslim, apa pendapat pribadi Anda mengenai hubungan antara Tuhan, aktivitas Tuhan di dunia, dan deskripsi fisikal realitas?

Guiderdoni: Al-Quran tidak menjelaskan terlalu mendetail soal ini. Tapi, ada dua ayat yang bagi saya tampaknya sangat relevan. Satu ayat menyatakan bahwa Tuhan menciptakan dunia dengan matematis. Al-Quran mengatakan bahwa ”matahari dan rembulan beredar menurut suatu perhitungan” (QS Al-Rahman[55]:5).Ada “angka-angka’ di jagat raya. Al-Quran menarik perhatian pembacanya pada segala keteraturan di jagat raya. Ada juga ayat lainnya yang menyatakan bahwa “tiada yang berubah dalam ciptaan Tuhan”. Itu berarti ada keteraturan. Keteraturan yang kita lihat di alam dikarenakan terdapat tatanan sejak awal dan ini bisa di identifikasikan, tentu saja, dengan hukum-hukum alam yang di ciptakan oleh Tuhan. Tuhan membuat hukum-hukum alam menjadi mungkin. Tuhan adalah pemelihara hukum alam.

Clayton: Mungkinkah ini merupakan sebuah pemahaman tentang tindakan Tuhan yang dibahasakan dalam istilah-istilah keteraturan alam dan sifat penciptaan yang seolah memang sengaja di tata?

Guiderdoni: Benar: keteraturan dan tatanan yang terus berlangsung. Ada ayat lain yang sangat indah. Ayat itu menyatakan bahwa kita tak akan mampu menemukan “celah” dalam ciptaan Tuhan. Tak ada yang melenceng. Segalanya serba-teratur dan tertata. Sebab, Tuhan sendiri adalah tatanan. Tuhan adalah keindahan. Dan keindahan yang kita lihat dalam jagat raya adalah bayangan keindahan Tuhan. Ini yang pertama. Hal kedua, yang tak mengejutkan, bahwa keteraturan ini secara mendasar bersifat intelektual. Mereka di bentuk oleh sebuah kecerdasan yang juga menciptakan kecerdasan kita. Oleh karena itu, tak mengherankan apabila kita mampu menjelajahi jagat raya, karena jagat raya bukanlah sebuah negeri asing; ia tak berbeda dari kita. Kita dan alam semesta di ciptakan oleh Kecerdasan yang sama.

Clayton: Dapatkah cara berpikir seperti ini membawa kita pada sebuah pandangan bahwa Tuhan mengendalikan alam semesta tidak dalam bentuk tindakan-tindakan langsung, tetapi dalam bentuk penciptaan awal berupa suatu tatanan yang kemudian membentuk sifat-sifat dunia di masa berikutnya? Atau perlukah menjaga konsep tentang tindakan Tuhan yang terus-menerus ?

Guiderdoni: Dalam teologi Islam, ada doktrin yang disebut pembaharuan penciptaan pada setiap saat. Alasannya adalah bahwa keteraturan di dunia tidak hanya sekadar ada; mereka tak bisa berjalan jika Tuhan tidak memperbarui mereka setiap saat. Gagasan ini juga terdapat dalam filsafat Barat dengan nama ”oksionalisme”. Teologi Islam menggunakan gagasan fisika atomistik, sehingga tentu saja cukup mirip dengan cara pandang kita sekarang terhadap jagat raya, yang juga bersifat atomistik. Namun, teologi klasik Asy’ariyyah, yang berkembang selama abad ke-19 dan ke-10 Masehi, menyatakan bahwa Tuhan menciptakan atom-atom dan aksiden-aksiden setiap saat. Dengan demikian, atom tak memiliki kemampuan untuk berbuat terhadap atom lain karena atom-atom tak cukup mengada. Kausalitas sepenuhnya diadakan oleh Tuhan. Ada sebuah contoh klasik yang diberikan oleh Imam Al-Ghazali, salah seorang pemikir agung Islam. Ia mengatakan bahwa api pada dasarnya tak memiliki kemampuan untuk membakar selembar kertas. Jika kita mendekatkan api pada secarik kertas, kita melihat kertas itu terbakar, tetapi ini bukan karena kita mendekatkan api pada kertas itu. Ini adalah kehendak Tuhan karena api tak memiliki kapasitas dalam dirinya untuk membakar. Ini merupakan sebuah pernyataan yang kuat dan sangat bertentangan dengan cara kita memandang kausalitas di dunia. Kita bisa menerima bahwa Tuhan menciptakan dunia dengan kausalitas, dengan hukum-hukum, tetapi kita merasa bahwa setelah momen penciptaan, Tuhan membiarkan hukum-hukum itu berjalan sendiri secara mekanistis. Teologi Islam klasik menyatakan bahwa pada akhirnya perdebatan tentang kausalitas amatlah rumit dan secara esensial bersifat metafisis. Siapakah yang membuat hukum alam? Apakah hukum-hukum alam terletak pada materi? Mengapa harus ada hukum alam? Newton mengatakan bahwa hukum gravitasi di mungkinkan karena Tuhan ada dan memelihara hukum gravitasi agar tetap ada sepanjang waktu. Akhirnya, saya pikir teologi Islam juga sama. Persoalan-persoalan kausalitas dan kekekalan hukum-hukum fisika adalah pertanyaan-pertanyaan utama yang tak terpecahkan oleh filsafat kita. Orang Barat cenderung membayangkan hukum alam sebagai sebuah deskripsi bersifat perkiraan atas segelintir keteraturan di dunia. Dalam cara pandang ini, materi akan didominasi oleh sebab dan kebetulan, dan kita berusaha menjelaskannya dengan meraba-raba. Namun, dalam cara pandang teologi Islam, hukum-hukum alam adalah “isi” alam semesta. Keteraturan, simetri, dan hukum-hukum kekekalan, itu semua hanya penjelasan kita, cara pikir kita tentang “materi”. Ini karena materi diciptakan oleh intelek. Ia di buat dengan simetri dan matematika.

Clayton: Alangkah menakjubkan. Kini, izinkan saya beralih ke pertanyaan terakhir, sebuah pertanyaan pribadi. Dengan cara bagaimanakah keyakinan agama Anda memotivasi kerja ilmiah Anda dan apakah riset ilmiah atau astrofisika mengilhami keyakinan religius Anda?

Guiderdoni: Barangkali, langkah pertama dalam sebuah perjalanan spiritual akan terkecewakan oleh sejumlah pertanyaan yang tak terjawab dan kita mencoba untuk mencari pengetahuan dengan cara lain ; contohnya dengan bemuhibah ke negeri-negeri Timur, meninggalkan segala kehidupan modern dan menyepi di biara atau padepokan. Namun, itu merupakan pengingkaran kenyataan. Latihan religius yang saya tempuh telah mengajari saya bahwa kita harus menerima realitas apa adanya, sesuai dengan batas-batas kita. Namun, kita harus juga menerima segala keindahan dan kekayaannya. Sains memiliki banyak batasan, tetapi juga memiliki keindahan dan daya tarik yang luar biasa. Inilah alasan mengapa saya terus menggelutinya dan berharap dapat mengembangkan diri di masa depan. Namun, saya melihat kedua aktivitas ini mengarah pada satu realitas yang sama. [amanag-land]

Tuesday, June 28, 2011

Aasiya Inaya: Saya Tidak Bisa Menghindar Dari Kebenaran

Aasiya Inaya, dilahirkan dalam lingkungan keluarga yang menganut agama Hindu yang meyakini bahwa Tuhan itu ada dalam berbagai wujud mulai dari air, sungai, batu sampai pepohonan. Oleh sebab itu, Asiya mengaku bangga sebagai penganut politheis, yang meyakini bahwa semua obyek ciptaan Tuhan layak disembah karena menurutnya, di setiap benda ada bagian Tuhan di dalamnya.

Tapi keyakinan Aasiya mulai berubah ketika ia mengenal Islam, yang mengawali perjalanan panjangnya menjadi seorang Muslimah. Sebelum memutuskan mengucapkan dua kalimah syahadat, Aasiya mengalami pergumulan jiwa yang hebat. Di satu sisi ia mengakui kebenaran Islam, tapi sisi hatinya yang lain masih membuatnya ragu menjadi seorang Muslim.

"Saya pertama kali mengenal Islam di sekolah menengah atas. Mayoritas teman-teman sekelas saya adalah Muslim dan setiap waktu istirahat kami biasa berdiskusi tentang Islam, utamanya karena propaganda anti-Islam yang dilancarkan organisasi-organisasi Hindu di India pasca serangan 11 September dan kerusuhan di Gujarat," kata Aasiya.

Ia melanjjutkan,"Sepanjang pembicaraan, mereka (teman-teman Muslim Aasiya) berusaha untuk meluruskan berbagai pandangan-pandangan saya yang salah tentang agama monoteis, hak perempuan, status mereka dan berbagai mitos tentang Islam yang klise."

"Tapi, upaya mereka tidak begitu meyakinkan saya. Saya tetap memegang teguh keyakinan saya dan tetap bangga sebagai penganut politheis," tukas Aasiya.

Meski demikian, ia mengakui bahwa sikap anti-Muslimnya agak berkurang setelah mendengar penjelasan dari teman-temannya yang Muslim. "Saya mulai merasa tersentuh dengan penderitaan mereka, bagian dari masyarakat kami, yang harus termarginalkan hanya karena ingin menjalankan ajaran agama mereka. Pandangan-pandangan saya pun jadi agak sekular ..." sambung Aasiya.

Tapi semua itu belum menggerakkan hati Aasiya untuk memeluk agama Islam. Aasiya mulai beralih ke kelompok Arya Samaj, sebuah kelompok penganut agama Hindu yang keluar dari mainstream Hinduisme. Kelompok ini meyakini bahwa Hinduisme adalah agama monoteis dan tidak mengajarkan umatnya untuk menyembah berhala. Setelah menjadi bagian kelompok ini, Aasiya tidak lagi menyembah banyak benda, ia melakukan ritual Arya Samaj dan jadi rajin ke kuil.

