Sunday, January 1, 2012

Muhammad Ali: Masuk Islam di Atas Ring

Islam membawanya pada kedamaian dan kepercayaan diri yang tinggi.


Bagi penggemar tinju dunia, tentu tak asing dengan nama Muhammad Ali, mantan juara dunia kelas berat tiga kali. Di masanya, Ali terkenal sebagai seorang petinju yang sangat ditakuti oleh lawan-lawannya. Dan, ia pun dijuluki sebagai The Greatest (terbesar).

Sebab, dia mampu menaklukkan peitnju-petinju terbesar di zamannya, seperti George Foreman, Sony Liston, Joe Frazier, dan lainnya. Bahkan, pertarungannya melawan Foreman serta Joe Frazier menjadi pertarungan terbaik sepanjang abad ke-20. Dan, Ali pun juga dinobatkan sebagai seorang petinju terbesar di abad 20.

Nama sebagai 'Yang Terbesar' ini disematkan padanya sejak ia mengalahkan para petinju yang juga memiliki nama besar. Karena kemampuannya mengalahkan para petinju itu, ia pun menggunakan nama 'Yang Terbesar' (The Greatest) tersebut.

Ali juga dikenal sebagai petinju terbaik pada masanya. Ia pernah menjadi sebuah mesin pemukul yang sangat hebat hingga menimbulkan rasa takut pada lawannya. Sebelum berganti nama menjadi Muhammad Ali, ia bernama Cassius Marcellus Clay Junior. Hingga kini, namanya dianggap sebagai petinju terbaik yang pernah dimiliki publik Amerika Serikat dan orang kulit hitam.

Kesuksesannya merebut gelar juara dunia menempatkannya pada deretan atlet terbesar abad ke-20. Bahkan, gelar itu mengubah status pandangan masyarakat terhadap orang dan atlet kulit hitam. Keberhasilannya itu pun yang akhirnya mengangkat martabat para atlet kulit hitam ke tempat yang tinggi dengan penghormatan dan penerimaan yang baik dari masyarakat kulit putih dan hitam.

Ali dilahirkan pada 17 Januari 1942 di Louisville, Kentucky, Amerika Serikat. Daerah yang dikenal dengan ayam goreng khasnya ini juga terkenal dengan perbedaan etnis yang kental. Ayahnya, Cassius Marcellus Clay Sr, adalah pelukis papan nama dan reklame. Ibunya, Odessa Grady Clay, seorang pembantu rumah tangga.

Sejak kecil, Clay sudah merasakan perbedaan perlakuan karena warna kulitnya yang cokelat. Barangkali, hal inilah yang kemudian mendorongnya untuk belajar tinju agar bisa membalas perlakuan jahat teman-temannya yang berkulit putih. Ketika belum genap berusia 20 tahun, ia sudah memenangkan pertandingan kelas berat di Olimpiade Roma tahun 1960.

Pada usia 22 tahun, ia merasa dilahirkan kembali ke dunia. Sebab, saat itulah, ia berganti nama dari Cassius Marcellus Clay Junior menjadi Muhammad Ali. Nama ini merupakan pemberian seorang tokoh Muslim dari Nation of Islam (NOI), Elijah Muhammad, tahun 1964.

Ketika itu, Elijah membuat sebuah pernyataan umum dalam suatu siaran radio dari Chicago, ''Nama Clay ini tidak menyiratkan arti ketuhanan. Saya harap dia akan menerima dipanggil dengan nama yang lebih baik. Muhammad Ali, nama yang akan saya berikan kepadanya selama dia beriman kepada Allah dan mengikuti saya.''

Selama tiga tahun sebelum pertarungannya untuk memperebutkan gelar juara dunia kelas berat dengan Sonny Liston, Clay telah menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh NOI. Kehadiran Ali diberitakan oleh koran Daily Nezus di Philadelphia pada September 1963. Pada Januari 1964, dia membuat sensasi besar dengan berbicara di sebuah rapat Muslim di New York.

Beberapa minggu kemudian, ayahnya mengatakan bahwa Clay telah bergabung dengan NOI. Kendati demikian, Clay belum memberikan pernyataan publik tentang keikutsertaannya dalam NOI. Tetapi, dia sibuk mempelajari Islam di bawah bimbingan Kapten Sam Saxon (sekarang Abdul Rahman) yang dijumpai Clay di Miami pada 1961.

Clay juga merenungkan ajaran-ajaran Elijah Muhammad dan membaca surat kabar yang diterbitkan NOI. Di samping itu, ia juga mencari bimbingan dan saran dari Malcolm X--tokoh NOI lainnya--yang dijumpainya di Detroit pada awal 1962.

Sebelum pertandingan Clay melawan Liston, Malcolm mengunjungi Clay sebagai pribadi, bukan sebagai wakil Elijah. Malcolm menganggap Clay sebagai adiknya dan menasihati dia. Nasihat Malcolm ini justru menjadi pemicu semangatnya untuk bertekad mengungguli Liston.

Walaupun merasa sangat takut menghadapi Liston, akhirnya Clay menang dalam pertandingan. Pertandingan tersebut berakhir sebelum bel ronde ketujuh berbunyi. Dengan kemenangan tersebut, dunia memiliki seorang juara baru di arena tinju.

Agama rasional
Kemenangan tersebut diyakininya merupakan 'waktu Allah'. Di antara tepuk riuh para pendukung dan kilatan-kilatan lampu kamera, Clay berdiri di depan jutaan penonton yang mengelilingi ring dan kamera TV. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengumumkan pergantian namanya menjadi Muhammad Ali Clay. ''Aku meyakini bahwa aku sedang berada di depan sebuah kebenaran yang tak mungkin berasal dari manusia,'' ujarnya.

Ali mengungkapkan, kepindahannya ke agama Islam adalah hal yang wajar dan selaras dengan fitrah yang Allah ciptakan untuk manusia. Ia meyakini bahwa Islam membawa kebahagiaan untuk semua orang. Menurutnya, Islam tidak membeda-bedakan warna kulit, etnis, dan ras. ''Semuanya sama di hadapan Allah SWT. Yang paling utama di sisi Tuhan mereka adalah yang paling bertakwa.''

Ia membandingkan ajaran Trinitas dengan ajaran Tauhid dalam Islam. Menurutnya, Islam lebih rasional. Karena, tidak mungkin tiga Tuhan mengatur satu alam dengan rapi seperti ini. Hal tersebut dinilainya sebagai suatu hal yang mustahil terjadi dan tidak akan memuaskan orang yang berakal dan mau berpikir.

Keyakinannya terhadap Islam makin bertambah manakala Ali membaca terjemahan Alquran. ''Aku bertambah yakin bahwa Islam adalah agama yang hak, yang tidak mungkin dibuat oleh manusia. Aku mencoba bergabung dengan komunitas Muslim dan aku mendapati mereka dengan perangai yang baik, toleransi, dan saling membimbing. Hal ini tidak aku dapatkan selama bergaul dengan orang-orang Nasrani yang hanya melihat warna kulitku dan bukan kepribadianku,'' paparnya.

Sejak saat itu, ia membelanjakan uangnya beberapa ratus ribu dolar untuk buku-buku dan pamflet-pamflet Islami supaya dapat memperkenalkan agama barunya. Dia percaya bahwa bukan hanya kaum Muslim, tetapi juga orang Kristen dan Yahudi yang takut pada Tuhan akan masuk surga.

Ketika para dokter di AS memvonisnya dengan penyakit Sindroma Parkinson, Ali mengatakan bahwa dia telah mendapatkan hidup yang baik sebelumnya dan sekarang. Dia tidak membutuhkan simpati dan belas kasihan. Dia hanya ingin menerima kehendak Allah SWT. Penyakitnya ini, menurut dia, merupakan cara Allah SWT merendahkannya untuk mengingatkannya pada kenyataan bahwa tak ada seorang pun yang lebih hebat dari Allah.

Perjuangan Ali yang utama sekarang adalah mencoba menyenangkan Allah dalam segala hal yang diperbuatnya. Menguasai dunia tidak membawanya kepada kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan sejati, katanya, hanya didapatkan dengan menyembah Allah. Kini, dia termasuk orang-orang yang giat berdakwah di Amerika dan aktif mengampanyekan solidaritas dan persamaan hak. dia/sya/berbagai sumber



Ali Penganut Sufi

Dengan sikap yang tegar, kuat, dan penuh percaya diri, ternyata Muhammad Ali merupakan seorang penganut tasawuf (sufi) yang sangat baik. Putri Muhammad Ali yang bernama Hanna Yasmeen Ali, buah perkawinannya dengan Veronica Porche Ali, dalam sebuah wawancara dengan Beliefnet, mengungkapkan kehidupan dan spiritualitas Muhammad Ali.

Hanna mengatakan, ayahnya adalah orang yang sangat taat dalam menjalankan perintah agama. Bahkan, ia tak segan-segan untuk bersikap keras dan tegas terhadap anggota keluarganya yang tidak mau menjalankan perintah Allah. Sikap ini dibuktikan Ali dengan menceraikan istrinya yang pertama, Sonji Roi, pada tahun 1966. Karena, menurut Ali, istrinya tersebut tidak menunjukkan sikap sebagai seorang Muslim.