Setelah beberapa waktu menjalani ritual Arya Samaj, Aasiya menemukan bahwa keyakinan ini juga memiliki banyak cacat dan kekurangan. "Saya merasa kembali berada di sarang laba-laba yang sama, dimana ritual dan penyembahan terhadap api menjadi bagian integral keyakinan itu, sama seperti keyakinan yang saya anut dahulu," paparnya.

"Tapi saya menyebut itu semua sebagai langkah panjang, sebelum akhirnya saya sampai pada keputusan untuk memeluk agama Islam," ujar Aasinya.

"Kejelasan tentang Islam mulai saya rasakan begitu kuat ketika saya menjadi mahasiswa fakultas hukum. Ketika itu saya mengikuti kuliah tentang hukum keluarga dalam agama Hindu dan Islam, mulai dari hukum perkawinan, perceraian dan urusan keluarga lainnya."

"Saya menemukan bahwa hukum keluarga dalam agama Hindu banyak memiliki celah kelemahan karena beragamnya aturan terkait masalah teknis, perbedaan pendapat, sehingga hukum keluarga dalam agama Hindu kerap membingungkan dan tidak pasti. Di sisi lain, hukum keluarga yang diatur oleh Islam, sangat jelas, cermat dan pasti," tutur Aasiya.

Sejak perkualiahan itu, pandangan Aasiya terhadap Islam berubah total. Selama ini, Aasiya memandang Islam sebagai agama yang kaku dan keras. "Saya melihat umat Islam sebagai umat yang statis, hidup berdasarkan pada masa lalu sementara dunia terus berkembang. Buat saya, apa yang diyakini umat Islam tidak masuk akal, tidak praktis, kejam dan ketinggalan jaman," kenang Aasiya mengingat pandangan-pandangannya terhadap Islam di masa lalu.

"Tapi, sejak perkuliahan itu, pendapat saya langsung berubah hanya dalam satu malam. Apa yang selama ini saya anggap statis ternyata sebuah kestabilan. Ini membuat rasa ingin tahu saya tentang Islam memuncak dan saya menghabiskan waktu berjam-jam di internet untuk bicara dengan teman-teman saya yang dulu menjelaskan tentang Islam pada saya," papar Aasiya.

Selain bertanya pada teman-temannya yang Muslim, Aasiya juga mencari berbagai informasi tentang Islam di internet dan aktif mengikuti berbagai forum diskusi. Pengetahuan Aasiya yang mulai bertambah tentang Islam mempengaruhi sikap dan pandangan Aasiyah tentang Islam ketika ia berkumpul dan membahasnya dengan sesama temannya yang beragama Hindu. Perubahan sikap dan pandangan Aasiya, tentu saja tidak mendapat tanggapan negatif dari sahabat-sahabatnya yang Hindu.

"Mereka menyebut bahwa saya sudah mengalami 'cuci otak' yang ingin mengubah penganut Hindu menjadi pemeluk Islam," kata Aasiya tentang pendapat teman-teman Hindunya.

Saat itu, Aasiya mengaku khawatir dan takut melihat ketidaksetujuan teman-temannya tentang Islam dan ia merasa telah mengkhianati teman bahkan keluarganya. Tapi keyakinan Aasiya akan kebenaran Islam justeru makin kuat dan ia merasa tidak bisa lari dari kebenaran itu.

"Sampai kapan orang bisa menghindar dari kebenaran? Anda tidak bisa hidup dalam kebohongan dan menerima kebenaran membutuhkan keberanian seperti yang disebutkan dalam ayat Al-Quran dalam surat An-Nisaa; ' Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan'."

"Hari itu, semua rasa kekhawatiran saya lenyap. Saya merasa, jika saya tidak pernah memeluk Islam dan selamanya saya tidak akan pernah memiliki Islam, saya akan tetap dicengkeram oleh kompleksnya kehidupan yang materialistis ini, dimana hawa nafsu membuat kita enggan melakukan hal-hal yang benar," tandas Aasiya.

Aasiya akhirnya memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan resmi menjadi seorang Muslim. "Alhamdulillah, hari ini saya menjadi seorang Muslimah. Saya berusaha belajar dan terus belajar al-Quran dan Sunnah Rasulullah Muhammad Saw. Insya Allah, saya akan mengikuti sunah-sunahnya dengan lebih baik. Dengan bantuan beberapa teman dan sebuah organisasi Islam, saya belajar salat lima waktu," tuturnya.

Persoalan Aasiya sekarang adalah memberitahukan tentang keislamannya pada teman-teman Hindunya dan orangtuanya. "Cepat atau lambat, saya pasti akan memberitahu mereka. Saya berharap mereka menghormati keputusan saya dan saya berdoa, semoga Allah swt memberikan kekuatan sehingga saya bisa istiqomah dengan keputusan saya menjadi seorang Muslim," tandas Aasiya. (ln/readislam/eramuslim)


sumber :swaramuslim.net

Jerarld F Dirks mantan pendeta, Temui Kenikmatan dan Disiplin dalam Islam

Jerald F Dirks, sebelumnya ialah seorang pendeta yang dinobatkan sebagai Ketua Dewan Gereja Metodis Kini peraih gelar Bachelor of Arts (BA) dan Master of Divinity (M Div) dari Universitas Harvard, serta pemegang gelar Master of Arts (MA) dan Doctor of Psychology (Psy D) dari Universtas Denver, Amerika Serikat, menjalani kehidupan sebagai seorang muslim.

Dibesarkan di tengah lingkungan masyarakat penganut kepercayaan Kristen Metodis, membuat Jerald kecil terbiasa dengan suara dentingan lonceng yang kerap mengalun dari sebuah bangunan tua Gereja Kristen Metodis yang berjarak hanya dua blok dari rumahnya. Bunyi lonceng yang bergema setiap Minggu pagi ini menjadi tanda bagi seluruh anggota keluarganya agar segera menghadiri kebaktian yang diadakan di gereja.

Tidak hanya dalam urusan kebaktian saja, tetapi juga dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh pihak Gereja Kristen Metodis, seluruh anggota keluarga ini turut terlibat secara aktif. Karenanya tak mengherankan jika sejak usia kanak-kanak Jerald sudah diikutsertakan dalam kegiatan yang diadakan oleh pihak gereja. Salah satunya adalah mengikuti sekolah khusus selama dua pekan yang diadakan oleh pihak gereja setiap bulan Juni. Selama mengikuti sekolah khusus ini, para peserta mendapat pengajaran mengenai Bibel.

''Secara rutin saya mengikuti sekolah khusus ini hingga memasuki tahun kedelapan, selain kebaktian Minggu pagi dan sekolah Minggu yang diadakan setiap akhir pekan,'' ungkap muallaf kelahiran Kansas tahun 1950 ini. Diantara para peserta sekolah khusus ini, Jerald termasuk yang paling menonjol. Tidak pernah sekalipun ia absen dari kelas. Dan dalam hal menghafal ayat-ayat dalam Bibel, ia kerap mendapatkan penghargaan.

Keikutsertaan Jerald dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas Gereja Metodis terus berlanjut hingga ia memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Diantaranya ia terlibat secara aktif dalam organisasi kepemudaan Kristen Metodis. Dia juga kerap mengisi khotbah dalam acara kebaktian Minggu yang khusus diadakan bagi kalangan anak muda seusianya.

Dalam perjalanannya, khotbah yang ia sampaikan ternyata menarik minat komunitas Kristen Metodis di tempat lain. Ia pun kemudian diminta untuk memberikan khotbah di gereja lain, panti jompo, dan dihadapan organisasi-organisasi kepemudaan yang berafiliasi dengan Gereja Metodis. Sejak saat itu Jerald bercita-cita ingin menjadi seorang pendeta kelak.

Ketika diterima di Universitas Harvard, Jerald tidak mensia-siakan kesempatan demi mewujudkan cita-citanya itu. Ia mendaftar pada kelas perbandingan agama yang diajar oleh Wilfred Cantwell Smith untuk dua semester. Di kelas perbandingan agama ini Jerald mengambil bidang keahlian khusus agama Islam.

Namun, selama mengikuti kelas ini Jerald justru lebih tertarik untuk mempelajari agama Budha dan Hindu. Dibandingkan dengan Islam, menurut dia, kedua ajaran agama ini tidak ada kemiripan sama sekali dengan keyakinan yang ia anut selama ini.

Akan tetapi untuk memenuhi tuntutan standar kelulusan akademik, Jerald diharuskan untuk membuat makalah mengenai konsep wahyu dalam Alquran. Ia mulai membaca berbagai literatur buku mengenai Islam, yang sebagian besar justru ditulis oleh para penulis non-muslim. Ia juga membaca dua Alquran terjemahan bahasa Inggris dalam versi yang berbeda.

Diluar dugaannya buku-buku tersebutlah yang di kemudian hari justru membimbingnya ke kondisi seperti saat ini. Makalah tersebut membuat pihak Harvard memberikan penghargaan Hollis Scholar kepada Jerald. Sebuah penghargaan tertinggi bagi para mahasiswa jurusan Teologi Universitas Harvard yang dinilai berprestasi.

Untuk mewujudkan cita-citanya, bahkan Jerald rela mengisi liburan musim panasnya dengan bekerja sebagai seorang pendeta cilik di sebuah Gereja Metodis terbesar di negeri Paman Sam tersebut. Pada musim panas itu pula ia mendapatkan sertifikat untuk menjadi seorang pengkhotbah dari pihak Gereja Metodis Amerika.

Setelah lulus dari Harvard College di tahun 1971, Jerald langsung mendaftar di Harvard Divinity School atau sejenis sekolah tinggi teologi atas beasiswa dari Gereja Metodis Amerika. Selama menempuh pendidikan di bidang teologi, Jerald juga mengikuti program magang sebagai di Rumah Sakit Peter Bent Brigham di Boston.