Hanna menambahkan, ayahnya tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. ''Sesibuk apa pun, ayah akan senantiasa mengerjakan shalat lima waktu,'' ujar Hanna.Bahkan, Ali juga senantiasa berupaya melaksanakan shalat fardhu secara berjamaah di masjid. ''Walaupun jaraknya membutuhkan waktu hingga 20 menit perjalanan, ayah akan selalu berupaya pergi ke masjid. Namun, ketika penyakit parkinson menghinggapi, ayah memang sekarang jarang ke masjid,'' jelas Hanna.

Hanna menambahkan, ayahnya juga seorang penganut sufi yang taat. Ali punya koleksi buku tasawuf karya Hazrat Inayat Khan, seorang guru sufi. ''Spiritualitas ayah saya sangat tinggi. Dari sikapnya yang sangat religius itu, ia praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, menyayangi sesama, melakukan kegiatan sosial, dan mendorong banyak orang untuk senantiasa rajin mendekatkan diri kepada Tuhan,'' terangnya.

Ketika terjadi peristiwa 11 September 2001 akibat serangan teroris terhadap dua menara kembar World Trade Center (WTC) hingga memunculkan tuduhan terhadap Islam sebagai agama teroris, Ali pun tampil ke publik dan menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan oknum dan bukan Islam. Ia menyatakan, aksi tersebut merupakan perbuatan orang-orang yang keliru dalam memahami Islam secara benar. ''Islam adalah agama yang damai dan cinta akan kedamaian,'' terangnya. (sumber: Republika)



Biodata

Nama : Muhammad Ali
Nama sebelumnya : Cassius Marcellus Clay Junior (Jr)
Lahir : 17 Januari 1942 di Louisville, Kentucky, Amerika Serikat
Ayah : Cassius Marcellus Clay Senior (Sr)
Ibu : Odessa Grady Clay
Istri : Sonji Roi (cerai 1966), Belinda Boyd (cerai 1977), dan Veronica Prche Anderson
Anak : Jamilah, Rashed, Muhammad Ali Jr (dari istri kedua), serta Hanna Yasmeen Ali dan Laila Ali (dari istri ketiga)

Tantangan Rustam Sarachev justru dari Orang Tuanya Sendiri

Sarachev adalah keturunan Tatar. Nenek moyangnya beralih memeluk Islam pada abad ke-9, ketika Tatarstan masih menjadi negara kuat yang memiliki hak-haknya sendiri. Di masa silam, selama 450 tahun kaum Tatar di bawah dominasi Rusia, bangga dengan warisan leluhur. Mereka menganggap diri mereka pemimpin alami Muslim Rusia berjumlah 30 juta orang.

Namun nenek moyang Sarachev tidak mempraktekan Islam dalam cara yang ia pahami saat ini. Selama satu milenium, Tatar mengembangkan teologi yang kaya namun juga rumit. Konsep itu nyaman sejalan dengan pemikiran yang dibutuhkan untuk hidup berdampingan bersama Kristen Rusia. Di Kazan, ibu kota Tatarzan, budaya koeksistensi hasil pemikiran masa lalu itu masih bisa dijumpai hingga kini.

Hanya saja, sikap Soviet yang memusuhi dan membenci agama membuat sebagian Tatar saat ini cenderung acuh tak acuh dengan warisan Islam sendiri, bahkan sebagian cenderung tak beragama Ketika tumbuh besar, Sarachev mengingat, agama berarti para kakek dan nenek serta libur hari raya. Ia sendiri tak pernah menjalankan ibadah Islam.

Ketika Soviet jatuh, pendakwah Arab masuk ke Tatarstan. Mereka berkotbah tentang Islam, sebagai agama yang lebih dingin, kaku, sederhana dan lebih puritan. Ajaran itu malah berakar di kawasan itu dan terlihat menguasai kaum muda. Keruntuhan Soviet pula yang membuat rakyat Tatar yang sebelumnya Islam beralih ke Kristen, kembali lagi ke memeluk Islam.

Penerimaan yang Lambat

Almetyevsk, sebuah kota berpenghuni 150 ribu orang yang didirikan pada 1955. Bukan kemiskinan materi yang mendorong pemuda Tatar kepada Islam. Pasalnya keberadaan minyak dan gas membawa kesejahteraan mencolok. Adalah kemiskinan spiritual negara itu, di mana setiap insitusi mulai sekolah, rumah sakit hingga polisi dijerat dengan sinisme dan korupsi yang membuat penduduknya tertarik dengan agama.

Orang tua Sarachev bercerai ketika ia masih sangat muda. Ibunya bekerja di pabrik pipa. Sarachev kini juga bekerja di sana, sebagai operator pompa hidrolik. Ia masih tinggal di apartemen ibunya.