Ia lulus dari sekolah tinggi ini tahun 1974 dan mendapatkan gelar Master di bidang teologi. Selepas meraih gelar master teologi, ia sempat menghabiskan liburan musim panasnya dengan menjadi pendeta pada dua Gereja Metodis Amerika yang berada di pinggiran Kansas.

Aktivitasnya sebagai seorang pendeta tidak hanya terbatas di lingkungan gereja saja. Ia mulai merambah ke cakupan yang lebih luas, mulai dari lingkungan sekolah, perkantoran, hingga pesan-pesan ajaran Kristen Metodis ia juga gencar sampaikan kepada para pasien yang datang ke tempat praktiknya sebagai seorang dokter ahli kejiwaan.

Meninggalkan aktivitas gereja

Namun, berbagai upaya dakwah ini dinilainya tidak memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat di sekitar ia tinggal. Ia justru menyaksikan terjadinya penurunan moralitas di tengah-tengah kehidupann beragama masyarakat Amerika. Bahkan kondisi serupa juga terjadi di lingkungan gereja.

''Dua dari tiga pasangan di Amerika selalu berakhir dengan perceraian, aksi kekerasan meningkat di lingkungan sekolah dan di jalanan, tidak ada lagi rasa tanggung jawab dan disiplin di kalangan anak muda. Bahkan yang lebih mencengangkan diantara para pemuka Kristen ada yang terlibat dalam skandal seks dan keuangan. Masyarakat Amerika seakan-akan sedang menuju kepada kehancuran moral,'' paparnya.

Melihat kenyataan seperti ini, Jerald mengambil keputusan untuk menyendiri dan tidak lagi menjalani aktivitasnya memberikan pelayanan dan khotbah kepada para jemaat. Sebagai gantinya ia memutuskan untuk ikut terlibat aktif dalam kegiatan penelitian yang dilakukan oleh sang istri. Penelitian mengenai sejarah kuda Arab ini membuat ia dan istrinya melakukan banyak kontak dengan warga Amerika keturunan Muslim Arab . Salah satunya adalah dengan Jamal.

Babak pergaulan dengan Arab Muslim

Pertemuan Jerald dengan pria Arab-Amerika ini pertama kali terjadi pada musim panas tahun 1991. Dari awalnya sekedar berhubungan melalui sambungan telepon, kemudian berlanjut pada saat Jamal berkunjung ke rumah Jerald. Pada kunjungan kali pertama ini, Jamal menawarkan jasa untuk menterjemahkan berbagai literatur dari bahasa Arab ke Inggris yang disambut baik oleh Jerald dan istrinya.

Ketika waktu shalat ashar tiba, sang tamu kemudian meminta izin agar diperbolehkan menggunakan kamar mandi dan meminjam selembar koran untuk digunakan sebagai alas shalat. Apa yang diminta oleh tamunya itu diambilkan oleh Jerald, kendati dalam hati kecilnya ia berharap bisa meminjamkan sesuatu yang lebih baik dari sekedar lembaran surat kabar sebagai alas shalat. Untuk kali pertama ia melihat gerakan shalat dalam agama Islam.

Aktivitas shalat ashar itu terus ia lihat manakala Jamal dan istrinya berkunjung ke rumah mereka seminggu sekali. Dan, hal itu membuat Jerald terkesima. ''Selama berada di rumah kami, tidak pernah sekalipun ia memberikan komentar mengenai agama yang kami anut. Begitu juga ia tidak pernah menyampaikan ajaran agama yang diyakininya kepada kami. Yang dia lakukan hanya memberikan contoh nyata yang amat sederhana, seperti berbicara dengan suara serendah mungkin jika ada diantara kami yang bertanya mengenai agamanya. Ini yang membuat kami kagum,'' ungkapnya.

Dari perkenalannya dengan Jamal dan keluarganya, justru Jerald mendapat banyak pelajaran yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya. Sang tamu telah menunjukkan kepadanya sebuah pelajaran disiplin melalui shalat yang dilaksanakannya. Selain pelajaran moral dan etika yang diperlihatkan Jamal dalam urusan bisnis dan sosialnya serta cara Jamal berkomunikasi dengan kedua anaknya. ''Begitu juga yang dilakukan oleh istrinya menjadi contoh bagi istriku.''

Tidak hanya itu, dari kunjungan tersebut Jerald juga mendapatkan pengetahuan seputar dunia Arab dan Islam. Dari Jamal, ia bisa mengetahui tentang sejarah Arab dan peradaban Islam, sosok Nabi Muhammad, serta ayat-ayat Alquran berikut makna yang terkandung di dalamnya. Setidaknya Jerald meminta waktu kurang lebih 30 menit kepada tamunya untuk berbicara mengenai segala aspek seputar Islam. Dari situ, diakui Jerald, dirinya mulai mengenal apa dan bagaimana itu Islam.

Kemudian oleh Jamal, Jerald sekeluarga diperkenalkan kepada keluarga Arab lainnya di masyarakat Muslim setempat. Diantaranya keluarga Wa el dan keluarga Khalid. Dan secara kontinyu, ia melakukan interaksi sehari-hari dengan komunitas keluarga Arab Amerika ini. Dari interaksi tersebut, Jerald mendapatkan sesuatu ajaran dalam Islam yang selama ini tidak ia temui manakalan berinteraksi dengan komunitas masyarakat Kristen, yakni rasa persaudaraan dan toleransi.

Baru di awal Desember 1992, sebuah pertanyaan mengganjal timbul dalam pikirannya, ''Dirinya adalah seorang pemeluk Kristen Metodis, tapi kenapa dalam keseharian justru bergaul dan berinteraksi dengan komunitas masyarakat Muslim Arab?.'' Sebuah komunitas masyarakat yang menurutnya menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika, serta mengedepankan sikap saling menghargai baik terhadap pasangan masing-masing, anggota keluarga maupun sesama. Sebuah kondisi yang pada masa sekarang hampir tidak ia temukan dalam masyarakat Amerika.

Serangkaian Kejadian Tak Terduga

Untuk menjawab keraguannya itu, Jerald memutuskan untuk mempelajari lebih dalam ajaran Islam melalui kitab suci Alquran. Dalam perjalanannya mempelajari Aquran, sang pendeta ini justru menemukan nilai-nilai yang sesuai dengan hati kecilnya yang selama ini tidak ia temukan dalam doktrin ajaran Kristen yang dianutnya.

Kendati demikian, hal tersebut tidak lantas membuatnya memutuskan untuk masuk Islam. Ia merasa belum siap untuk melepaskan identitas yang dikenakan selama hampir 43 tahun lamanya dan berganti identitas baru sebagai seorang muslim.

Begitu pun ketika ia bersama sang istri memutuskan untuk mengunjungi kawasan Timur Tengah di awal tahun 1993. Ketika itu, ia seorang diri makan di sebuah restoran yang hanya menyajikan makanan Arab setempat. Sang pemilik restoran, Mahmoud, kala itu memergoki dirinya tengah membaca sebuah Alquran terjemahan bahasa Inggris. Tanpa berkata sepatah kata pun, Mahmoud melontarkan senyum ke arah Jerald.

Kejadian tak terduga lagi-lagi menghampirinya. Istri Mahmoud, Iman, yang merupakan seorang Muslim Amerika, mendatangi mejanya sambil membawakan menu yang ia pesan. Kepadanya Iman berkomentar bahwa buku yang ia baca adalah sebuah Alquran. Tidak hanya itu, Iman juga bertanya apakah Jerald seorang muslim sama seperti dirinya. Pertanyaan tersebut lantas ia jawab dengan satu kata: Tidak.

Namun ketika Imam menghampiri mejanya untuk menyerahkan bukti tagihan, tanpa disadari Jerald melontarkan kalimat permintaan maaf atas sikapnya, seraya berkata: ''Saya takut untuk menjawab pertanyaan Anda tadi. Namun jika Anda bertanya kepada saya apakah saya percaya bahwa Tuhan itu hanya satu, maka jawaban saya adalah ya. Jika Anda bertanya apakah saya percaya bahwa Muhammad adalah salah satu utusan Tuhan, maka jawaban saya akan sama, iya.'' Mendengar jawaban tersebut, Iman hanya berkata: ''Tidak masalah, mungkin bagi sebagian orang butuh waktu lama dibandingkan yang lain.''

Ikut berpuasa dan shalat

Ketika memasuki minggu kelima masa liburannya di Timur Tengah atau bertepatan dengan masuknya bulan Ramadhan yang jatuh pada bulan Maret tahun 1993, untuk kali pertama Jerald dan istrinya menikmati suasana lain dari ibadah orang Muslim. Demi menghormati masyarakat sekitar, ia dan istri ikut serta berpuasa. Bahkan pada saat itu, Jerald juga mulai ikut-ikutan melaksanakan shalat lima waktu bersama-sama para temannya yang Muslim dan kenalan barunya yang berasal dari Timur Tengah.

Bersamaan dengan akan berakhirnya masa liburannya menjelajah kawasan Timur Tengah, hidayah tersebut akhirnya datang. Peristiwa penting dalam hidup Jerald ini terjadi manakala ia diajak seorang teman untuk mengunjungi Amman, ibukota Yordania.

Pada saat ia melintas di sebuah jalan di pusat ibukota, tiba-tiba seseorag lelaki tua datang menghampirinya seraya mengucapkan, Salam Alaikum dan mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman, serta melontarkan pertanyaan apakah iaseorang Muslim?. Sapaan salam dalam ajaran Islam itu membuatnya kaget. Di sisi lain, karena kendala bahasa, ia bingung harus menjelaskan dengan cara apa ke orang tua tersebut bahwa ia bukan seorang Muslim. Terlebih lagi teman yang bersamanya juga tidak mengerti bahasa Arab.