Ketika ia mulai bersungguh-sungguh memeluk Islam, ia belajar bahwa setiap orang lahir dengan iman dari dalam dan orangtualah yang menjauhkan anak-anak mereka dari agama. "Tidak berarti orangtua kita langsung," imbuhnya. "Itu bisa juga metafora dari masyarakat."

Namun sedikit mengherankan ketika ibu dan ayahnya ternyata tidak suka dengan kesadarannya barunya dalam beragama--bila tak bisa dibilang keyakinan baru. Mereka juga tak suka dengan penolakan Sarachev terhadap budaya yang mereka jalani selama ini.

"Mereka tidak paham," tuturnya. "Mereka bertengkar dan berdebat. Mereka, tentu selalu sangat marah ketika saya pulang ke rumah larut dan mabuk, tapi ini mengherankan" kata Sarachev.

Begitu mereka melihat putranya menghentikan kebiasaan buruk, mereka mulai memperhatikan dan bertanya-tanya. Kini, ketika ibunya melihat Sarchev shalat di rumah, ia akan menutup pintu kamarnya dengan sikap tak peduli. Sang ibu juga menolak tegas diwawancarai dalam cerita ini.

Namun, tahun ini pada 2010, adalah pertama kali mereka memberi Sarachev uang untuk membeli domba bagi hari raya kurban, Idul Adha. Domba-domba, lebih dari 600 ekor, diikat di tiang-tiang kayu sekitar masjid. Setiap hewan yang disembelih dikuliti dan dagingnya dibagi menjadi tiga bagian yang sama, satu untuk pihak yang berkurban, satu untuk kerabat dan satu bagian lagi disumbangkan bagi kaum papa.

Mereka yang memotong dan mencabik Muslim menjadi tiga bagian jauh lebih buruk dari mereka yang memotong domba menjadi tiga bagian," demikian ujar Imam masjid, Nail Bin Ahmad Sakhibzyanov, dalam kotbah yang sempat didengar Sarachev. Ia pun pulang dengan gembira dan bangga dengan keyakinannya. Itu adalah pemotongan hewan kurban terbesar yang pernah ada di Almetyvsk

Muhammad Marmaduke Pickthall, Mualaf Penerjemah Alquran

Muhammad Marmaduke Pickthall adalah seorang intelektual Muslim Barat yang terkenal dengan karya terjemahan Alqurannya yang puitis dan akurat dalam bahasa Inggris. Ia merupakan pemeluk Kristen Anglikan yang kemudian berpindah agama memeluk Islam. Sosoknya juga dikenal sebagai seorang novelis, jurnalis, kepala sekolah serta pemimpin politik dan agama.

Terlahir dengan nama William Pickthall pada tanggal 7 April tahun 1875. Dia berasal dari keluarga kelas menengah di Suffolk, Inggris. Ayahnya Charles Grayson Pickthall adalah seorang Pendeta Anglikan. Karenanya tak mengherankan jika William tumbuh dan dibesarkan di tengah keluarga penganut Kristen Anglikan yang taat.

Ketika usianya menginjak lima tahun, sang ayah meninggal. Tak lama berselang keluarganya pun memutuskan untuk menjual tempat tinggal mereka di Suffolk dan pindah ke kota London. Kepindahan tersebut sempat membuat William depresi dan sakit-sakitan. Sifat pemalu yang ada pada dirinya, membuat dia sulit untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Terlebih lagi ketika ibunya Mary O'Brien memasukannya ke Harrow, sebuah sekolah swasta elite khusus bagi murid laki-laki. Satu-satunya yang menjadi teman penghiburnya saat menimba ilmu di Harrow adalah Winston Churchill.

Saat di Harrow, William mulai menunjukkan ketertarikannya terhadap ilmu bahasa. Selepas tamat dari Harrow, ia mulai mempelajari sejumlah bahasa, di antaranya Gaelik (bahasa orang Skotlandia) dan Welsh (bahasa orang Wales). Karena kemahirannya dalam penguasaan kedua bahasa ini, maka salah seorang gurunya di Harrow mendaftarkan William untuk mengikuti ujian seleksi penerimaan pegawai di Departemen Luar Negeri. Namun ia gagal dalam ujian.

Kegagalan tersebut tidak membuat William patah arang. Ia kemudian menghabiskan waktunya untuk mempelajari bahasa Arab dengan harapan suatu saat ia bisa memperoleh pekerjaan sebagai seorang konsuler di Palestina. Di usianya yang belum genap 18 tahun, ia memutuskan untuk berlayar ke Port Said, sebuah kota pelabuhan yang berada di kawasan timur laut Mesir.