Mengikrarkan Keislaman

Saat itu Jerald merasa dirinya tengah terjebak dalam situasi yang sulit diungkapkan. Pilihan yang ada dihadapannya saat itu hanya dua, yakni berkata N'am yang artinya iya atau berkata La yang berarti tidak. Hanya ia yang bisa menentukan pilihan tersebut, sekarang atau tidak sama sekali.

Setelah berpikir agak lama dan memohon petunjuk dari Allah, Jerald pun menjawabnya dengan perkataan N'am. Sejak peristiwa tersebut, ia resmi menyatakan diri masuk Islam. Beruntung hidayah tersebut juga datang lepada istrinya di saat bersamaan. Sang istri yang kala itu berusia 33 tahun juga menyatakan diri sebagai seorang Muslimah.

Bahkan tidak lama berselang setelah kepulangannya ke Amerika, salah seorang tetangganya yang juga merupakan seorang pendeta mendatangi kediamannya dan menyatakan ketertarikannya tehadap ajaran Islam. Dihadapannya, tetangganya yang telah berhenti menjadi pendeta Metodis ini pun berikrar masuk Islam.

Kini hari-hari Jerald dihabiskan untuk kegiatan menulis dan memberikan ceramah tentang Islam dan hubungan antara Islam dan Kristen. Bahkan ia juga kerap diundang sebagai bintang tamu dalam program Islam di televisi di banyak negara.

Salah satu hasil karyanya yang menjadi best seller adalah "The Cross and the Crescent: An Interfaith Dialogue between Christianity and Islam". Selain itu ia juga menulis lebih dari 60 artikel tentang ilmu perilaku, dan lebih dari 150 artikel tentang kuda Arab dan sejarahnya. (dia/RIOL/berbagai sumber)

Monday, June 27, 2011

Moisha Krivitsky, dari Sinagog Pindah ke Masjid

Setiap orang menempuh jalannya masing-masing dalam menuju kebenaran. Bagi seorang Moisha Krivitsky, jalan yang ditempuhnya melewati fakultas hukum, sebuah sinagog dan penjara. Ia seorang calon pengacara yang menjadi rabi, lalu memeluk Islam dan pernah dijebloskan ke penjara.

Sekarang Musa -- demikian nama yang yang dipilihnya setelah ia menjadi seorang Muslim, tinggal di sebuah masjid kecil di Al-Burikent, sebuah daerah pegungungan di Makhachkala, dan bekerja sebagai seorang penjaga di Masjid Jami Pusat.

Dalam sebuah kesempatan, kami berbincang-bincang mengenai dirinya, bagaimana ia menjadi seorang Muslim dan tinggal di sebuah masjid.

Musa mengawali ceritanya dengan menyampaikan bahwa ia seperti begitu saja tiba di masjid itu dan kemudian tinggal di sana. Namun sebelumnya ia menempuh perjalan yang cukup sulit.

“Jika Anda mendalami Islam, Anda akan mengerti bahwa Islam adalah agama yang sangat mudah. Namun, perjalanan yang harus ditempuh untuk menuju Islam bisa jadi sangat sulit. Seringkali orang tidak paham mengapa seseorang bisa berpindah agama, memeluk Islam. Islam itu seperti apa yang kita bayangkan dan yang tidak kita bayangkan,” katanya.

Ketika dikatakan kepadanya bahwa seorang rabi pindah agama memeluk Islam adalah sesuatu yang cukup menghebohkan, ia berkata, “Sebenarnya itu sudah tidak lagi menghebohkan -- sudah lebih dari satu tahun saya menjadi Muslim. Awalnya memang aneh juga buat saya. Tapi keputusan yang saya buat itu bukanlah keputusan yang tiba-tiba. Sebelum menjadi Muslim, saya membaca buku-buku tentangnya, dan saya pun tertarik.”

“Saya lulus sekolah agama setingkat sekolah menengah atas. Setelah kelulusan saya pergi ke Makhachkala dan menjadi seorang rabi di sana.”

“Saya berasal dari sebuah daerah yang sangat jauh. Tapi sekarang saya sudah seperti menjadi orang Daghestan sejati. Di sini saya punya banyak teman, Muslim dan juga orang-orang yang sangat jauh dari Islam.”

Musa kemudian menceritakan pengalamannya ketika masih di sinagog.

“Ketika itu situasinya cukup paradoks. Ada sebuah masjid di dekat sinagog tempat saya bekerja. Sebuah masjid kota. Kadang-kadang teman-teman saya yang merupakan jama'ah masjid itu datang ke tempat saya, hanya untuk berbincang-bincang. Kadangkala saya pun mendatangi masjid itu, untuk melihat bagaimana peribadatan di sana dilakukan. Saya sangat tertarik. Jadilah kami hidup layaknya bertetangga yang baik. Dan pada suatu saat di bulan Ramadhan, seorang wanita datang mengunjungi saya -- yang kemudian saya ketahui berasal dari keluarga yang turun-temurun memeluk Islam. Ia meminta pendapat saya mengenai terjemahan Al-Qur'an yang dibuat oleh Krachkovsky. Sebagai balasannya, ia meminta saya untuk memberikan Taurat. Maka kemudian Al-Qur'an itu saya baca, kira-kira sepuluh kali.”

“Awalnya sangat sulit, tapi kemudian setahap demi setahap saya saya mulai mengerti, dan bisa menangkap ajaran dasar Islam.”

Sejenak Musa menghentikan ceritanya. Ia melihat ke arah seorang putra teman saya, Ahmad kecil yang berusia enam tahun tertidur di pelataran masjid. Ia menyarankan agar bocah itu dipindahkan ke dalam masjid.

Kemudian Musa melanjutkan ceritanya.

“Wanita itu mengembalikan Tauratnya. Menurut dia sangat sulit baginya untuk membaca serta memahami isinya. Sebagaimana membaca literatur agama, diperlukan konsentrasi dan perhatian yang sangat tinggi.”

“Saya menemukan jawaban di Qur'an tentang banyak pertanyaan Tapi tentu tidak semuanya, karena yang saya baca bukan asli bahasa Arab, melainkan terjemahannya.” Jawab Musa ketika ditanya apakah ketika itu ia mulai membandingkan antara Al-Qur'an dengan Taurat.

“Meskipun demikian saya mulai memahami banyak hal,” lanjutnya.

Kami bertanya apakah itu artinya ada pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh Taurat?

“Saya tidak tahu, dalam setiap hal ada yang Allah kehendaki di sana,” katanya.

“Sepertinya, orang-orang Yahudi yang masuk Islam pada jaman Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam, tidak menemukan jawaban di Taurat atas beberapa pertanyaan mereka. Namun, mereka menemukannya dalam Islam. Mungkin juga mereka tertarik akan kepribadian Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam, akhlaknya, dan caranya berkomunikasi dengan orang. Itu semua adalah hal yang penting.”

Lalu pertanyaan seperti apa yang tidak bisa dijawab oleh Taurat?

“Sebelum saya ada kontak dengan Islam, ada pertanyaan-pertanyaan yang bahkan tidak saya upayakan untuk mencari jawabannya. Sepertinya sebuah buku berperan penting di sini, yaitu yang ditulis oleh Ahmad Deedat, cendikiawan yang berasal dari Afrika Selatan. Buku yang membandingkan Al-Qur'an dengan Bibel.”

“Ada satu kalimat kunci, yang sangat dikenal oleh mereka yang akrab dengan masalah-masalah keagamaan, yaitu ikutilah Nabi Muhammad, seorang rasul yang akan datang kemudian. Dan ketika saya mempelajari Islam, saya yakin bahwa Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam, adalah nabi yang benar, yang harus diikuti. Keduanya, Bibel dan Taurat menyuruh kita untuk melakukannya.”

Apakah yang Taurat katakan mengenai nabi yang terakhir itu?

“Kita tidak akan menemukan namanya di dalam Taurat. Tapi, kita bisa mengetahui ciri-cirinya dengan kunci khusus. Sebagai contoh, kita bisa mengetahuinya dengan melihat sejarah orang ini dalam masalah peribadatan. Satu hal yang menggambarkan tentang Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam adalah beliau akan menyembah hanya kepada satu Tuhan saja, Pencipta Tunggal dari dunia ini. Dan Nabi Muhammad cocok dengan ciri-ciri yang diberikan.”

“Ketika saya membaca mengenai hal itu, saya menjadi sangat tertarik. Saya tidak tahu apa-apa tentang Islam sebelumnya. Kemudian saya berusaha mengkajinya lebih dalam, dan mencari tahu apakah ada mukjizat dan tanda-tanda berkaitan dengan nabi itu.”

“Dalam Bibel dikatakan bahwa Tuhan memberikan mujizat kepada para nabi untuk menegaskan tugas khusus yang diberikan kepadanya di mata orang banyak

“Saya bertanya kepada para ulama tenang hal ini, mereka mengatakan, 'Ini sekumpulan hadits shahih yang menggambarkan mukjizat-mukjizat yang berkaitan dengan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam. Kemudian saya membacanya dan menemukan bahwa beliau sering berkata, ada para nabi dan rasul yang pernah diutus sebelum dirinya.”

“Kita dapat menemukan nama-namanya dalam Bibel dan juga Taurat. Ketika saya mulai tertarik lebih dalam, hal itu kedegarannya seperti aneh bagi saya.”

“Akhirnya, apa yang saya lakukan membawa saya kepada keadaan sekarang ini. Kadang saya berpikir, mengapa saya lakukan ini semua? Mungkin saya harus bertaubat karena punya pikiran seperti itu.”

Kami bertanya kepadanya, setelah menjadi Muslim, apakah ia merasa punya tanggung jawab yang lebih terhadapnya, atau ada perasaan lain.

Musa menjawab, “Ya, ada rasa tanggung jawab. Tapi juga ada yang lain. Saya katakan dengan tegas, ketika seseorang menjadi Muslim, berarti ia menapakkan kedua kakinya ke tanah dengan kuat. Islam sangat membantu orang-orang. Saya tidak jujur jika mengatakan bahwa di Daghestan ini semua adalah Muslim yang sebenarnya.”

“Kadang kami berdiskusi mengenai hal itu di masjid. Saya katakan tidak banyak orang Islam yang benar-benar Muslim di Daghestan. Hanya para ustadz dan murid-muridnya. Selebihnya, kita ini hanya orang-orang yang 'calon Muslim'. Saya tidak bisa mengatakan bahwa kita ini umumnya telah mengikuti apa yang diajarkan dalam sunnah nabi. Kita hanya berusaha mengikutinya. Dan kita masih banyak tidak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Sebaliknya, kita malah berusaha berkelit mencari alasan-alasan yang masuk akal.”

Kenyataan bahwa banyak orang Islam yang tidak memegang teguh dan menjalankan agamanya dengan benar, sempat membuat Musa bingung.

“Kita harusnya berusaha keras menjalankan kewajiban kita. Sulit bagi saya menyaksikan hal ini, kadang saya dibuyarkan oleh apa yang terjadi di sekitar. Saya berusaha mengatasinya, dan kelemahan saya terlihat jelas di sini. Bukan berarti saya putus asa. Tapi saya juga tidak berhak mengatakan bahwa saya sudah menjalankan Islam dengan sebenarnya.”

Ada hal yang ia tidak pernah pikirkan sebelum masuk Islam.

“Ketika saya memutuskan bahwa saya harus menjadi seorang Muslim, saya pikir Islam itu tidak 'bercabang-cabang', hanya satu jalan atau seperti sebuah samudera yang tidak terbelah. Tapi kemudian saya menemukan ada beberapa cabang pemikiran dalam Islam. Dan sejak itu mulai muncul beberapa pertanyaan. Cabang-cabang pemikiran itu seperti pusaran air [yang menarik orang masuk ke dalamnya] yang berputar, terus berputar dengan keras. Orang berkata kepada Anda, 'Lihat, kami mengikuti hadits, hanya kami yang mengerti Qur'an dengan benar'. Lalu Anda mengikuti orang itu, karena Anda pikir orang itu berkata hal yang benar. Dan karena Anda ingin membuat Allah ridha.”

“Tapi beberapa bulan kemudian Anda akan tahu, bahwa semua klaim seperti itu adalah keliru. Allah yang menjadikan kita bisa berbuat baik. Tentu Anda akan berpikir, jika mereka mengaku menempuh jalan yang benar, maka mengapa mereka juga melakukan hal yang salah?”

Kemudian Musa bercerita tentang pengalamannya dijebloskan ke penjara.

“Allah berkehendak atas segala sesuatunya. Dan itu termasuk kehendak Allah.”

“Dari apa yang saya alami selama ini, hidup di balik jeruji besi, mengajarkan sesuatu kepada saya.”

“Beberapa waktu lalu saya melihat sebuah acara di televisi yang menampilkan seorang wakil dari Republik Chechnya di Moskow. Saya lupa namanya, hanya ingat jika namanya itu bagus dan kedengaran seperti nama orang Perancis, seperti Binaud atau semacamnya. Ia mengatakan bahwa penguasa akan melakukan tindakan seperti sebelumnya, yaitu menyatroni rumah-rumah, menyusupkan obat terlarang dan senjata kepada orang-orang [sebagai jebakan]. Kemudian orang akan turun ke jalan melakukan protes. Hal seperti itu sering terjadi di sini.”

“Mereka juga menyusupkannya kepada saya. Kemudian pada malam harinya mereka mendatangi dan membawa saya pergi. Sebelumnya, saya menangkap ada semacam permainan hukum di sini. Saya tidak percaya mereka tega melakukan hal seperti itu. Itu bukanlah cara yang benar. Saya tidak boleh berkata kasar mengomentariya, karena Islam melarang hal itu. Yang pasti Allah Maha Mengetahui, dan orang-orang itu harus mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya di akhirat nanti.”

“Tiga bulan di penjara, justru menebalkan iman saya.”

“Saya melihat bagaimana orang-orang bertahan dalam situasi yang sangat parah, baik itu Muslim maupun non Muslim. Seharusnya mereka yang memegang kekuasaan berpikir dengan baik. Bahwa mereka tidak perlu berusaha membasmi Islam dengan cara yang tidak baik.”

Kami bertanya, mungkin saja ia membuat takut penguasa.

Musa menjawab, “Tidak mungkin, bahkan anak kecil saja tidak takut kepada saya.”

Pembicaraan kami terputus ketika adzan yang sangat indah dikumandangkan.

“Apakah ada seorang muadzin di masjid ini?” kami bertanya karena penasaran.

“Ya, namanya Muamat Tarif. Yang barusan kita dengar adalah suaranya,” kata Musa.

“Apakah hanya Anda dan dia yang bekerja di masjid ini?” tanya kami lebih lanjut.

“Sebenarnya hanya dia yang bekerja di sini. Saya masih agak canggung setelah keluar dari penjara. Ia mengijinkan saya tinggal di sini. Agak sulit untuk menceritakannya. Ada sedikit masalah dengan orang-orang yang tinggal satu flat dengan saya. Sepertinya tidak ada saling memahami antara kami. Dan saya mulai melihat mereka agak berbeda,” cerita Musa.

Ingin rasanya mendengar cerita Musa lebih banyak lagi. Tapi tidak baik mencari-cari tahu tentang kehidupan seseorang lebih jauh.

Orang-orang mulai berdatangan ke masjid. Kami pun bangkit dan bergegas untuk bersama-sama menunaikan shalat. [di/msc dengan narasumber/

sumber : www.hidayatullah.com

Pemuda Kanada;Ku Reguk Nikmatnya Al-Qur’an di Gaza

Oleh: Tim dakwatuna.com


“Kedatanganku dari Kanada ke Gaza untuk menghafal al-Quran tidak sia-sia … Waktu yang aku gunakan untuk menghafal Kitabullah Ta’ala berpahala sangat besar … Pelaksanaan perkemahan hafalan al-Quran di Jalur Gaza sangat indah dan istimewa… Dalam suasana yang sangat menyenangkan, canda, bermain dan hiburan bernuansa syar’i.”
Dengan kata-kata inilah seorang remaja asal Kanada bernama Muhammad Ziyara, berusia 15 tahun, mengungkapkan perasaan gembiranya saat ikut dalam perkemahan “Tajul Waqar” (mahkota ketegaran) untuk menghafal al-Quran di Jalur Gaza.
Ziyara datang ke Jalur Gaza mengikuti perkemahan ini atas kehendak dirinya sendiri. Dia mengatakan, “Sejak hari pertama kedua kakiku menginjakkan tanah Gaza melalui gerbang perlintasan darat Rafah, ku daftarkan keikutsertaanku dalam perkemahan “Taajul Waqar” untuk menghafal al-Quran, yang disponsori oleh yayasan “Darul Quran dan Sunnah”.
Kepada koresponden Infopalestina, remaja yang menghafal al-Quran dalam halaqah “Taajul Waqar” di masjid al Tauhid was Sunnah di kampung al-Durj di timur kota Gaza, ini mengatakan, “Sejak kecil aku tinggal bersama keluargaku di Kanada. Aku hidup di sana sebagai anak yang normal. Namun ketika kami telah memutuskan untuk kembali ke tanah air kami di Gaza, aku segera punya ide untuk mendaftar di perkemahan hafalan al-Qur’an.”
Ziyara tinggal selama lima hari di Jalur Gaza, setelah itu kembali ke Kanada. Mestinya waktu liburan ini ia gunakan untuk bermain dan bersenang-senang. Namun ia lebih memilih menghabiskannya dalam perkemahan untuk menghafal al-Quran, lebih dekat dengan Dzat yang Menurunkan Wahyu dan lebih dalam pengetahuan tentang Kitab-Nya. Demikian penuturan Ziyara.
Istimewa dan Rekreatif
Mengomentari pelaksanaan perkemahan hafalan al-Quran selama musim panas di Jalur Gaza, remaja asal Kanada ini mengatakan, pelaksanaan perkemahan hafalan al-Quran indah dan istimewa. Terjadi persaingan mulia di antara siswa, dan saling berlomba sebanyak mungkin hafalan di halaqah tahfidz (kelompok hafalan). Dia menambahkan,
“Aku menemukan semua siswa semangat dalam menghafal. Dalam sehari, aku bisa menghafal rata-rata 8 sampai 10 halaman sejak awal saya ikut dalam perkemahan al-Quran ini.”
“Bakda subuh kami mulai menghafal sampai shalat dzuhur. Setelah itu kami beristirahat.”
Al Quran di Eropa
Ziyara bercerita perihal Islam di Eropa, khususnya di Kanada, ia menjelaskan; “Islam adalah agama yang tersebar merata di semua penjuru bumi. Di Eropa ada banyak islamic center dan masjid yang menfasilitasi untuk menghafal al Qur’an, tetapi banyak orang Arab tidak fasih berbicara dalam bahasa Arab, karena lamanya mereka tinggal di Barat. Demikian juga proses hafalan al Qur’an, lambat dibandingkan dengan apa yang kulihat di Jalur Gaza ini.”
Di akhir pembicaraannya, Ziyara menyampaikan pesan terima kasih kepada penyelenggaran perkemahan dan lembaga yang menyeponsorinya. Dia mengatakan, “Aku yakin kedatanganku dari Kanada ke Gaza untuk menghafal al- Quran tidak akan sia-sia.”
Program Berkesinambungan
Sabtu (13/6), Yayasan Darul Quran dan Sunnah di Jalur Gaza membuka perkemahan bertajuk “Taajul Waqar” dengan tujuan mencetak para penghafal al-Quran. Dr. Abdurrahman al Jamal, ketua lembaga ini mengatakan program ini dilaksanakan pada saat liburan sekolah musim panas. Dengan tujuan memanfaatkan masa liburan untuk membentuk generasi Quran yang siap dan mampu bertanggungjawab membebaskan tanah air dan kewajiban berdakwah di jalan Allah Ta’ala. Program Taajul Waqar ini serempak diselenggarakan di seluruh penjuru wilayah Jalur Gaza dan berlangsung selama 60 hari diikuti lebih 10 ribu siswa-siswi yang ingin menghafal al-Qur’an.
Taajul Waqar adalah program lanjutan untuk Tahfidzul Qur’an (menghafal al-Qur’an) yang digalang lembaga Darul Qur’an dan as-Sunnah selama ini. Setelah sebelumnya musim panas tahun 2007 program yang sama dilaksanakan selama 60 hari. Dari program ini di tahun 2007, tercatat ada 400 hafidz dan hafidzoh (penghafal) al-Qur’an penuh (30 juz), sebagian lain hanya hafal sejumlah juz. Musim panas tahun 2008, program hafalan al-Qur’an dengan nama ”Tabashir Nasr” digelar dan berhasil mencetak sekitar 3 ribu siswa-siswi penghafal al-Qur’an baru.
Program ini dilaksanakan untuk mentradisikan menghafal al-Qur’an dan berupaya terus agar setiap rumah Palestina punya penghafal al-Qur’an. Alasan lain yang tidak kalah penting penyelenggaraan program ini adalah terus berlangsungnya penistaan dari musuh terhadap al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Penistaan semacam ini harus dilawan dengan cara membuat program yang mencetak para penghafal al-Qur’an dan pemegang teguh manhaj Allah Ta’ala. Program unik dan langka di dunia Islam dan Arab ini termasuk bentuk reaksi atas perang yang dilancarkan penjajah dan sekutunya dalam merusak moral generasi muda serta penghancuran terhadap masjid dan markas-markas penghafal al-Qur’an.
Program Taajul Waqar ini salah satu dari ratusan program dakwah yang mempunyai andil membentuk pribadi muslim dan menampilkan Gaza sebagai wilayah yang tak pernah gentar melawan musuh-musuhnya. (ip/seto)