Pembela Muslim


Perjalanan ke Port Said ini menjadi awal mula petualangannya ke negara-negara muslim di kawasan Timur Tengah dan Turki. Keahliannya dalam berbahasa Arab telah memikat penguasa Ottoman (Turki Usmaniyah). Atas undangan dari pihak Kesultanan Ottoman, William yang kala itu belum menjadi seorang Muslim, mendapat tawaran untuk belajar mengenai kebudayaan Timur.

Selama masa Perang Dunia I tahun 1914-1918, William banyak menulis surat dukungan terhadap Turki Usmaniyah. Saat propaganda perang dikumandangkan tahun 1915 yang mengakibatkan pembantaian di Armenia, dia secara terang-terangan menentangnya dan menyatakan bahwa kesalahan tidak bisa ditimpakan kepada pemerintah Turki atas kejadian tersebut. Pada saat banyak imigran Muslim asal India di London dibujuk oleh Kementerian Luar Negeri untuk menyediakan bahan-bahan propaganda dukungan terhadap Inggris dalam perang melawan Turki, ia tidak bergeming. Ia tetap tegas dengan pendiriannya guna membela saudaranya sesama Muslim.

Begitu juga saat komunitas Muslim di Inggris diberikan pilihan apakah setia terhadap sekutu (Inggris dan Prancis) atau justru mendukung Jerman dan Turki, jawaban yang diberikan William cukup mengejutkan. Dia tetap pada pendiriannya tidak akan mendukung negaranya itu.

Perjalanan ke negara-negara Islam dan Turki ini, telah membuat William banyak bersentuhan langsung dengan agama Islam. Dari situ kemudian mulai muncul rasa ketertarikan terhadap ajaran Islam. Maka, di tahun 1917 dia memutuskan untuk memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Muhammad Marmaduke Pickthall. Bahkan sebelumnya William sempat menjadi pembicara pada diskusi yang diadakan Muslim Literary Society bertajuk 'Islam and Progress' tanggal 29 Nopember 1917 di Notting Hill, London Barat.

Setelah memeluk Islam, William banyak berkecimpung dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan syiar Islam. Tahun 1919, ia aktif di Biro Informasi Islam yang berkedudukan di London serta beberapa usaha penerbitan media Islam lainnya seperti Muslim Outlook. Usai merampungkan novelnya berjudul Early Hours tahun 1920, dia mendapat penugasan di India sebagai editor di surat kabar Bombay Chronicle. Kemudian di tahun 1927 William pindah ke penerbitan jurnal tiga bulanan Islamic Culture selaku editor yang berkantor di Hyderabad.

Ada satu lagi sumbangsihnya selama tinggal di Hyderabad terkait dengan upaya menegakkan syiar Islam. Tahun 1925, Pickthall diundang oleh Komite Umat Muslim di Madras untuk memberikan kuliah umum tentang segala aspek mengenai Islam. Koleksi dari bahan-bahan kuliahnya ini sudah dipublikasikan tahun 1927 dengan harapan agar kalangan non-Muslim lainnya dapat mengerti apa itu agama Islam.

Awal 1935 Pickthall kembali ke Inggris. Tahun 1936 ia berpindah ke St Ives dan meninggal di kota kecil itu pada tanggal 19 Mei 1936. Ia dimakamkan di pemakaman Muslim di Brookwood, Surrey (dekat Woking, Inggris) empat hari kemudian. Oleh kaum Muslim Inggris, Pickthall dijuluki sebagai "pejuang agama" dan "pelayan Islam sejati".

Menerjemahkan Alquran

Sebenarnya sudah sejak lama saat baru masuk Islam, William mempunyai obsesi menerjemahkan kitab suci Alquran ke dalam bahasa Inggris. Dia merasa adalah tanggungjawab semua umat Muslim untuk memahami Alquran dengan sebenar-benarnya. Namun obsesinya ini baru terealisasi pada tahun 1928, setelah ia berhasil menyelesaikan proyeknya dalam menerjemahkan Alquran.

Hasil kerja kerasnya ini kemudian ia terbitkan pada tahun 1930 dan diberi judul 'The Meaning of the Glorious Koran'. Ribuan umat Muslim pun segera mendapat manfaat dari karya Muhammad Marmaduke Pickthall yang lantas dianggap oleh banyak kalangan sebagai karya monumental. Tak hanya itu, umat Muslim pun kemudian menyadari bahwa The Meaning of Glorious Koran diselesaikan di kota Nizamate, Hyderabad, sebuah kawasan yang di Selatan India yang didominasi umat Islam.

Seperti ilmuwan Muslim lainnya, ia tidak menerjemahkan kata Allah SWT dalam Alquran. Ia menulis dalam kata pengantarnya, ''Quran tidak bisa diterjemahkan.'' Jadi, terjemahannya tetap berdampingan dengan teks asli Alquran dalam bahasa Arab.