sumber :dakwatuna.com

Sunday, June 26, 2011

Steven Indra Dari Katedral ke Istiqlal Terpikat Islam Karena Shalat

Seorang mualaf ibarat besi yang baru jadi. Saatnya Allah menempa kita dan menjadikannya sebilah pedang. Kalau tidak ditempa, tidak akan tajam.

Bagi Steven Indra Wibowo, agama adalah sebuah pilihan hidup. Seperti filosofi yang dianut oleh para leluhurnya, setiap pilihan inilah yang nantinya menjadi pegangan dalam mengarungi bahtera kehidupan. ‘’Bagi saya, Islam adalah pegangan hidup,’’ ujar pria kelahiran Jakarta, 14 Juli 1981 ini kepada Republika.

Sebelum memutuskan memeluk Islam, Indra adalah seorang penganut Katolik yang taat. Ayahnya adalah salah seorang aktivis di GKI (Gereja Kristen Indonesia) dan Gereja Bethel. Di kalangan para aktivis GKI dan Gereja Bethel, ayahnya bertugas sebagai pencari dana di luar negeri bagi pembangunan gereja-gereja di Indonesia. Karena itu, tak mengherankan jika sang ayah menginginkan Indra kelak mengikuti jejaknya dengan menjadi seorang bruder (penyebar ajaran Katolik—Red).

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, sejak usia dini ia sudah digembleng untuk menjadi seorang bruder. Oleh sang ayah, Indra kecil kemudian dimasukkan ke sekolah khusus para calon bruder Pangudi Luhur di Ambarawa, Jawa Tengah. Hari-harinya ia habiskan di sekolah berasrama itu. Pendidikan kebruderan tersebut ia jalani hingga jenjang SMP. ‘’Setamat dari Pangudi Luhur, saya harus melanjutkan ke sebuah sekolah teologi SMA di bawah Yayasan Pangudi Luhur,’’ ujarnya.

Karena untuk menjadi seorang bruder, minimal harus memiliki ijazah diploma tiga (D3), selepas menamatkan pendidikan teologia di SMA tahun 1999, Indra didaftarkan ke Saint Michael’s College di Worcestershire, Inggris, yaitu sebuah sekolah tinggi khusus Katolik. Di negeri Ratu Elizabeth itu, pria yang kini menjabat sebagai sekretaris I Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) ini mengambil jurusan Islamologi.

Selama menempuh pendidikan di Saint Michael’s College ini, Indra mempelajari mengenai hadis dalam ajaran Islam. ‘’Intinya, kita mempelajari hadis dan riwayatnya itu untuk mencari celah agar orang Muslim percaya, bahwa apa yang diajarkan dalam agama mereka tidak benar. Memang kita disiapkan untuk menjadi seorang penginjil atau misionaris,’’ paparnya. Bahkan, untuk mengemban tugas sebagai seorang penginjil, ia harus melakoni prosesi disumpah tidak boleh menikah dan harus mengabdikan seluruh hidupnya untuk Tuhan.

Namun, seiring dengan aktivitasnya sebagai seorang penginjil, justru mulai timbul keraguan dalam dirinya atas apa yang ia pelajari selama ini. Apa yang dipelajarinya, bertolak belakang dengan buku-buku yang ia temui di toko-toko buku. Hingga akhirnya, suatu hari tatkala mendatangi sebuah toko buku ternama di Jakarta, ia menemukan sebuah buku karangan Imam Ghazali. Buku yang mengulas mengenai hadis dan sejarah periwayatannya itu cukup menarik perhatiannya.

Dari semula hanya sekadar iseng membaca gratis sambil berdiri di toko buku tersebut, Indra akhirnya memutuskan untuk membelinya. ‘’Setelah saya baca dan pelajari buku tersebut, ternyata banyak referensi dan penjelasan mengenai hadis yang diriwa -yatkan oleh Bukhari dan Muslim. Akhirnya, saya juga memutuskan untuk membeli buku kumpulan hadis-hadis Bukhari dan Muslim,’’ kata dia.

Berawal dari sinilah, Indra mulai mengetahui bahwa hadishadis yang selama ini dipelajarinya di Saint Michael’s College, ternyata tidak diakui oleh umat Islam sendiri. ‘’Hadis-hadis yang saya pelajari tersebut ternyata maudhu’ (palsu). Dari sana, kemudian saya mulai mencari-cari hadis yang sahih,’’ tukasnya.''

Dari Katedral ke Istiqlal
Keinginan Indra untuk mempelajari ajaran Islam, tak hanya sampai di situ. Di sela-sela tugasnya sebagai seorang penganut Katolik, diam-diam Indra mulai mempelajari gerakan shalat. Kegiatan belajar shalat itu ia lakukan selepas menjalankan ritual ibadah Minggu di gereja Katedral, Jakarta. Tak ada yang mengetahui kegiatan ‘mengintipnya’ itu, kecuali seorang adik laki-lakinya. Namun, sang adik diam saja atas perilakunya itu.

‘’Ketika waktu shalat zuhur datang dan azan berkumandang dari seberang (Masjid Istiqlal—Red), kalung salib saya masukkan ke dalam baju, sepatu saya lepas dan titipkan. Kemudian, saya pinjam sandal tukang sapu kebun di Katedral. Setelah habis shalat, saya balik lagi mengenakan kalung salib dan kembali ke Katedral,’’ paparnya.

Aktivitasnya yang ‘konyol’ di mata sang adik itu, ia lakoni selama dua bulan. Dan, berkat kerja sama sang adik pula, tindakan yang ia lakukan tersebut tidak sampai ketahuan oleh ayahnya. Dari situ, lanjut Indra, ia baru sebatas mengetahui orang Islam itu shalat empat rakaat dan selama shalat diam semua. Tahap berikutnya, ayah satu orang putri ini mulai belajar shalat maghrib di sebuah masjid di daerah Muara Karang, Jakarta Utara. Ketika itu, ia beserta keluarganya tinggal di wilayah tersebut.

‘’Dari situ, saya mulai mengetahui ternyata ada juga shalat yang bacaannya keras. Kemudian, saya mulai mempelajari shalat-shalat apa saja yang bacaannya dikeraskan dan tidak.’’ Setelah belajar shalat zuhur dan maghrib, ia melanjutkan dengan shalat isya, subuh, dan ashar. Kesemua gerakan dan bacaan shalat lima waktu tersebut ia pelajari secara otodidak, yakni dengan cara mengikuti apa yang dilakukan oleh jamaah shalat. Sampai tata cara berwudhu pun, menurut penuturannya, ia pelajari dan hafal dengan menirukan apa yang dilakukan oleh para jamaah shalat.

‘’Saya lihat orang berwudhu, ingat-ingat gerakannya, baru setelah sepi saya mempraktikkannya. Dan, Alhamdulillah dalam waktu seminggu saya sudah bisa hafal gerakan berwu -dhu. Begitu juga, dengan gerakan shalat dan bacaannya. Saya melihat gerakan imam dan mendengar bacaannya sambil berusaha mengingat dan menghafalnya,’’ terang Direktur Operasional Mustika (Muslim Tionghoa dan Keluarga), sebuah lembaga yang mewadahi silahturahim, informasi, konsultasi, dan pembinaan agama Islam.

Untuk memperdalam pengetahuannya mengenai tata cara ibadah shalat, Indra pun mencoba mencari tahu arti dan makna dari setiap gerakan serta bacaan dalam shalat, melalui buku-buku panduan shalat yang harganya relatif murah. Melalui shalat ini, ungkap Indra, ia menemukan suatu ibadah yang lebih bermakna, lebih dari hanya sekadar duduk, kemudian mendengarkan orang ceramah dan kadang sambil tertidur, akhirnya tidak dapat apa-apa dan hampa.

‘’Ibaratnya sebuah bola bowling, tampak di permukaan luar -nya keras dan kokoh, tetapi di dalamnya kosong. Berbeda de ngan ibadah shalat yang ibaratnya sebuah kelereng kecil, wa lau pun kecil, di dalamnya padat. Saya lebih memilih menjadi se buah kelereng kecil daripada bola bowling tersebut,’’ ujar nya mengumpamakan ibadah yang pernah ia lakoni sebelum menjadi Muslim dan sesudahnya.

Tujuh jahitan
Setelah merasa mantap, Indra pun memutuskan untuk masuk Islam dengan dibantu oleh seorang temannya di Serang, Banten. Peristiwa itu terjadi sebelum datangnya bulan Ramadhan di tahun 2000. Keislamannya ini, kata dia, baru diketahui oleh kedua orang tuanya setelah ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Kabar mengenai keislamannya ini diketahui orang tuanya dari para rekan bisnis sang ayah.

Karena mungkin pada waktu itu, papa saya sedang mengerjakan proyek pembangunan resort di wilayah Muara Karang dan Pluit, makanya papa punya banyak kenalan dan teman. Dan, mungkin orang-orang itu sering melihat saya datang ke masjid dan mengenakan peci, makanya dilaporkan ke papa, kenangnya. Ayahnya pun memutuskan untuk mengirim orang untuk memata-matai setiap aktivitas Indra sehari-hari. Setelah ada bukti nyata, ia kemudian dipanggil dan disidang oleh ayahnya. Saya beri penjelasan kepada beliau bahwa Islam itu bagi saya adalah pegangan hidup.

Di hadapan ayahnya, Indra mengatakan bahwa selama menjalani pendidikan calon bruder, dirinya mendapatkan kenyataan bahwa pastur yang selama ini ia hormati ternyata melakukan perbuatan asusila terhadap para suster. Demikian juga, dengan para frater yang menghamili siswinya dan para bruder yang menjadi homo. Ibaratnya saya pegangan ke sebuah pohon yang rantingranting daunnya pada patah, dan saya rasa pohon itu sudah mau tumbang kalau diterpa angin. Sampai akhirnya, saya ketemu dengan sebatang bambu kecil, yang tidak akan patah meski diterpa angin.

Seakan tidak terima dengan penjelasan sang anak, ayahnya pun menampar Indra hingga kepalanya terbentur ke kaca. Beruntung saat kejadian tersebut sang ibu langsung membawa Indra ke Rumah Sakit Atmajaya. Sebagai akibatnya, ia mendapatkan tujuh jahitan di bagian dahinya. Kendati begitu, ibunya tetap tidak bisa menerima keputusan putra pertamanya tersebut.

Tidak hanya mendapatkan tujuh jahitan, oleh ayahnya kemudian Indra diusir setelah dipaksa harus menandatangani surat pernyataan di hadapan notaris, mengenai pelepasan haknya seba gai salah satu pewaris dalam keluarga. Saya tidak boleh menerima semua fasilitas keluarga yang menjadi hak saya,ujarnya. Meski hidup dengan penuh cobaan, ungkap Indra, masih ada Allah SWT yang menyayanginya dan membukakan pintu rezeki untuknya. Salah satunya, proposal pengajuan beasiswa yang ia sampaikan ke Universitas Bina Nusantara (Binus) disetujui. Di Binus juga, ia mempunyai waktu luang dan kesempatan untuk menyampaikan syiar Islam, baik melalui forumforum pengajian maupun internet.

Karena itu, saya melihat mualaf itu ibaratnya sebuah besi yang baru jadi. Jadi, saatnya Allah menempa kita dan menjadikannya sebilah pedang. Jadi, kalau tidak ditempa, tidak akan tajam, katanya. nidia zuraya (RioL)

Biodata
Nama : Indra Wibowo
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 14 Juli 1981
Masuk Islam : 2000
Status : Menikah dan mempunyai satu orang putri
Pendidikan Akhir : Sarjana (S1) Komunikasi Universitas Padjadjaran
Aktivitas :
- Sekretaris I Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)
- Direktur Operasional Mustika (Muslim Tionghoa dan Keluarga)

sumber : swaramuslim.net

Akhir Perjalanan Mencari Tuhan Jennifer A. Bell

Kebingungan Jennifer A. Bell tentang ajaran Kristen membuatnya selalu bertanya-tanya tentang siapa Tuhan sebenarnya. Akalnya tidak pernah bisa menerima konsep trinitas. Bell juga mempertanyakan sosok Yesus dalam keyakinan Kristen, apakah Yesus itu Tuhan atau bagian dari Tuhan.
Pertanyaan-pertanyaan itu sudah mengusiknya sejak ia berusia 8 tahun, dan di usia yang masih sangat muda itu Bell mulai "mencari Tuhan". Ia berpindah-pindah dari satu gereja ke gereja lainnya untuk mendapatkan jawaban atas "pencarian"nya itu. Tapi ia tidak pernah menemukannya. Ia hanya bisa merasakan dan meyakini bahwa Tuhan itu ada.
Hingga beranjak remaja. Bell masih belum menemukan jawabannya, sementara gaya hidup Amerika telah menjerumuskannya ke dalam kehidupan yang buruk. Beberapa kali Bell hampir mati karena gaya hidupnya yang tidak sehat secara fisik, emosi dan spiritual. Alkohol, narkoba, sex bebas adalah kehidupan sehari-hari Bell remaja. Hidupnya ketika itu benar-benar bermasalah. Bell melupakan pencariannya terhadap Tuhan.
Beruntung, Bell bisa sampai ke bangku kuliah. Ia bertemu dengan seorang laki-laki yang baik, yang kemudian hari menjadi suaminya. Lelaki itulah yang menolong Bell keluar dari kehidupannya yang kelam dan Bell berhasil kembali menjadi orang yang "bersih". Pada saat inilah Bell kembali merasakan dorongan untuk melanjutkan pencariannya terhadap Tuhan.
Bell kembali mendatangi beragam gereka dengan beragam aliran Kristen. Tapi pencariannya masih buntu. Ia lalu pergi ke perpustakaan dan mulai membaca dan mempelajari buku-buku tentang agama Hindu, Budha, Yudaisme, Shinto dan agama-agama lainnya. Tapi ia merasa tidak cocok dengan semua agama yang dipelajarinya itu. Sayangnya, ketika itu Bell sama sekali belum mendengar tentang agama Islam.
Bell kemudian menikah dengan lelaki yang dikenalnya di bangku kuliah dan memiliki karir yang lumayan bagus. Tapi ia sempat kesulitan untuk punya anak. Dokternya mengatakan bahwa Bell tidak bisa hamil karena kehidupan masa lalunya yang akrab dengan narkoba dan alkohol. Tapi betapa terkejutnya Bell, ketika ia akhirnya dinyatakan hamil dan melahirkan seorang anak lelaki yang sehat. Namun, kehidupan Bell kembali terguncang karena ia mengalami "baby blues", trauma paska melahirkan yang membuat emosinya labil. Hal itu berpengaruh pada perkawinan Bell.
Untuk melepaskan diri dari kegalauan hatinya, Bell mengalihkannya ke ruang-ruang chatting di internet. Ia chatting beberapa kali dengan seorang lelaki dari luar Amerika yang kemudian ia ketahui beragama Islam. Dari teman chattingnya itu, Bell mulai mengenal agama Islam dan banyak berdiskusi tentang trinitas dan Yesus. Lelaki itu mengirimkan email berisi ayat-ayat Al-Quran yang mendukung argumennya tentang Islam, trinitas dan Yesus. Sesaat Bell merasa argumen-argumen itu benar dan ia tidak membantahnya, tapi Bell belum yakin bahwa Islam adalah agama yang paling benar.
Kehidupan Bell makin memburuk. Perkawinannya terancam hancur, persoalan berat di kantor membuat emosi Bell makin labil. "Saya mengalami depresi. Karena pernah mengalami depresi sebelumnya, saya segera mencari pertolongan ke dokter dan mulai menenggak pil-pil untuk meredam depresi," tutur Bell.
Namun pil-pil itu tidak mampu mengurangi depresi yang dialami Bell. Bell malah makin terpuruk. Tubuhnya jadi lemah dan ia tidak bisa menggerakkan lehernya. Bell bahkan tidak bisa mengucapkan satu patah kata pun, hingga Bell dinyatakan tidak bisa lagi bekerja. Kehidupan Bell jadi benar-benar kacau.
Bell akhirnya bertemu lagi dengan teman chattingnya di internet dan menceritakan apa yang dialaminya. Temannya itu lalu menyarankan Bell agar mandi dan membersihkan diri dari ujung rambut sampai ujung kaki. Setelah Bell diminta untuk duduk tenang, menjernihkan pikiran dan hanya mengkonsentrasikan pikiran pada Tuhan.
"Saran yang menurut saya aneh dan ganjil. Tapi saya pikir, apa salahnya mencoba, tokh tidak ada orang yang melihat," kata Bell tentang saran temannya.
Bell pun mengikuti saran itu, ia mengkonsentrasikan pikirannya pada Tuhan dan tiba-tiba ia menggigil. Di saat yang sama, ada rasa damai yang dirasakan Bell. "Saya merasa Tuhan telah merasuk ke dalam hati saya dan saya menerima apa yang ditawarkanNya," ungkap Bell.
Pengalaman itu membuat Bell percaya pada perkataan sahabatnya di internet tentang Islam. Seminggu kemudian, Bell mengontak seorang imam masjid dan dalam pertemuan pertama itu, ia menyatakan diri masuk Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat.
"Saya merasakan ketenangan masuk Islam. Setiap kali perasaan gundah itu datang lagi, saya menunaikan salat dan saya merasakan kedamaian dan ketenangan itu kembali," imbuh Bell. (ln/readislam), sumber :eramuslim.com

Friday, June 24, 2011

Dileep Kumar ,'Mozart of Madras' Sekeluarga masuk Islam setelah adiknya sembuh

Di dunia musik, sebelum film Slumdog Millionaire dirilis, nama AR Rahman mungkin tidak pernah ada yang mengenalnya. Padahal laki-laki kelahiran Chennai, Tamil Nadu, India tanggal 6 Januari 1966 ini telah menjual lebih dari 100 juta rekaman. Rahman yang dijuluki "Mozart of Madras" oleh majalah Time itu setidaknya telah menjadi pengarah musik lebih dari 50 film produksi Bollywood.