Dalam kata pengantar dalam karyanya ini Pickthall juga menulis mengenai keutamaan Alquran dibandingkan kitab-kitab yang lainnya, "Sebelum memulai mempelajari Alquran, seseorang haruslah menyadari bahwa tidak seperti bahan bacaan lain, ini merupakan sebuah buku yang unik dan berasal dari Yang Mahatinggi, pesan-pesan abadi serta universal. Kandungan isinya tidak merujuk pada tema atau gaya tertentu, melainkan fondasi dari seluruh sistem kehidupan, mencakup segala spektrum permasalahan, yang cakupannya mulai dari ayat-ayat kepercayaan maupun perintah serta sumber pengajaran, kewajiban, hukuman bagi yang melanggar, hukum umum dan pribadi, serta solusi terhadap persoalan pribadi maupun sosial kemasyarakatan..cerita kaum di masa lampau teriring apa-apa yang dapat dipetik pelajaran darinya.''

Karya Pickthall ini menjadi karya pertama penulisan makna Alquran dalam bahasa Inggris oleh orang Inggris asli. Selain itu, tulisan Pickthall juga menjadi salah satu dari dua karya terjemahan Alquran dalam bahasa Inggris yang sangat populer. Karya lainnya ditulis oleh Abdullah Yusuf Ali.

Lady Evelyn: Bangsawan Inggris yang Pertama Kali Naik Haji

Pada musim haji tahun 1933 silam, menyimpan cerita tersendiri bagi masyarakat Kota Suffolk, Inggris, khususnya umat Islam. Sebab, pada tahun itu, salah seorang penduduknya pergi ke Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji.

Hebatnya lagi, ia adalah seorang perempuan. Namanya adalah Lady Evelyn Zainab Murray Cobbold. Konon, dialah Muslimah pertama aslI Inggris yang menunaikan ibadah haji. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya memeluk kepercayaan Anglikan, berita kepergian Evelyn Cobbold ke Makkah itu membuat kaget masyarakat Inggris, terutama penduduk Kota Suffolk.

Mengingat Evelyn Cobbold berasal dari keluarga bangsawan Suffolk yang paling berpengaruh. Karuan saja, kabar tersebut menghiasi pemberitaan media-media di Inggris saat itu. Sejumlah media bahkan menempatkannya sebagai headline di halaman depan.

Laman Wikipedia menyebutkan bahwa Lady Evelyn merupakan putri tertua dari pasangan Charles Adolphus Murray-Earl of Dunmore ketujuh-dan Lady Gertrude Coke-yang merupakan putri dari Earl of Leicester kedua. Perempuan yang lahir di Edinburgh pada 1867 ini, disebut-sebut masih keturunan dari Pangeran William I Inggris, yang juga dikenal sebagai William Sang Penakluk dan William dari Normandia.

Dalam tulisannya yang bertajuk "From Suffolk to Saudi", editor berita BBC Suffolk, Lis Henderson, mengungkapkan bahwa Lady Evelyn memutuskan untuk memeluk Islam pada akhir 1800-an atau menjelang abad ke-19. Di usia kanak-kanak, ia sudah mempelajari berbagai macam keyakinan. Sewaktu kecil, ia kerap menghabiskan liburan musim dinginnya dengan mengunjungi wilayah Afrika Utara. Di benua hitam inilah Evelyn tertarik dengan Islam.

Lady Evelyn menikah dengan salah seorang anggota keluarga Cobbold, John Dupius Cobbold, pada 1891. Di negeri Inggris, keluarga Cobbold dikenal luas sebagai pendiri Cobbold Brewery, industri pembuatan bir. Namun, pernikahannya dengan John Cobbold hanya bertahan selama tiga dasawarsa. Pada 1922, pasangan ini memutuskan untuk berpisah.

Obat pelipur lara
Kandasnya bahtera rumah tangga yang telah dibinanya selama 31 tahun membuat Lady Evelyn mengalami kesedihan yang teramat dalam. Berbagai usaha telah ditempuhnya untuk menghapus kesedihan tersebut, tetapi tidak juga berhasil. Hingga akhirnya, ia pun memutuskan untuk pergi ke Afrika. Di benua hitam ini, ia menemukan obat pelipur laranya tersebut, yaitu agama Islam.

Dalam buku Islam Our Choice, bangsawan asal Suffolk ini mengungkapkan bahwa ia tidak mengetahui secara pasti kapan dia mendapatkan hidayah tersebut. "Saya merasa kalau saya selamanya sebagai seorang Muslim. Ini tidaklah aneh, bila mengingat Islam adalah agama fitrah, di mana seorang anak dibiarkan tumbuh menurut fitrahnya," ujarnya. "Karena itu, saya sependapat dengan perkataan seorang sarjana Barat bahwa Islam adalah agama rasional dan sesuai dengan akal sehat manusia."