Dan, ketika sutradara Slumdog Millionaire, Danny Boyle menyodori posisi penata musik, ia tidak berpikir dua kali. Dia mulai merencanakan musik itu beberapa bulan dan akhirnya film itu benar-benar meledak.

Seperti mayoritas penduduk India yang menganut agama Hindu, Rahman sejak lahir sudah memeluk Hindu. Nama pemberian orang tuanya adalah AS Dileep Kumar. Ia tumbuh dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga pemusik kaya raya. Ayahnya, RK Shekhar, dikenal luas sebagai komposer dan konduktor musik untuk film-film India berbahasa Malayalam.

Ketika usianya menginjak 9 tahun, sang ayah meninggal dunia dan peran sebagai kepala keluarga dipegang oleh ibunya Kareema (Kashturi). Sejak saat itu, kebutuhan hidup Rahman dan saudara-saudaranya ditutupi dari hasil menyewakan alat-alat musik peninggalan sang ayah. Kerasnya kehidupan yang harus ia lalui sepeninggal sang ayah telah membuatnya menjadi seorang atheis.

Berkat kecermelangannya dalam bermusik, ia pun mendapat tawaran beasiswa dari sebuah sekolah musik di Greewich, Inggris, Trinity College of Music. Rahman berhasil menyelesaikan pendidikan musiknya di sana dan lulus dengan gelar dalam bidang musik klasik Barat.

Persentuhan awal Rahman dengan agama Islam terbilang unik. Ketika itu sang adik tiba-tiba jatuh sakit. Berbagai upaya telah ditempuh dan dilakukan oleh keluarganya demi kesembuhan sang adik. Namun kesembuhan yang diharapkan tak kunjung tiba.

Di tengah keputusasaan yang melanda keluarga Rahman, salah seorang teman keluarganya, memberi saran agar mereka memanjatkan doa di sebuah masjid dan bersumpah untuk masuk Islam jika sang adik diberi kesembuhan kelak. Jadilah keluarga Rahman menjalankan saran tersebut.

Tak lama berselang sang adik pun diberi kesembuhan. Dan sesuai dengan sumpah yang telah mereka ucapkan, Rahman beserta seluruh anggota keluarganya menyatakan masuk Islam. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1989, saat usia Rahman baru menginjak 23 tahun. Sejak saat itu, dia pun mengubah namanya dari AS Dileep Kumar menjadi Allah Rakha (AR) Rahman.

Kepada majalah Time, suami dari Saira Banu ini mengungkapkan dirinya tertarik untuk memeluk Islam setelah mempelajari sufisme Islam. Mengenai identitas keislamannya ini ia tidak malu untuk menunjukkannya di hadapan publik.

Hal ini terlihat jelas manakala ia memberikan sambutan pada malam penganugerahan Academy Awards ke-81. Di hadapan para pelaku industri film dunia ia mengawali kata sambutannya dengan sebuah kalimat Tamil "Ella pughazhum iraivanukke", yang secara harfiah berarti "Semua pujian didedikasikan untuk Allah".

Kendati telah memeluk Islam, hal tersebut tidak membuat Rahman berhenti dari dunia seni musik. Dalam sebuah wawancara khusus dengan Majalah The Rolling Stone edisi 16 November 2008, Rahman mengungkapkan, pada tahun-tahun pertamanya menjadi seorang Muslim, bersama lima orang teman masa kecilnya ia membentuk sebuah band yang mereka beri nama Roots. Dalam band tersebut, ia ditempatkan sebagai pemain keyboard dan penggubah lagu.

Setelah band tersebut bubar, Rahman kemudian mendirikan sebuah grup musik beraliran rock. Band barunya ini ia beri nama Nemesis Avenue. Di Nemesis Avenue, ia memainkan beberapa alat musik, mulai dari keyboard, piano, synthesizer, harmonika hingga gitar. Namun dari kesemua perangkat alat musik ini, menurut Rahman, ia lebih tertarik dengan synthesizer. ''Alat ini merupakan kombinasi yang ideal antara musik dan teknologi,'' ungkap ayah dari Khadijah, Rahima dan Aameen ini kepada TFM Page Magazine edisi Januari 2006.

Karir profesionalnya di industri film baru mulai dirintis di tahun 1992, ketika ia mendirikan studio rekaman sendiri di rumahnya di Chennai. Studio musiknya yang diberinya nama Panchathan Record Inn tersebut saat ini bisa dibilang sebagai salah satu studio musik yang paling canggih dan memiliki teknologi tinggi di Asia.

Sepanjang karirnya sebagai musisi, Rahman telah memenangkan berbagai penghargaan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Antara lain empat belas piala Filmfare Awards, sebelas piala Filmfare Awards South, empat piala National Film Awards, dua piala Academy Awards, dua Grammy Awards, satu piala BAFTA Award dan satu piala Golden Globe. Atas pencapaian ini, pada tahun 2005 lalu oleh majalah TIME ia pernah dinobatkan sebagai penulis soundtrack film yang paling menonjol di India. Di tahun 2009 lalu, majalah TIME kembali memberi penghargaan kepada Rahman dengan menempatkannya dalam daftar 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia.[republika]

Dokter Gigi Angkatan Laut AS yang Memilih Agama Islam

Heather Ramaha baru tiga bulan ditugaskan di basis militer AS Pearl Harbour, Hawai ketika serangan 11 September 2001 terjadi. Ia bersuamikan anggota pasukan Marinir AS, seorang muslim Palestina asal San Francisco. Meski suaminya muslim, Ramaha belum masuk Islam dan masih memeluk agama Kristen.
Peristiwa serangan 11 September 2001 membuat Islam dan Muslim menjadi pemberitaan dan pembicaraan masyarakat dunia, meski sebagian bersar pemberitaan itu bias dan mengandung kebencian terhadap kaum Muslimin dan Islam.Di sisi lain, peristiwa ini justru mendorong sebagian non-muslim untuk beralih memeluk agama Islam dan Ramaha adalah satu diantara mereka.
Kurang dari tiga minggu setelah serangan 11 September 2001 terjadi Kota New York dan Washington. Ramaha yang bertugas di bagian medis--sebagai dokter gigi--Angkatan Laut AS, datang ke masjid Manoa, Hawai. Disaksikan oleh beberapa muslimah yang juga hadir di masjid itu, Ramaha mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai syarat sah untuk menjadi seorang muslim. Sejak itu, Ramaha resmi menjadi seorang muslimah.
Ia mengungkapkan, ia masuk Islam atas kemauannya sendiri dan bukan karena suaminya, Mike, yang seorang muslim. "Mike tidak pernah sekalipun berusaha meminta saya untuk pindah agama. Dia bilang, jika saya ingin masuk Islam, saya harus mencari tahu tentang Islam sendiri," tutur Ramaha.
Setelah menjadi seorang muslimah, sang suami membantu Ramaha belajar salat terutama bacaan salat yang semuanya dalam bahasa Arab. Ramaha juga selalu mengenakan kerudung jika ke masjid, tapi belum bisa mengenakan jilbab di kantor karena ia terikat peraturan sebagai bagian dari Angkatan Laut AS.
Persoalan lain yang ia hadapi setelah bersyahadat adalah memberitahu keluarganya yang tinggal di California. "Saya tidak menemukan cara yang pas untuk memberitahu mereka agar mereka tidak syok. Pada ayah, saya cerita bahwa saya pergi ke masjid tapi tidak bilang bahwa saya sudah masuk Islam," kata Ramaha.
Ramaha mengungkapkan, dulu, keluarganya juga tidak menganut agama tertentu. Rahama adalah orang pertama di keluarganya yang pergi ke gereja. Pada usia 5 tahun, ia berteman dengan anak perempuan seorang Pastor. Ia kemudian menyatakan menganut agama Kristen. Setelah itu, kelurganya mengikutinya menjadi Kristiani. Sampai sekarang, ibunya Ramaha menjadi seorang aktivis gereja.
Ramaha mengakui, walau sudah menjadi seorang Kristiani, ketika itu ia masih meragukan soal konsep Trinitas dalam agamanya. Sampai suatu hari di bulan Maret, ia memutuskan untuk kuliah online Univeristas California yang mempelajari agama-agama di dunia. Selanjutnya, setelah peristiwa 11 September 2001, Ramaha mengambil kelas pengantar tentang agama Islam di Hawai. Ia pun mulai membaca isi Al-Quran dan merasakan ada hal yang "menyentak" hatinya. Ramaha merasa mendapat jawaban atas keraguannya selama ini terhadap ajaran Kristen yang pernah didapatnya, terutama konsep Trinitas yang membuatnya bingung.
"Saya sudah menjadi seorang Kristiani selama 18 tahun. Banyak sekali celah dalam ajaran agama itu yang membuat saya ragu. Tapi setelah mengenal Islam, agama ini membuka wawasan berpikir saya ... dalam hati saya merasa bahwa inilah agama yang tepat untuk saya," ujar Ramaha.
Ia juga mendapat banyak pertanyaan soal mengapa perempuan berpendidikan sepertinya dirinya memilih masuk agama Islam. Dua orang yang menanyakan hal itu padanya mengatakan bahwa Islam adalah agama yang menindas kaum perempuan. Ramaha merespon pertanyaan itu dengan jawaban bahwa banyak orang yang mencampuradukkan antara ajaran Islam dengan tradisi.
Sekedar informasi, menurut Presiden Asosiasi Muslim Hawai, Hakim Ouansafi, pascaserangan 11 September jumlah orang yang masuk Islam di Hawai meningkat tajam. "Rata-rata ada tiga orang yang masuk Islam setiap bulannya, dan kebanyakan mualaf adalah kaum perempuan,"
kata Ouansafi.
"Secara nasional, rasio orang yang masuk Islam adalah 4 banding 1. Empat mualaf perempuan, satu mualaf laki-laki," sambungnya. (ln/IFT/eramuslim)