Ia mengakui, makin banyak mempelajari dan membaca literatur tentang agama Islam, semakin bertambah pula keyakinannya akan keistimewaan agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW ini dibandingkan agama lainnya. Menurutnya, Islam adalah agama yang paling sesuai dengan kehidupan dan segala problematikanya. Ia juga menegaskan, Islam adalah agama yang paling mampu menyelesaikan segala kesulitan dan kepincangan di dunia ini, serta yang dapat membawa manusia pada perdamaian dan kebahagiaan.

"Saya sudah tidak ragu bahwa Allah adalah tunggal. Dan Musa, Isa, Muhammad, serta banyak nabi-nabi dan rasul-rasul sebelum mereka adalah nabi dan rasul yang mendapatkan wahyu dari Allah, Tuhan mereka. Setiap umat diutus Allah kepadanya seorang rasul. Kita terlahir ke dunia ini tidak membawa dosa asal, karenanya kita tidak membutuhkan orang lain untuk menanggung atau menebus dosa kita," paparnya.

Lady Evelyn menambahkan, Islam identik dengan kedamaian. Muslim adalah seorang yang harmonis dalam melaksanakan ajaran Pemilik dan Pencipta Alam ini. Di samping itu, seorang Muslim adalah orang yang hidup damai dengan Allah dan hidup damai pula dengan makhluk ciptaan Allah.

Wanita Inggris Pertama Menjadi Hajah

Pada April 1933, ia berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Ia menjadi wanita Inggris pertama yang melakukan perjalanan ibadah haji. Saat menunaikan haji, usianya terbilang lanjut, 65 tahun. Lady Evelyn mengakui, ibadah haji memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupannya. Ia pun merasa takjub dengan ritual ibadah rukun Islam ini.

"Bayangkan! Seseorang menceburkan diri ke dalam kelompok manusia yang begitu besar dengan jumlahnya mencapai jutaan orang, dan datang dari segenap penjuru dunia untuk melakukan ibadah suci di tempat yang suci. Mereka meleburkan diri ke dalam kelompok manusia, lalu dengan segala kerendahan hati, khusyuk, dan tunduk bersama-sama memuji, membesarkan, dan menyucikan Allah," ujarnya.

Mengunjungi negeri tempat awal munculnya agama Islam dan menyaksikan tempat-tempat bersejarah dalam perjuangan Rasulullah SAW, menjadi pengalaman yang hebat sepanjang hidupnya. "Dari pengalaman ini, saya terdorong untuk mencontoh kehidupan Rasulullah," paparnya.

Ia juga melihat ibadah haji sebagai sarana untuk memperkokoh rasa persaudaraan di kalangan kaum Muslimin di seluruh dunia. Perbedaan warna kulit dan jarak antara satu dan yang lain tidak menjadi penghalang. Segala perbedaan kesukuan dan mazhab dikesampingkan pada saat itu. "Kesatuan akidah umat Islam telah menjadi persaudaraan yang kokoh kuat, persaudaraan yang telah memberikan inspirasi kepada mereka untuk dapat mewarisi kebesaran nenek moyang mereka," tukasnya.

Pengalamannya selama menunaikan haji ini, kemudian ia tuangkan dalam sebuah buku berjudul Pilgrimage to Mecca. Buku ini dirilis pertama kali pada 1934. Seiring perjalanan waktu dan usia yang cukup lanjut, perempuan bangsawan kerajaan Inggris ini akhirnya wafat pada Januari 1963.

Sebelum Jadi Muslim, Mohammad Ikram Sudah Jatuh Cinta pada Islam

Ia suka membaca dan mengamati. Dua kebiasaan itu pula yang membuat ia jatuh hati terhadap Islam.

Mohammad Ikram Loh Abdullah yang dulunya bernama Loh Kim Hua, mengaku awalnya sering membaca buku-buku yang ditulis oleh salah satu ulama Malaysia tersohor, Datuk Ismail Kamus. Kadang-kadang, ketika masih berstatus non-muslim, ia mengunjungi ceramah seorang ulama Malaysia lain, Datuk Harun Din yang menurutnya sangat inspiratif.

Kedua tokoh tadi adalah idola Ikram. Dari mereka ia mempelajari Islam dan menemukan jawaban dari berbagai pertanyaannya. Pria berusia 52 tahun itu bekerja sebagai guru di Sekolah Menengah Kebangsaan Seri Mahawangsa-- tempat di mana ia mengucapkan ikrar Syahadat di usia 30-an tahun.

Namun sebenarnya Islam sudah dekat dihatinya sejak usia remaja. "Saya beralih ke Islam tidak karena pengaruh teman-teman kolega saya. Keinginan mendesak untuk menjadi Muslim datang dari dalam," aku anak ketiga dari enam bersaudara itu.

Rupanya sejak di bangku sekolah menengah pertama, mantan penganut Budha ini sudah memiliki kecintaan membaca buku-buku Islam. Salah satu sebab yang membuat ia terdorong kian kuat yakni saat ia mengambil jurusan kajian Melayu di Universitas Malaysia.

Terkesan dengan kehidupan Islam

"Satu hal lagi, saya suka mengamati dan karena itu saya terkesan dengan cara shalat orang Muslim. Dalam pengamatan saya shalat berjamaah dan panggilan shalat (adhzan) menciptakan rasa damai di dalam dan percaya diri terhadap pemeluknya" ujar Ikram ketika menerima penghargaan dalam negeri "Tokoh Saudara kita" bertepatan dengan perayaan tahun baru 1432 Hijriah, dua pekan lalu.

"Bahkan sebelum beralih, saya sudah mengikuti pola hidup Islami, seperti berpuasa dua hingga enam jam sehari, untuk membiasakan diri, juga belajar tentang shalat dari bacaan dan VCD," tuturnya. Keluarga Ikram, ternyata tak asing terhadap Islam karena kakak perempuannya menjadi anggota pertama dalam keluarga yang memeluk Islam pada 1980-an.

Penerimaan Keluarga

Saat ditanya mengapa ia tak beralih ke Islam saat di usia remaja, Ia menjawab, alasannya karena tak ingin menyakiti perasaan ibunya. Ikram secara resmi memeluk Islam pada Maret 1993 silam.

"Pada waktu itu saya sudah siap. Saya sudah bekerja dan mandiri, sehingga bebas untuk memutuskan jalan hidup saya," tuturnya dengan penuh kelegaan.

Namun, sesudah itu pun ia mengaku masih belum siap untuk mengungkap status barunya sebagai Muslim terhadap teman-teman dekatnya dan terutama kepada keluarganya. Ia cemas mereka akan menjauh darinya.

Hingga suatu hari, seorang kawan lama melihat Ikram pulang ke rumah sehabis mengunjungi masjid. Tak lama kemudian, kabar bahwa ia telah memeluk Islam pun menyebar.

Tapi keluarganya baru mengetahui bahwa ia seorang Muslim ketika ia mengutarakan maksud untuk menikahi wanita Muslim. Awalnya Ikram hanya mendapat tanggapan dingin. Namun seiring waktu mereka mulai bisa menerima fakta itu.

"Ibu saya, Tan Ah Soo, berusia 69 tahun, masih melihat saya sebagai anaknya, dan saya juga masih dekat dengan saudara-saudara saya," kata Ikram. "Setiap Tahun Baru Cina, saya pun akan selalu pulang untuk merayakan dengan keluarga," ujar Ikram.

Aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.

Setelah menikah, sang istri, Tom Pah Chom Sharif Taha, 42, dan saudara-saudar iparnya memainkan peran besar dalam menguatkan iman Ikram. "Para ipar membantu saya mengatasi benturan dan tantangan yang saya jumpai dengan islam. Saya bahagia mereka menerima saya apa adanya," ujarnya.

Sejak masuk Islam, Ikram aktif di sebuah lembaga swadaya masyarakat Islam. Ia kini menjabat sebagai sekretaris Asosiasi Muslim Cina Kedah/Perlis. Asosiasi itu bertanggung jawab untuk kegiatan para mualaf di lingkungan Kedah dan Perlis. Sejauh ini lembaga sudah memiliki 48 anggota.

"Lembaga kami mendampingi warga Cina yang memeluk Islam. Namun etnis lain yang menjadi Muslim dan butuh bantuan kami dapat melakukan konsultasi pula," paparnya. Organisasi itu membantu memberi panduan dan bantuan kepada pemeluk baru untuk menjalani hidup berdasar ajaran Islam.

"Dalam kenyataan, ada beberapa mualaf yang berbalik ke agama semula karena mereka tidak menemukan seseorang yang dapat diandalkan untuk memandu mereka terkait masalah agama," tutur Ikram. Bahkan, imbuhnya. ada pula mualaf yang masih meneruskan cara hidup lama, mabuk-mabukan dan menyantap makanan haram

Akrab dengan musuh tersembunyi dan tantangan yang dihadapi mualaf, lelaki yang juga anggota komite Yayasan Dakwah Islam Malaysia Kedah itu selalu memberi saran bagi mereka yang baru memeluk Islam untuk selalu sabar, tetap yakin dan berserah kepada Allah. "Kita harus tulus dan bersungguh-sungguh terhadap apa pun yang kita lakukan dan lakukan itu dengan sepenuh hati," tegas Ikram.